Pemerintah-Pengusaha Harus Dialog Intensif

Senin, 13 Juli 2015 - 10:34 WIB
Pemerintah-Pengusaha...
Pemerintah-Pengusaha Harus Dialog Intensif
A A A
JAKARTA - Ekonomi Indonesia kini menghadapi dua tantangan sekaligus, yaitu faktor eksternal berupa ketidakpastian ekonomi global dan faktor internal berupa perlambatan ekonomi.

Untuk mengatasi hal ini, pemerintah dan pengusaha perlu bekerja sama, di samping berkoordinasi dengan Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas moneter. ”Salah satu kunci agar ekonomi tetap resilience menghadapi external shock adalah pemerintah dan dunia usaha perlu berdialog lebih intensif lagi,” ujar ekonom yang juga Rektor Universitas Paramadina Firmanzah, di Jakarta kemarin.

Dia menekankan, dialog antara pemerintah dan pengusaha tidak bisa dilakukan satu atau dua kali. Dialog intensif perlu dilakukan agar pemerintah mendapat masukan yang lebih baik dari para pengusaha. ”Kalau dialognya dilakukan intens, pemerintah bisa mengeluarkan stimulus fiskal yang terukur dan tepat sasaran.

Jadi tidak gebyah uyah. Kalau perlu, sesering presiden ratas (rapat terbatas) dengan para menterinya,” tambah dia. Firmanzah menilai, dialog ini juga penting untuk membangun tingkat kepercayaan (confidence level ) bagi pengusaha terhadap prospek ekonomi.

Dukungan pemerintah terhadap pengusaha juga penting untuk mengatasi perlambatan ekonomi. Mantan Staf Khusus Bidang Ekonomi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono itu menuturkan, resep tersebut yang dilakukan saat Indonesia menghadapi krisisekonomiglobalpada2008.

Selain itu, pemerintah pusat juga perlu berdialog dengan pemerintah daerah untuk menyinergikan program. ”Karena di era desentralisasi, yang menjalankan pemerintahan ini bukan hanya kementerian/lembaga, tapi juga wali kota dan bupati. Indonesia harus incorporated,” jelas Firmanzah. Sementaraitu, KetuaUmum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B Sukamdani mengatakanadaempathalyang mendesak harus dilakukan pemerintah.

Pertama, pemerintah harus memastikan semua belanja pemerintah, baik di pusat maupun di daerah berjalan sesuai dengan rencana supaya bisa menggerakkan ekonomi terutama di daerah. ”Pemerintah sudah mulai mencairkan APBN, tetapi itu terhambat di pemerintah daerah.

Ini pemerintah pusat harus mengambil inisiatif supaya semua belanja pemerintah dilaksanakan dengan baik,” ujarnya ketika dihubungi KORAN SINDO kemarin. Kedua, pemerintah harus mendorong sebesar-besarnya substitusi impor untuk menjaga nilai tukar rupiah tidak semakin melemah.

”Semua bahan yang selama ini impor diupayakan semaksimal mungkin diproduksi di dalam negeri, termasuk juga pangan didorong diproduksi di dalam negeri agar mengurangi devisa kita yang keluar. Kalau ekspornya bermasalah, paling tidak belanja dalam negeri harus kita maksimalkan,” jelasnya. Ketiga, ungkap Hariyadi, pemerintah juga diminta melakukan upaya-upaya pemberesan yang sifatnya bisa dilakukan pemerintah secara cepat untuk menurunkan biaya ekonomi tinggi.

Kemudian data yang akurat terkait ketersediaan bahan pokok seperti gula dan beras, juga dinilai penting. Pemerintah harus fokus untuk membenahi hal tersebut dan fokus koordinasi menurunkan seluruh biaya ekonomi. ”Jadi, koordinasi antarlembaga untuk melancarkan semua yang terkait dengan ekonomi kita itu penting,” imbuhnya Keempat, lanjutnya, terkait masalah perpajakan yang harus segera dilonggarkan karena dinilai targetnya sudah terlalu tinggi.

”Padahal ekonomi sedang turun. Akibatnya orang pajak untuk menjaga reputasinya membabi buta mengejar wajib pajak. Ini terjadi karena targetnya tidak direvisi,” tegasnya. Pengamat ekonomi dari Indef, Enny Sri Hartati, menilai daya beli turun disebabkan adanya berbagai kenaikan harga bahan pokok.

Akibatnya optimalisasi bahan pokok meningkat, sedangkan pembelian barang-barang kebutuhan menurun. ”Itu yang menyebabkan industri kita anjlok,” ujarnya. Selain daya beli masyarakat menurun, lanjut Enny, berbagai macam tekanan biaya produksi, mulai suku bunga yang tinggi, logistik tinggi, hingga UMR naik yang menyebabkan industri di Indonesiamenurun.

”Ditambah lagi pengusaha bingung atas kebijakan pemerintah yang berubah- ubah dan tidak jelas sehingga otomatis memperburuk,” ucapnya. Sudah menghadapi tekanan ekonomi, lanjutnya, pemerintah justru tidak punya integritas terhadap pengusaha.

Lalu, pemerintah mencanangkan untuk membangun infrastruktur. ”Tapi itu masih jangka menengah, tidak bisa jangka pendek,” ungkapnya. Efeknya, jelas Enny, memberikan stimulus yang menyebabkan perlambatan pertumbuhan manufaktur. ”Maka pengusaha melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) cukup besar,” tuturnya.

Pertumbuhan Kredit

Sementara itu, Bank Indonesia (BI) memprediksi pertumbuhan kredit baru pada kuartal III/2015 diperkirakan meningkat. Tecermin dari nilai saldo bersih tertimbang (SBT) sebesar 95,7% atau naik dari 66,7% kuartal sebelumnya.

Direktur Departemen Komunikasi Bank Indonesia Peter Jacobs mengatakan, optimisme peningkatan kredit baru tersebut didorong oleh perkiraan membaiknya kondisi ekonomi dan meningkatnya kecukupan modal bank. Pada kuartal III, kredit modal kerja diprediksi masih menjadi prioritas utama perbankan dalam penyaluran kredit.

”Menurut orientasi penggunaan kredit, perbankan lebih memprioritaskan kredit yang berorientasi impor,” kata Peter di Jakarta akhir pekan. Gubernur Bank Indonesia Agus DW Martowardojo menambahkan, pertumbuhan kredit sepanjang 2015 bisa mencapai kisaran 11-13%. Asalkan pada semester II tahun 2015 pemerintah bisa merealisasikan anggaran, serta perkembangan investasi dapat membaik.

”Dengan begitu, pertumbuhan ekonomi bisa di angka 5-5,4% serta pertumbuhan kredit bisa di 11-13%,” ujar Agus. Dia juga mengungkapkan bahwa minggu pertama pada Juli inflasi berada pada angka 0,46%. Namun, untuk keseluruhan Juli, inflasi diprediksi bergerak di bawah 7%.

Rahmat Fiansyah/ Oktiani Endarwati/ Kunthi Fahmar Sandy / Okezone
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0624 seconds (0.1#10.140)