Tantangan BPJS di Tahun Pertama

Kamis, 30 Juli 2015 - 00:07 WIB
Tantangan BPJS di Tahun...
Tantangan BPJS di Tahun Pertama
A A A
JAKARTA - BPJS Ketenagakerjaan beroperasi penuh sejak 1 Juli 2015. Inilah era baru jaminan sosial bagi kaum pekerja di Indonesia. Namun, saat akan tancap gas di tahun pertamanya, BPJS menghadapi sejumlah tantangan.

Tragedi ledakan dan kebakaran hebat di PT Mandom Indonesia, Cikarang Barat, Kabupaten Bekasi menjadi cerita pilu di bulan puasa dan menjelang Lebaran. Tujuh belas pekerja produsen alat-alat kosmetik itu tewas dan 58 lainnya luka-luka. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial Ketenagakerjaan (BPJS TK) pun beraksi meringankan duka para korban dan keluarga mereka. Total Dana Jaminan Sosial yang dibayarkan BPJS mencapai Rp3,4 miliar. Dana tersebut merupakan gabungan dari empat manfaat sekaligus, yakni Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKm), Jaminan Hari Tua (JHT), dan Jaminan Pensiun (JP).

Ketujuh belas korban yang meninggal menerima 48 kali gaji terakhir mereka ditambah Rp4 juta untuk biaya pemakaman. Anak-anak mereka pun mendapatkan beasiswa hingga usia 23 tahun. Manfaat ini lebih besar ketimbang iuran yang dibayarkan perusahaan kepada BPJS. Untuk JKm, misalnya, PT Mandom hanya mengiur Rp6.800 per pekerja. Sementara, untuk JKK cuma 0,24%–1,74% dari upah atau rata-rata Rp20.000 per pekerja. “Jadi, jangan ditanya! Bandingkan saja antara iuran dan manfaatnya,” ujar Direktur Utama BPJS TK, Elvyn G Masassya, Jumat pekan lalu.

***
KASUS PT Mandom bisa menjadi contoh dimulainya era baru jaminan sosial bagi pekerja di Indonesia sejak BPJS TK resmi beroperasi penuh pada 1 Juli 2015. Selain manfaat bagi korban meninggal seperti di atas, JKK BPJS TK pun memberi manfaat perawatan, terapi, dan pelatihan bagi mereka yang terluka hingga bisa bekerja kembali atau yang disebut program “Return to Work”. Manfaat seperti ini tak mungkin pekerja dapatkan pada masa asuransi sosial yang dihelat PT Jamsostek.

Era baru tersebut bisa dikatakan mengakhiri masa-masa ketidakpastian nasib puluhan juta pekerja di Indonesia dalam memenuhi kebutuhan dasarnya, terutama di saat-saat sulit. Data Badan Pusat Statistik pada 2013 menunjukkan, pekerja di Indonesia berjumlah 114 juta orang. Namun, dari jumlah tersebut, hanya 25,6 juta yang terlindungi asuransi. Walhasil, ada lebih dari 88 juta pekerja yang rentan dengan risiko-risiko pekerjaan.

Asuransi pekerja pun dulu terkotak-kotak berdasarkan jenis profesi. Pekerja penerima upah swasta menjadi peserta asuransi yang dikelola PT Jamsostek. Jumlahnya pun terbatas karena tak ada undang-undang yang memaksa perusahaan mendaftarkan pekerjanya kepada Jamsostek. Selama 37 tahun berdiri, PT Jamsostek juga hanya sanggup menghimpun 17,6 juta pekerja sebagai peserta. Pekerja penerima upah di sektor pemerintahan, seperti pegawai negeri sipil (PNS), tergabung dalam asuransi yang dikelola PT Taspen, sedangkan prajurit TNI/Polri menjadi peserta PT Asabri.

Selain kepesertaan yang terbatas, manfaat yang diperoleh pun amat minim. PT Jamsostek dulu tak memiliki skema manfaat JP seperti BPJS saat ini, sedangkan PT Taspen hanya mengelola tabungan hari tua dan pensiun.

