40% IKM Komponen Stop Produksi
A
A
A
JAKARTA - Hampir separuh atau sekitar 40% industri kecil dan menengah (IKM) komponen berhenti produksi. Mereka tak sanggup menanggung kerugian lantaran harga bahan baku dan biaya produksi yang melonjak.
”Survive sekitar 60%, yang tiarap itu maksudnya berhenti sementara sekitar 33%, dan sisanya 7% mati suri. Padahal, IKM berbasis komponen ini bisa menjadi bagian untuk produk automotif,” ujar Dirjen IKM Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Euis Saedah di Jakarta kemarin. Menurut Euis, kondisi yang demikian disebabkan berbagai faktor. Di antaranya, biaya produksi yang semakin naik. Ini disebabkan harga bahan baku yang makin mahal lantaran sebagian besar harus diimpor.
”Dolar mahal, beli juga semakin mahal, terus bersamaan listrik dan gas juga naik,” imbuhnya. Euis menambahkan, 70 IKM yang berbasis komponen bisa menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Bahkan, ada yang di atas 100 orang untuk satu perusahaan IKM. ”Oleh karena itu, untuk IKM komponen, kita ingin punya definisi sendiri. Karena kalau kita merujuk pada definisinya UKM dari BPS, (definisi) itu tidak masuk.
Kalau mereka tidak kita urus, ke atas tidak digubris, ke bawah enggak masuk,” jelasnya. Saat ini IKM komponen memerlukan pemetaan ulang mulai dari pendefinisian dari sisi permodalan hingga jumlah tenaga kerja. Selama ini definisi IKM adalah dengan modal Rp500 juta-5 miliar dengan maksimum tenaga kerja 99 orang. Sementara, sebagian IKM berbasis komponen modalnya di atas Rp5 miliar dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang.
”Mereka bukan besar, tetapi dalam definisi IKM mereka enggak masuk. Makanya mereka kalau berhadapan dengan IKM Jepang, Korea, susah. Karena yang disebut IKM di Jepang dan Korea itu rata-rata sudah di atas,” jelasnya. Oleh karena itu, Kemenperin berusaha membuka network dengan OEM, REM, Placement yang merupakan jaringan bengkel maupun after sales.
”Sebenarnya itu masalah klasik, tetapi kok masih sulit. Padahal, ada beberapa kasus yang dulunya mereka buat, sekarang diambil yang lain,” ungkapnya. Euis menuturkan, selain membuka network , Kemenperin juga akan melakukan restrukturisasi mesin dan pelatihan. Menurutnya, yang akan menolong IKM berbasis komponen adalah dengan membuat sentra IKM komponen yang baru. ”Sekarang paling banyak tersebar di Jakarta, Bandung, Bekasi.
Dengan adanya sentra IKM, maka semuanya terpusat. Sehingga kalau ada bahan baku, enggakkemana- mana,” tuturnya. Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mengatakan, banyak produk industri komponen yang masih diimpor. Padahal, bahan bakunya ada di dalam negeri, tetapi banyak yang diproduksi di Thailand dan Jepang.
”Tentu ini yang kita minta agar industri komponen yang ada di sana masuk kedalam negeri, sehingga kita mengurangi importasi komponen automotif,” ujarnya. Saleh menambahkan, pemerintah akan terus berkoordinasi agar ketika industri komponen dari luar masuk, tidak mematikan industri komponen lokal. ”Nanti kita berkoordinasi kalau yang dari Jepang masuk bisa berpartner dengan IKM komponen lokal,” pungkasnya.
Oktiani endarwati
”Survive sekitar 60%, yang tiarap itu maksudnya berhenti sementara sekitar 33%, dan sisanya 7% mati suri. Padahal, IKM berbasis komponen ini bisa menjadi bagian untuk produk automotif,” ujar Dirjen IKM Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Euis Saedah di Jakarta kemarin. Menurut Euis, kondisi yang demikian disebabkan berbagai faktor. Di antaranya, biaya produksi yang semakin naik. Ini disebabkan harga bahan baku yang makin mahal lantaran sebagian besar harus diimpor.
”Dolar mahal, beli juga semakin mahal, terus bersamaan listrik dan gas juga naik,” imbuhnya. Euis menambahkan, 70 IKM yang berbasis komponen bisa menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Bahkan, ada yang di atas 100 orang untuk satu perusahaan IKM. ”Oleh karena itu, untuk IKM komponen, kita ingin punya definisi sendiri. Karena kalau kita merujuk pada definisinya UKM dari BPS, (definisi) itu tidak masuk.
Kalau mereka tidak kita urus, ke atas tidak digubris, ke bawah enggak masuk,” jelasnya. Saat ini IKM komponen memerlukan pemetaan ulang mulai dari pendefinisian dari sisi permodalan hingga jumlah tenaga kerja. Selama ini definisi IKM adalah dengan modal Rp500 juta-5 miliar dengan maksimum tenaga kerja 99 orang. Sementara, sebagian IKM berbasis komponen modalnya di atas Rp5 miliar dengan tenaga kerja lebih dari 100 orang.
”Mereka bukan besar, tetapi dalam definisi IKM mereka enggak masuk. Makanya mereka kalau berhadapan dengan IKM Jepang, Korea, susah. Karena yang disebut IKM di Jepang dan Korea itu rata-rata sudah di atas,” jelasnya. Oleh karena itu, Kemenperin berusaha membuka network dengan OEM, REM, Placement yang merupakan jaringan bengkel maupun after sales.
”Sebenarnya itu masalah klasik, tetapi kok masih sulit. Padahal, ada beberapa kasus yang dulunya mereka buat, sekarang diambil yang lain,” ungkapnya. Euis menuturkan, selain membuka network , Kemenperin juga akan melakukan restrukturisasi mesin dan pelatihan. Menurutnya, yang akan menolong IKM berbasis komponen adalah dengan membuat sentra IKM komponen yang baru. ”Sekarang paling banyak tersebar di Jakarta, Bandung, Bekasi.
Dengan adanya sentra IKM, maka semuanya terpusat. Sehingga kalau ada bahan baku, enggakkemana- mana,” tuturnya. Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin mengatakan, banyak produk industri komponen yang masih diimpor. Padahal, bahan bakunya ada di dalam negeri, tetapi banyak yang diproduksi di Thailand dan Jepang.
”Tentu ini yang kita minta agar industri komponen yang ada di sana masuk kedalam negeri, sehingga kita mengurangi importasi komponen automotif,” ujarnya. Saleh menambahkan, pemerintah akan terus berkoordinasi agar ketika industri komponen dari luar masuk, tidak mematikan industri komponen lokal. ”Nanti kita berkoordinasi kalau yang dari Jepang masuk bisa berpartner dengan IKM komponen lokal,” pungkasnya.
Oktiani endarwati
(bbg)