Membeli Pengalaman
A
A
A
Pepatah lama mengatakan, ”Pengalaman adalah guru terbaik.” Karenanya, berbuat salah atau merugikan untuk kali pertama adalah manusiawi. Namun, jangan sampai Anda melakukan kesalahan yang sama itu kedua kalinya.
Keledai saja konon tidak akan jatuh ke lobang yang sama untuk kali kedua. Itu sebabnya kita sering mendengar istilah lesson learned atau pelajaran yang didapat. Ketika masih di SMP, saya sangat setuju dan terkesan dengan pepatah ini hingga menjadikannya prinsip hidup saya. Namun, dengan berjalannya waktu dan banyak membaca, saya melihat kelemahan pepatah ini bahwa kita sering harus membayar sangat mahal untuk beberapa pengalaman.
Hindari Pengalaman Berharga Mahal
Ada beberapa kesalahan yang berbiaya besar sehingga kita jangan pernah mengalaminya meski hanya sekali. Pengalamanpengalaman berharga mahal itu di antaranya adalah tidak naik kelas, putus kuliah, seks bebas hinggahamiltanpamenikah, dan terkena penyakit yang belum ada obatnya. Masih ada lagi yang lain yaitu tergoda untuk mencoba narkoba dan melakukan tindak pidana.
Dalam dunia investasi, kesalahan fatal itu adalah menaruh sebagian besar dana yang kita miliki dalam produk investasi gadungan atau terjebak dalam skema Ponzi. Seseorang yang tidak naik kelas harus rugi satu tahun dibandingkan teman-teman seusianya. Hitunglah berapa banyak biaya sekolah, waktu, dan tenaga yang terbuang percuma.
Mahasiswa yang putus kuliah dan tidak mau meneruskan studinya juga membuang beberapa tahun sia-sia tanpa hasil. Masa depan yang tadinya cerah sangat mungkin menjadi sirna. Saya punya beberapa kawan yang di-DO dari FEUI dan patah semangat. Mereka akhirnya hanya bekerja sebagai sopir pribadi dan karyawan nonmanajerial lainnya. Sementara, kawan-kawan kuliah saya yang sukses banyak yang menjadi Direktur Keuangan perusahaan terbuka atau multinasional.
Ada juga yang menjadi Menteri Keuangan, Direktur Utama sebuah bank nasional, dan pejabat setingkat duta besar di saat usia semuanya belum 50 tahun saat ini. Seks bebas di usia muda hingga hamil tanpa menikah apalagi sampai melahirkan anak tanpa ayah adalah aib besar dalam masyarakat kita. Hukuman sosial untuk mereka yang mengalaminya sangat berat.
Hukuman yang hampir sama juga dialami para penderita penyakit HIV/AIDS yang dicurigai akibat pergaulan bebas atau penggunaan jarum suntik sembarangan. Saya sangat menyayangkan sikap masyarakat seperti ini karena mestinya yang kita hindari dan tidak sukai adalah tindakan masa lalu dan penyakitnya, dan bukan mereka yang menjadi korbannya.
Terakhir, yang menimbulkan paling banyak penyesalan terutama bagi orang tua dan keluarga adalah orang-orang yang kecanduan nar-koba atau yang melakukan tindakan pidana. Sebagian kehidupan orang-orang ini akan hilang percuma. Masa depan pun langsung menjadi suram. Bukan saja sulit mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang layak, uang dan aset yang ada dapat habis. Untuk soal keuangan, jika Anda kurang cerdas dan sekaligus serakah, Anda dapat saja kehilangan dana hasil jerih-payah bekerja seumur hidup karena tergoda investasi bodong yang tidak masuk akal.
Berbekal Pengalaman Orang Lain
Karena itu, saya sekarang lebih suka pepatah, ”Pengalaman orang lain adalah guru terbaik.” Dalam pandangan saya, orang pintar akan belajar dari pengalaman sendiri tetapi yang lebih pintar akan berusaha untuk belajar dari pengalaman orang lain terlebih dahulu dengan cara banyak membaca, menonton, dan bergaul.
Meskipun demikian, saya juga memperhatikan banyak pengalaman dalam hidup ini tidak bisa diperoleh hanya dari membaca, menonton, atau mendengar dari orang lain. Maksud saya, membaca puluhan buku dan majalah tentang eksotisnya pulau Bali tidak akan sama dengan berada di pulau dewata ini selama 3-4 hari. Menonton ratusan film Amerika yang sudah menjadi bagian dari gaya hidup kita saat ini tidak pernah dapat menyamai pengalaman tinggal selama seminggu di negara adidaya ini.