Dampak jaminan sosial pekerja yang masih semrawut itu mulai terasa ketika krisis ekonomi melabrak Indonesia pada 1998. Sulastomo, Ketua Tim Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN)—sebuah tim perumus Undang-Undang (UU) SJSN bentukan Presiden—bercerita bahwa krisis ekonomi saat itu memaksa Dewan Pertimbangan Agung (DPA) untuk mengundang beberapa praktisi dan pakar jaminan sosial.

Dalam pertemuan tersebut, para praktisi dan pakar menuding ketiadaan dana tabungan nasional yang cukup telah membuat Indonesia limbung diterpa angin krisis. Ini berbeda dengan Malaysia dan Singapura yang lebih tangguh dan cepat pulih dari krisis. Tabungan nasional kedua negara tetangga itu membuat nilai tukar mata uang mereka mampu tampil lebih stabil terhadap dolar Amerika Serikat. Ternyata, tabungan nasional keduanya ditopang oleh keberadaan CPF (central provident funds) di Singapura dan EPF (employee’s provident funds) di Malaysia alias dana jaminan sosial kaum pekerja.

DPA pun memberi nasihat kepada Abdurrahman Wahid (Gus Dur) sebagai Presiden Indonesia kala itu agar segera mewujudkan sebuah sistem jaminan sosial nasional. Gus Dur kemudian memerintahkan Wakil Presiden Indonesia saat itu, Megawati Soekarnoputri, untuk membentuk sebuah kelompok kerja. Kelompok inilah yang kemudian berubah menjadi Tim SJSN yang merumuskan Pasal 28 H dan Pasal 34 dalam amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan UU SJSN. Dalam kerjanya, Tim SJSN banyak dibantu oleh sejumlah lembaga internasional, terutama GIZ, sebuah lembaga kerja sama internasional milik Pemerintah Jerman.

Tak dapat dimungkiri, SJSN terinspirasi Negeri Otto von Bismarck itu. Lembaga-lembaga keuangan internasional, seperti Bank Dunia, Dana Moneter Internasional, dan Bank Pembangunan Asia juga ikut merekomendasikan agar Indonesia memiliki sistem jaminan sosial.

Jejak inilah yang kerap menjadi bahan tudingan sejumlah kalangan yang menggugat UU SJSN. Mereka menilai SJSN sebagai produk asing yang tak cocok diterapkan di Indonesia. Sebagian lainnya lebih jauh menganggap SJSN sebagai bagian dari konspirasi asing untuk menguasai Indonesia.

Hasbullah Thabrany, salah satu anggota Tim SJSN, menolak dengan tegas pandangan tersebut. Dia mengatakan, pihak asing dilibatkan hanya untuk meyakinkan anggota DPR. Maklum, katanya, anggota parlemen belum yakin jika belum melihat contoh di negara lain. “Jadi, yang menyusun UU SJSN itu kita sendiri. Tidak ada campur tangan dari negara lain,” kata Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia itu, Senin pekan ini.

***
Pada 19 Oktober 2004, Presiden Megawati mengesahkan UU SJSN setelah rancangan bolak-balik ke DPR lebih dari 50 kali. UU itu memerintahkan pelaksanaan sistem jaminan sosial paling lambat lima tahun kemudian. Namun, pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono lalai menaati tenggat tersebut. Akibatnya, baru pada 2011, UU BPJS sebagai pelaksana SJSN disahkan. Pada akhir 2013, Presiden Yudhoyono pun meresmikan Jaminan Kesehatan Nasional yang dikelola BPJS Kesehatan hasil transformasi PT Askes. Pada 1 Juli 2015, giliran Presiden Joko Widodo meresmikan pengoperasian BPJS TK sebagai jelmaan dari PT Jamsostek.

