Terbiasa Mandiri Sejak Kecil
A
A
A
Kesuksesan Sudirman Maman Rusdi dalam menjalani karier di dunia automotif hingga kini menjabat presiden direktur Astra Daihatsu Motor (ADM) ternyata tidak diperoleh begitu saja.
Banyak jalan berliku yang dilaluinya. Dia menapaki jenjang karier dari nol, termasuk membuka lahan untuk pabrik mobil bersama teman seangkatannya. Sejak kelas 3 SMP Sudirman bertekad untuk mandiri. Dia rela memisahkan diri dari orang tua untuk bersekolah di STM di kota kelahirannya, Tasikmalaya.
Lulus dari STM di Tasikmalaya, berbekal ijazah dia merantau ke Jakarta untuk kuliah pada akhir 1973. Di Ibu Kota, bukannya kuliah, dia malah bekerja di perusahaan joint venture PT Balikpapan Forest Industry yang saat itu membutuhkan tenaga kerja untuk dilatih di Jepang selama 1,5 tahun. Di perusahaan itu dia belajar bagaimana membuat kayu lapis. ”Setahun di sana, tapi pabriknya tidak jadi dibangun. Akhirnya selesai kontrak, saya pulang ke Jakarta lagi,” ujarnya.
Pengalaman training dari Jepang dimanfaatkan oleh Sudirman dengan baik. Sepulangnya ke Indonesia, dia bekerja di perusahaan aluminium yaitu PT Aluminium Work Indonesia yang juga perusahaan joint venture. Suatu hari dia melihat lowongan kerja di surat kabar dan memutuskan untuk mencoba melamarnya. Perusahaan itu pun tidak diketahuinya karena alamatnya hanya berupa PO BOX. ”Akhirnya saya masukin lamaran. Saya belum tahu itu perusahaan apa,” imbuhnya.
Setelah mengikuti tes dan wawancara beberapa tahap, akhirnya dia diterima di perusahaan tersebut yang ternyata adalah Astra Daihatsu Motor, yang merupakan bagian dari Astra International. Awalnya banyak yang mempertanyakan alasan dia pindah karena di perusahaan sebelumnya sudah mendapatkan fasilitas yang bagus dibandingkan dengan posisinya di perusahaan yang baru ini.
”Saat itu saya melihat Astra dan automotif akan dibutuhkan di Indonesia. Saya menganggap ini ladang yang subur. Saya ingin menjadi bibit yang baik. Kalau bisa jadi bibit yang baik, saya mau tumbuh bersama- sama. Itu saja pertimbangan saya,” terangnya.
Di tempat kerja yang barunya itu, Sudirman tercatat sebagai karyawan kelima. Dia mengawali hari-harinya sebagai karyawan dengan status belum sebagai staf. Saat itu pabriknya belum berdiri. Sudirman muda yang masih semangat saat itu justru menjadi salah satu karyawan yang turut membuka lahan untuk pabrik di kawasan Sunter, Jakarta Utara. ”Saya waktu itu bawa parang dan perlengkapan lain untuk membersihkan tanah kosong bersama karyawan lain,” ujarnya mengenang.
Selama bekerja di Daihatsu pun dia menerapkan disiplin dan kerja keras. Sudirman terus menyampaikan ke temanteman sekantornya untuk terus belajar, belajar, dan belajar. Hal ini diperlukan agar bisa meningkatkan kompetensi sehingga perusahaan yang dipimpinnya itu bisa bersaing, minimal sejajar dengan perusahaan di Jepang. ”Di satu sisi puas. Tapi, kepuasan itu tidak ada batasnya dan saya selalu ingin memberikan yang terbaik,” ucapnya.
Namun, selama berkarier di industri automotif, Sudirman juga mengaku mendapatkan pengalaman kerja paling pahit yakni ketika harus mengurangi tenaga kerja saat krisis ekonomi pada 1998. ”Enggak terbayang saya harus memecat rekan sejawat saya, ada juga mantan bos saya, harus saya diminta mundur pada saat itu. Itu yang membekas di hati,” tuturnya.
Dia mengakui, sebagai perusahaan joint venture dengan perusahaan Jepang, terkadang memang timbul gesekan karena perbedaan budaya. Untuk menyiasati hal tersebut, Sudirman selalu mengajak para kepala divisi untuk berdiskusi setiap hari Jumat, menceritakan permasalahan, dan mencari jalan keluarnya. ”Makanya saya selalu bilang, bekerja harus belajar terus. Gali ilmunya mereka,” pungkasnya.