Belasan tahun belajar bahasa Inggris di sekolah dan kursus di Indonesia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hidup dan bersekolah atau bekerja selama setahun di negara asli berbahasa Inggris.
Dari Bali Menuju Dunia
Pengalaman saya pertama kali ke Bali saat usia 15 tahun sangat berkesan dan terus teringat sampai saya berkesempatan ke luar negeri untuk pertama kalinya 11 tahun kemudian. Saat itu, dengan modal penguasaan bahasa Inggris, saya terpilih untuk dikirim UI ke Temple University, Amerika Serikat, untuk studi lanjut hanya beberapa bulan setelah lulus kuliah.
Saya berkesempatan untuk kembali ke negeri impian banyak orang ini di tahun 2009 dan 2013 untuk menghadiri konferensi bisnis dan undangan pertemuan tahunan analis keuangan di sana. Tidak hanya Amerika, saya kembali mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia pada tahun 1997 untuk studi di salah satu universitas terbaik mereka yaitu UNSW.
Selain untuk urusan studi lanjut di atas, saya tentunya harus merogoh kocek sendiri untuk membeli pengalaman pergi ke sekitar 30 negara lainnya. Sangat sering istri dan anak saya ikut untuk menambah pengalaman mereka jika tujuan bepergian memang untuk berlibur. Berbeda dengan banyak orang yang suka mengoleksi mobil bagus, barang-barang impor branded, perhiasan mewah, dan hobi makan di restoran mahal, saya tidak tertarik.
Saya jauh lebih puas dan rela membelanjakan uang saya untuk bepergian melihat dunia. Saat menuliskan artikel ini, saya masih berkeliling Italia mengunjungi Roma, Florence, Verona, Pisa, Torino, Genoa, dan Nice di Perancis. Saya juga menyempatkan diri menginjakkan kaki di dua negara terkecil di dunia yaitu Vatikan dan Monako serta nomor lima terkecil yaitu San Marino. Saya akan menceritakan pengalaman-pengalaman unik melanglang buana ke lima benua pada kesempatan lain.
BUDI FRENSIDY
Staf Pengajar FEUI dan Perencana Keuangan,
www.fund-and-fun.com
@BudiFrensidy
Keledai saja konon tidak akan jatuh ke lobang yang sama untuk kali kedua. Itu sebabnya kita sering mendengar istilah lesson learned atau pelajaran yang didapat. Ketika masih di SMP, saya sangat setuju dan terkesan dengan pepatah ini hingga menjadikannya prinsip hidup saya. Namun, dengan berjalannya waktu dan banyak membaca, saya melihat kelemahan pepatah ini bahwa kita sering harus membayar sangat mahal untuk beberapa pengalaman.
Hindari Pengalaman Berharga Mahal
Ada beberapa kesalahan yang berbiaya besar sehingga kita jangan pernah mengalaminya meski hanya sekali. Pengalamanpengalaman berharga mahal itu di antaranya adalah tidak naik kelas, putus kuliah, seks bebas hinggahamiltanpamenikah, dan terkena penyakit yang belum ada obatnya. Masih ada lagi yang lain yaitu tergoda untuk mencoba narkoba dan melakukan tindak pidana.
Dalam dunia investasi, kesalahan fatal itu adalah menaruh sebagian besar dana yang kita miliki dalam produk investasi gadungan atau terjebak dalam skema Ponzi. Seseorang yang tidak naik kelas harus rugi satu tahun dibandingkan teman-teman seusianya. Hitunglah berapa banyak biaya sekolah, waktu, dan tenaga yang terbuang percuma.
Mahasiswa yang putus kuliah dan tidak mau meneruskan studinya juga membuang beberapa tahun sia-sia tanpa hasil. Masa depan yang tadinya cerah sangat mungkin menjadi sirna. Saya punya beberapa kawan yang di-DO dari FEUI dan patah semangat. Mereka akhirnya hanya bekerja sebagai sopir pribadi dan karyawan nonmanajerial lainnya. Sementara, kawan-kawan kuliah saya yang sukses banyak yang menjadi Direktur Keuangan perusahaan terbuka atau multinasional.
Ada juga yang menjadi Menteri Keuangan, Direktur Utama sebuah bank nasional, dan pejabat setingkat duta besar di saat usia semuanya belum 50 tahun saat ini. Seks bebas di usia muda hingga hamil tanpa menikah apalagi sampai melahirkan anak tanpa ayah adalah aib besar dalam masyarakat kita. Hukuman sosial untuk mereka yang mengalaminya sangat berat.