Sayangnya, momen bersejarah 1 Juli sedikit ternoda oleh polemik penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 46 Tahun 2015 tentang JHT. Polemik diawali protes sejumlah pekerja yang gagal mencairkan tabungan JHT pada tanggal tersebut. Musababnya adalah aturan lama yang mengatur PT Jamsostek mengizinkan pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja atau mundur untuk mengambil seluruh tabungannya setelah lima tahun menjadi peserta. Sementara itu, aturan baru dalam PP tersebut tidak mengenal pencairan seluruh dana JHT bagi mereka yang terkena PHK atau keluar dari perusahaan. Aturan baru hanya mengizinkan pekerja aktif mengambil sebagian dana saat setelah sepuluh tahun masa kepesertaan.

Protes pekerja pun membesar, mulai dari sekadar keluh kesah di dalam jejaring media sosial hingga unjuk rasa di jalanan. Uniknya, aturan baru itu justru hanya melaksanakan perintah UU SJSN yang sudah sah sejak 11 tahun lalu. Artinya, selama waktu itu, pekerja tidak menyadari ketentuan baru tersebut. “Memang (ketentuan dalam UU SJSN) tidak terbaca dengan baik oleh buruh,” kata Said Iqbal, Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia, mengakui.

Meski demikian, Said tetap menyalahkan lemahnya sosialisasi pemerintah. PP Nomor 46 Tahun 2015 memang baru kelar pada 29 Juni atau dua hari sebelum masa berlakunya. Karena itu, kata Said, buruh tetap meminta penundaan pemberlakuan aturan tersebut. “Kalau sebuah aturan belum siap, pemberlakuannya mestinya bisa diundur,” kata Said. Pemerintah belakangan sedikit mengalah. Revisi PP tengah disiapkan dengan memasukkan aturan tentang pekerja yang terkena PHK. Namun, Said tetap menolak revisi tersebut. Buruh, katanya, tetap menuntut aturan lama era PT Jamsostek berlaku kembali. “Kita bisa merevisi UU SJSN,” katanya.

Anggota Komisi Kesehatan DPR, Rieke Diah Pitaloka, menyesalkan keterlambatan pemerintah dalam menyusun PP. Padahal, sesuai perintah UU BPJS, PP harus rampung pada 2013. Presiden Joko Widodo yang seharusnya bisa memperbaiki kesalahan pemerintahan lalu juga tak cukup cepat menyelesaikan PP. Akibatnya, kata Rieke, isi tiga aturan turunan, yakni PP JKK dan JKm, PP JHT, serta PP JP belum diketahui buruh, perusahaan, dan bahkan DPR sendiri.

“Saya malah mendapat informasi BPJS belum menerima ketiga PP yang sudah diteken Presiden itu. Ini berarti BPJS hanya berpegang pada draf,” katanya. (Baca: Dikelola untuk Dikembalikan ke Masyarakat)

Taspen dan Asabri Siap Menyodok

Transformasi BPJS TK juga belum sepenuhnya jelas. Jika PT Jamsostek yang bubar setelah berubah menjadi BPJS TK sudah sangat jelas, nasib PT Taspen dan PT Asabri masih kabur. Ini karena UU BPJS tampak setengah hati menempatkan PT Taspen dan PT Asabri dalam skema SJSN. Padahal, UU BPJS memerintahkan pengalihan program asuransi PT Taspen dan PT Asabri ke BPJS selambat-lambatnya pada 2029.

Kini, kabar beredar PT Taspen tengah menyiapkan Rancangan PP tentang JKK dan JKm khusus bagi PNS. Dalam rilis resminya, PT Taspen mengatakan bahwa dua program itu didasarkan pada UU Aparatur Sipil Negara, bukan UU SJSN. Padahal, filosofi SJSN mengisyaratkan seluruh penyelenggaraan jaminan sosial di Indonesia berada di bawah satu payung hukum, yakni UU SJSN dan UU BPJS. “Boleh-boleh saja membuat program yang sama, asalkan on top manfaatnya. Jadi, ada manfaat lebih yang ditawarkan,” ujar Hasbullah.

(Irman Abdurrahman, Fikri Kurniawan, Ferdi Christian, Fahmi Bahtiar, dan Debi Abdullah)

Baca selengkapnya di SINDO Weekly No 21-22 Tahun 4, 2015, terbit Kamis 30 Juli 2015
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7794 seconds (0.1#10.140)