UU JPSK Rampung Oktober
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sepakat mencabut Peraturan Pemerintah Pengganti Undang- Undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2008 tentang Jaring Pengaman Sistem Keuangan (JPSK).
Rencananya, Perppu ini akan digantikan oleh produk hukum yang lebih tinggi yaitu Undang- Undang JPSK. ”(UU) Ditargetkan selesai masa sidang berikutnya. Satu masa sidang selesai. Kita mengharapkan paling lama Oktober,” ujar Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro di Gedung DPR/MPR Jakarta kemarin.
Bambang menuturkan, pencabutan Perppu JPSK ini membuat Komisi XI DPR memiliki ruang untuk membahas rancangan undang-undang (RUU) JPSK bersama dengan pemerintah secara lebih mendalam. Menurut dia, UU JPSK ini dibutuhkan sebagai payung hukum untuk mengantisipasi situasi ekonomi yang membutuhkan langkah ekstra.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo berujar, Komisi XI DPR akan membawa rancangan UU JPSK ke sidang paripurna untuk disetujui secara resmi. Dia pun berharap, RUU tersebut bisa segera disahkan. ”Hal ini yang rasanya memang diperlukan oleh Indonesia,” kata dia.
Menurut Agus, salah satu poin yang akan diatur dalam RUU JPSK adalah pemberian kategori kepada bank-bank tertentu oleh BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Nantinya, aturan ini berdampak pada dana talangan kepada bank tersebut jika bermasalah. ”Apabila bank itu tidak masuk dalam kategori sovereign maka tidak berhak untuk meminta likuiditas jangka pendek,” ucap mantan Direktur Utama Bank Mandiri ini.
Dalam RUU itu, kata Agus, bank yang masuk dalam kategori sovereign atau setidaknya Domestic Systematically Important Bank (D-SIBS) membutuhkan persetujuan Menkeu jika memerlukan dana talangan. Sementara, non D-SIBS akan ditangani oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad mengatakan, pihaknya telah menantikan naskah RUU JPSK dari pemerintah sejak lama. Dia pun menyebut, seluruh fraksi di DPR secara bulat telah menyepakati pembahasan RUU ini dan membawanya ke sidang paripurna. Sebelumnya Fadel mengatakan bahwa RUU JPSK baru akan dibahas dan diagendakan pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016.
Menurutnya, RUU JPSK ini dinilai sangat penting sebagai upaya melindungi perbankan dalam negeri. Selama ini Indonesia dinilai belum memiliki aturan jelas dalam penanganan krisis sistem keuangan apabila terjadi krisis. Sehingga, apabila Arsitektur Sistem Keuangan Nasional seperti UU tentang Bank Indonesia (BI), UU Perbankan dan UU JPSK bisa dapat disinkronkan maka akan lebih kuat bila terjadi ancaman krisis.
Menurut Fadel, Arsitektur Sistem Keuangan Nasional mampu menjadikan sektor riil bergerak lebih dinamis sehingga mampu melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, diperlukan regulasi untuk arsitektur sistem keuangan nasional agar terwujud sistem ekonomi nasional yang stabil dan berkelanjutan.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) C Heru Budiargo sebelumnya juga mengatakan, RUU JPSK dapat memberikan kepastian hukum untuk mengupayakan dan memastikan sistem keuangan mempunyai daya tahan yang relatif kuat terhadap tekanan yang berat sekalipun. Menurutnya, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, Indonesia telah menghadapi rangkaian krisis keuangan yang terjadi baik di tingkat nasional, regional, maupun regional.
Rahmat fiansyah/ kunthi fahmar sandy
Rencananya, Perppu ini akan digantikan oleh produk hukum yang lebih tinggi yaitu Undang- Undang JPSK. ”(UU) Ditargetkan selesai masa sidang berikutnya. Satu masa sidang selesai. Kita mengharapkan paling lama Oktober,” ujar Menteri Keuangan Bambang PS Brodjonegoro di Gedung DPR/MPR Jakarta kemarin.
Bambang menuturkan, pencabutan Perppu JPSK ini membuat Komisi XI DPR memiliki ruang untuk membahas rancangan undang-undang (RUU) JPSK bersama dengan pemerintah secara lebih mendalam. Menurut dia, UU JPSK ini dibutuhkan sebagai payung hukum untuk mengantisipasi situasi ekonomi yang membutuhkan langkah ekstra.
Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus DW Martowardojo berujar, Komisi XI DPR akan membawa rancangan UU JPSK ke sidang paripurna untuk disetujui secara resmi. Dia pun berharap, RUU tersebut bisa segera disahkan. ”Hal ini yang rasanya memang diperlukan oleh Indonesia,” kata dia.
Menurut Agus, salah satu poin yang akan diatur dalam RUU JPSK adalah pemberian kategori kepada bank-bank tertentu oleh BI dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Nantinya, aturan ini berdampak pada dana talangan kepada bank tersebut jika bermasalah. ”Apabila bank itu tidak masuk dalam kategori sovereign maka tidak berhak untuk meminta likuiditas jangka pendek,” ucap mantan Direktur Utama Bank Mandiri ini.
Dalam RUU itu, kata Agus, bank yang masuk dalam kategori sovereign atau setidaknya Domestic Systematically Important Bank (D-SIBS) membutuhkan persetujuan Menkeu jika memerlukan dana talangan. Sementara, non D-SIBS akan ditangani oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS).
Ketua Komisi XI DPR Fadel Muhammad mengatakan, pihaknya telah menantikan naskah RUU JPSK dari pemerintah sejak lama. Dia pun menyebut, seluruh fraksi di DPR secara bulat telah menyepakati pembahasan RUU ini dan membawanya ke sidang paripurna. Sebelumnya Fadel mengatakan bahwa RUU JPSK baru akan dibahas dan diagendakan pada Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2016.
Menurutnya, RUU JPSK ini dinilai sangat penting sebagai upaya melindungi perbankan dalam negeri. Selama ini Indonesia dinilai belum memiliki aturan jelas dalam penanganan krisis sistem keuangan apabila terjadi krisis. Sehingga, apabila Arsitektur Sistem Keuangan Nasional seperti UU tentang Bank Indonesia (BI), UU Perbankan dan UU JPSK bisa dapat disinkronkan maka akan lebih kuat bila terjadi ancaman krisis.
Menurut Fadel, Arsitektur Sistem Keuangan Nasional mampu menjadikan sektor riil bergerak lebih dinamis sehingga mampu melakukan percepatan pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, diperlukan regulasi untuk arsitektur sistem keuangan nasional agar terwujud sistem ekonomi nasional yang stabil dan berkelanjutan.
Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) C Heru Budiargo sebelumnya juga mengatakan, RUU JPSK dapat memberikan kepastian hukum untuk mengupayakan dan memastikan sistem keuangan mempunyai daya tahan yang relatif kuat terhadap tekanan yang berat sekalipun. Menurutnya, dalam kurun waktu 15 tahun terakhir, Indonesia telah menghadapi rangkaian krisis keuangan yang terjadi baik di tingkat nasional, regional, maupun regional.
Rahmat fiansyah/ kunthi fahmar sandy
(bbg)