Hukuman yang hampir sama juga dialami para penderita penyakit HIV/AIDS yang dicurigai akibat pergaulan bebas atau penggunaan jarum suntik sembarangan. Saya sangat menyayangkan sikap masyarakat seperti ini karena mestinya yang kita hindari dan tidak sukai adalah tindakan masa lalu dan penyakitnya, dan bukan mereka yang menjadi korbannya.
Terakhir, yang menimbulkan paling banyak penyesalan terutama bagi orang tua dan keluarga adalah orang-orang yang kecanduan nar-koba atau yang melakukan tindakan pidana. Sebagian kehidupan orang-orang ini akan hilang percuma. Masa depan pun langsung menjadi suram. Bukan saja sulit mendapatkan pekerjaan dengan penghasilan yang layak, uang dan aset yang ada dapat habis. Untuk soal keuangan, jika Anda kurang cerdas dan sekaligus serakah, Anda dapat saja kehilangan dana hasil jerih-payah bekerja seumur hidup karena tergoda investasi bodong yang tidak masuk akal.
Berbekal Pengalaman Orang Lain
Karena itu, saya sekarang lebih suka pepatah, ”Pengalaman orang lain adalah guru terbaik.” Dalam pandangan saya, orang pintar akan belajar dari pengalaman sendiri tetapi yang lebih pintar akan berusaha untuk belajar dari pengalaman orang lain terlebih dahulu dengan cara banyak membaca, menonton, dan bergaul.
Meskipun demikian, saya juga memperhatikan banyak pengalaman dalam hidup ini tidak bisa diperoleh hanya dari membaca, menonton, atau mendengar dari orang lain. Maksud saya, membaca puluhan buku dan majalah tentang eksotisnya pulau Bali tidak akan sama dengan berada di pulau dewata ini selama 3-4 hari. Menonton ratusan film Amerika yang sudah menjadi bagian dari gaya hidup kita saat ini tidak pernah dapat menyamai pengalaman tinggal selama seminggu di negara adidaya ini.
Belasan tahun belajar bahasa Inggris di sekolah dan kursus di Indonesia tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan hidup dan bersekolah atau bekerja selama setahun di negara asli berbahasa Inggris.
Dari Bali Menuju Dunia
Pengalaman saya pertama kali ke Bali saat usia 15 tahun sangat berkesan dan terus teringat sampai saya berkesempatan ke luar negeri untuk pertama kalinya 11 tahun kemudian. Saat itu, dengan modal penguasaan bahasa Inggris, saya terpilih untuk dikirim UI ke Temple University, Amerika Serikat, untuk studi lanjut hanya beberapa bulan setelah lulus kuliah.
Saya berkesempatan untuk kembali ke negeri impian banyak orang ini di tahun 2009 dan 2013 untuk menghadiri konferensi bisnis dan undangan pertemuan tahunan analis keuangan di sana. Tidak hanya Amerika, saya kembali mendapatkan beasiswa dari pemerintah Australia pada tahun 1997 untuk studi di salah satu universitas terbaik mereka yaitu UNSW.
Selain untuk urusan studi lanjut di atas, saya tentunya harus merogoh kocek sendiri untuk membeli pengalaman pergi ke sekitar 30 negara lainnya. Sangat sering istri dan anak saya ikut untuk menambah pengalaman mereka jika tujuan bepergian memang untuk berlibur. Berbeda dengan banyak orang yang suka mengoleksi mobil bagus, barang-barang impor branded, perhiasan mewah, dan hobi makan di restoran mahal, saya tidak tertarik.
Saya jauh lebih puas dan rela membelanjakan uang saya untuk bepergian melihat dunia. Saat menuliskan artikel ini, saya masih berkeliling Italia mengunjungi Roma, Florence, Verona, Pisa, Torino, Genoa, dan Nice di Perancis. Saya juga menyempatkan diri menginjakkan kaki di dua negara terkecil di dunia yaitu Vatikan dan Monako serta nomor lima terkecil yaitu San Marino. Saya akan menceritakan pengalaman-pengalaman unik melanglang buana ke lima benua pada kesempatan lain.
BUDI FRENSIDY
Staf Pengajar FEUI dan Perencana Keuangan,
www.fund-and-fun.com
@BudiFrensidy
(bbg)