Paradigma Peran Energi Perlu Diubah
A
A
A
JAKARTA - Penguatan sektor industri sebagai penghasil devisa dan lapangan kerja di Tanah Air membutuhkan dukungan ketersediaan sekaligus keterjangkauan energi sebagai penggerak utamanya.
Dengan demikian, harus ada perubahan paradigma dalam peran energi bagi negara. ”Energi jangan lagi dipandang sebagai komoditas. Energi tidak lagi hanya sesuatu yang diperdagangkan, melainkan harus diperlakukan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin pada sidang Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Ke-15 di Kementerian Perindustrian, Jakarta, kemarin.
Menperin mengungkapkan, sektor industri merupakan pengguna energi terbesar di Tanah Air. Kurang lebih 42% dari total konsumsi energi secara nasional diserap sektor industri. Agar dapat lebih berdaya saing, industri butuh pasokan energi dengan biaya murah dan efisien. Dengan kata lain, energi harus menjadi modal untuk mendorong pembangunan perekonomian, melalui industri pengolahan dan peningkatan nilai tambah.
Melalui perubahan paradigma tersebut, energi tidak lagi menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara seperti saat ini. Pendapatan negara nantinya akan bergeser dituai di sisi hilir, melalui industri yang kuat dan berdaya saing. ”Misalnya gas, jika pasokan dan harganya lebih sesuai, maka produksi manufaktur akan meningkat, lapangan kerja bertambah dan tentu saja efisiensi yang mendongkrak daya saing. Belum lagi pendapatan dari pajak,” paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, kebijakan untuk mengubah energi darisekadarkomoditasmenjadi pendorong ekonomi harus dijalankan secara bertahap dan dituangkan dalam kebijakan DEN hingga 2050. Menteri ESDM yang juga menjabat sebagai Ketua Harian DEN ini mengatakan, kajian ini juga ditujukan untuk merumuskan pemanfaatan energi nasional di masa yang akan datang, sebelum penetapan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) diputuskan pada Oktober 2015 melalui sidang paripurna.
”Ketika energi tidak jadi komoditas lagi, nilai tambahnya dijadikan listrik, bahan bakar industri, dan bahan bakar komersial. Sehingga, komoditasnya bagi masyarakat bukan datang dari jual energi, tapi memanfaatkan nilai tambah dari hasil energi. Dijadikan restock ,” tuturnya. Pada kesempatan yang sama Menperin juga menekankan peningkatan partisipasi komponen produksi lokal untuk peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN).
”Salah satu langkahnya yaitu pada proyek transmisi listrik 46.000 km, komponennya diharapkan berasal dari industri nasional seperti baja pada tower, kabel, dan komponen lainnya,” ujar Saleh. Menyoal konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) untuk produk industri automotif, Menperin mengingatkan pentingnya penyediaan fasilitas pendukung.
”Yang paling utama yaitu harus didahulukan ketersediaan infrastruktur energi yaitu stasiun pengisian bahan bakar gas atau SPBG. Bukan hanya disediakan di kota besar, tetapi merata di seluruh pelosok Tanah Air,” tandasnya.
Oktiani endarwati
Dengan demikian, harus ada perubahan paradigma dalam peran energi bagi negara. ”Energi jangan lagi dipandang sebagai komoditas. Energi tidak lagi hanya sesuatu yang diperdagangkan, melainkan harus diperlakukan sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Menteri Perindustrian (Menperin) Saleh Husin pada sidang Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Ke-15 di Kementerian Perindustrian, Jakarta, kemarin.
Menperin mengungkapkan, sektor industri merupakan pengguna energi terbesar di Tanah Air. Kurang lebih 42% dari total konsumsi energi secara nasional diserap sektor industri. Agar dapat lebih berdaya saing, industri butuh pasokan energi dengan biaya murah dan efisien. Dengan kata lain, energi harus menjadi modal untuk mendorong pembangunan perekonomian, melalui industri pengolahan dan peningkatan nilai tambah.
Melalui perubahan paradigma tersebut, energi tidak lagi menjadi salah satu sumber utama pendapatan negara seperti saat ini. Pendapatan negara nantinya akan bergeser dituai di sisi hilir, melalui industri yang kuat dan berdaya saing. ”Misalnya gas, jika pasokan dan harganya lebih sesuai, maka produksi manufaktur akan meningkat, lapangan kerja bertambah dan tentu saja efisiensi yang mendongkrak daya saing. Belum lagi pendapatan dari pajak,” paparnya.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said mengatakan, kebijakan untuk mengubah energi darisekadarkomoditasmenjadi pendorong ekonomi harus dijalankan secara bertahap dan dituangkan dalam kebijakan DEN hingga 2050. Menteri ESDM yang juga menjabat sebagai Ketua Harian DEN ini mengatakan, kajian ini juga ditujukan untuk merumuskan pemanfaatan energi nasional di masa yang akan datang, sebelum penetapan Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) diputuskan pada Oktober 2015 melalui sidang paripurna.
”Ketika energi tidak jadi komoditas lagi, nilai tambahnya dijadikan listrik, bahan bakar industri, dan bahan bakar komersial. Sehingga, komoditasnya bagi masyarakat bukan datang dari jual energi, tapi memanfaatkan nilai tambah dari hasil energi. Dijadikan restock ,” tuturnya. Pada kesempatan yang sama Menperin juga menekankan peningkatan partisipasi komponen produksi lokal untuk peningkatan penggunaan produk dalam negeri (P3DN).
”Salah satu langkahnya yaitu pada proyek transmisi listrik 46.000 km, komponennya diharapkan berasal dari industri nasional seperti baja pada tower, kabel, dan komponen lainnya,” ujar Saleh. Menyoal konversi bahan bakar minyak (BBM) ke bahan bakar gas (BBG) untuk produk industri automotif, Menperin mengingatkan pentingnya penyediaan fasilitas pendukung.
”Yang paling utama yaitu harus didahulukan ketersediaan infrastruktur energi yaitu stasiun pengisian bahan bakar gas atau SPBG. Bukan hanya disediakan di kota besar, tetapi merata di seluruh pelosok Tanah Air,” tandasnya.
Oktiani endarwati
(ars)