Oktiani endarwati
Banyak jalan berliku yang dilaluinya. Dia menapaki jenjang karier dari nol, termasuk membuka lahan untuk pabrik mobil bersama teman seangkatannya. Sejak kelas 3 SMP Sudirman bertekad untuk mandiri. Dia rela memisahkan diri dari orang tua untuk bersekolah di STM di kota kelahirannya, Tasikmalaya.
Lulus dari STM di Tasikmalaya, berbekal ijazah dia merantau ke Jakarta untuk kuliah pada akhir 1973. Di Ibu Kota, bukannya kuliah, dia malah bekerja di perusahaan joint venture PT Balikpapan Forest Industry yang saat itu membutuhkan tenaga kerja untuk dilatih di Jepang selama 1,5 tahun. Di perusahaan itu dia belajar bagaimana membuat kayu lapis. ”Setahun di sana, tapi pabriknya tidak jadi dibangun. Akhirnya selesai kontrak, saya pulang ke Jakarta lagi,” ujarnya.
Pengalaman training dari Jepang dimanfaatkan oleh Sudirman dengan baik. Sepulangnya ke Indonesia, dia bekerja di perusahaan aluminium yaitu PT Aluminium Work Indonesia yang juga perusahaan joint venture. Suatu hari dia melihat lowongan kerja di surat kabar dan memutuskan untuk mencoba melamarnya. Perusahaan itu pun tidak diketahuinya karena alamatnya hanya berupa PO BOX. ”Akhirnya saya masukin lamaran. Saya belum tahu itu perusahaan apa,” imbuhnya.
Setelah mengikuti tes dan wawancara beberapa tahap, akhirnya dia diterima di perusahaan tersebut yang ternyata adalah Astra Daihatsu Motor, yang merupakan bagian dari Astra International. Awalnya banyak yang mempertanyakan alasan dia pindah karena di perusahaan sebelumnya sudah mendapatkan fasilitas yang bagus dibandingkan dengan posisinya di perusahaan yang baru ini.
”Saat itu saya melihat Astra dan automotif akan dibutuhkan di Indonesia. Saya menganggap ini ladang yang subur. Saya ingin menjadi bibit yang baik. Kalau bisa jadi bibit yang baik, saya mau tumbuh bersama- sama. Itu saja pertimbangan saya,” terangnya.
Di tempat kerja yang barunya itu, Sudirman tercatat sebagai karyawan kelima. Dia mengawali hari-harinya sebagai karyawan dengan status belum sebagai staf. Saat itu pabriknya belum berdiri. Sudirman muda yang masih semangat saat itu justru menjadi salah satu karyawan yang turut membuka lahan untuk pabrik di kawasan Sunter, Jakarta Utara. ”Saya waktu itu bawa parang dan perlengkapan lain untuk membersihkan tanah kosong bersama karyawan lain,” ujarnya mengenang.
Selama bekerja di Daihatsu pun dia menerapkan disiplin dan kerja keras. Sudirman terus menyampaikan ke temanteman sekantornya untuk terus belajar, belajar, dan belajar. Hal ini diperlukan agar bisa meningkatkan kompetensi sehingga perusahaan yang dipimpinnya itu bisa bersaing, minimal sejajar dengan perusahaan di Jepang. ”Di satu sisi puas. Tapi, kepuasan itu tidak ada batasnya dan saya selalu ingin memberikan yang terbaik,” ucapnya.
Namun, selama berkarier di industri automotif, Sudirman juga mengaku mendapatkan pengalaman kerja paling pahit yakni ketika harus mengurangi tenaga kerja saat krisis ekonomi pada 1998. ”Enggak terbayang saya harus memecat rekan sejawat saya, ada juga mantan bos saya, harus saya diminta mundur pada saat itu. Itu yang membekas di hati,” tuturnya.
Dia mengakui, sebagai perusahaan joint venture dengan perusahaan Jepang, terkadang memang timbul gesekan karena perbedaan budaya. Untuk menyiasati hal tersebut, Sudirman selalu mengajak para kepala divisi untuk berdiskusi setiap hari Jumat, menceritakan permasalahan, dan mencari jalan keluarnya. ”Makanya saya selalu bilang, bekerja harus belajar terus. Gali ilmunya mereka,” pungkasnya.
Oktiani endarwati
(ftr)