Proyek Listrik 35.000 MW Dinilai Tak Realistis
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Sumber Daya Rizal Ramli menilai program pembangkit listrik 35.000 MW yang ditargetkan selesai pada 2019 sulit dicapai.
Menurut Rizal, dengan tambahan sisa target pembangunan pembangkit listrik di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebanyak 7.000 MW, total kapasitas pembangkit yang harus dibangun mencapai 42.000 MW, menjadikan target program itu kurang realistis. Karena itu, Rizal akan meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dan Dewan Energi Nasional (DEN) mengevaluasi ulang program tersebut.
”Itu sulit dicapai dalam lima tahun. Saya akan minta menteri ESDM dan DEN untuk melakukan evaluasi ulang, mana yang betul-betul masuk akal. Jangan dikasih target terlalu tinggi tapi dicapainya susah. Supaya realistis,” kata Rizal seusai serah terima jabatan di BPPT, Jakarta, kemarin. Kementerian ESDM telah menetapkan 109 proyek dalam program tersebut dengan rincian daya total mencapai 36.585 MW, yang tersebar di 210 lokasi.
Rencananya, sebanyak 20.000 MW akan berupa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), 13.000 MW bertenaga gas (PLTG), dan sisanya 2.000 MW menggunakan energi baru dan terbarukan. Adapun, total kebutuhan investasi proyek tersebut diperkirakan mencapai Rp1.127 triliun, terdiri atas Rp512 triliun untuk proyek yang dikerjakan PLN dan Rp615 triliun oleh swasta.
Program itu dipilah atas 74 proyek berkapasitas 25.904 MW yang dikerjakan pengembang listrik swasta (independent power producers /IPP) dan 35 proyek berdaya 10.681 MW dikerjakan PT PLN (Persero). Namun seiring perjalanannya, jatah PLN menggarap pembangkit dalam megaproyek tersebut dikurangi menjadi 5.000 MW karena dianggap kurang mampu dari segi finansial.
Saat ini PLN masih mengkaji proyek mana saja yang akan dilepas ke swasta terkait pengurangan porsi dalam megaproyek tersebut. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu hasil kajian PLN. Kajian tersebut akan dituangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2015-2024.
”Itu nanti harus dimasukkan ke RUPTL. Nanti di-review lagi mana saja yang diserahkan kepada swasta,” ujar dia, saat ditemui di sela pelantikan pejabat eselon, di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, kemarin. Menurut Jarman, pengurangan jatah pembangunan pembangkit dalam megaproyek 35.000 MW sudah tepat jika melihat kondisi keuangan perusahaan.
PLN diarahkan menggarap pembangkit di daerah-daerah terpencil atau yang tidak menarik bagi swasta. PLN juga difokuskan pada pembangunan jaringan transmisi distribusi sebagai bentuk pengoptimalan jasa kepada masyarakat. ”Nanti PLN harus konsentrasi ke transmisi, sedangkan pembangkit hanya untuk yang tidak menarik bagi swasta. Karena, investasi tenaga listrik kan besar, terutama pembangkit, makanya kita serahkan ke swasta,” tegasnya.
Terkait kelangsungan proyek, Jarman tetap optimistis megaproyek tersebut dapat berjalan mulus karena Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) No 03 Tahun 2015 untuk mengurai sumbatan-sumbatan dan mendorong ketertarikan investor. Pemerintah, kata dia, telah banyak belajar dari pengalaman program Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik (Fast Track Program/ FTP) tahap I dan II yang sampai sekarang belum kunjung selesai.
”Kalau dulu kan swasta hanya harga termurah. Sekarang merujuk Permen 03, swasta harus lulus due diligence dulu, harus punya kemampuan teknis dan finansial, baru bicara harga. Harga pun sudah ada ketentuannya, enggak seperti dulu,” ujarnya. Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa mengatakan, pengurangan jatah PLN dikhawatirkan justru akan menghambat realisasi megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW.
Dia juga menilai, kondisi finansial PLN cukup baik untuk mendapatkan pinjaman dari dalam maupun luar negeri untuk pembiayaan pembangunan pembangkit. Bahkan, pemerintah seharusnya membantu PLN dengan memberikan suntikan dana melalui penyertaan modal negara (PMN).
”Jika PLN mengalami kekurangan modal untuk investasi, pemerintah bisa menginjeksi modal dan penggunaan instrumen lainnya,” tutur Fabby. Dia mengatakan, jika keikutsertaan PLN dikurangi, kapasitas pembangkit yang akan terbangun dikhawatirkan menurun. Dia memperkirakan, hingga 2020 kapasitas yang terbangun tidak lebih dari 20.000 MW jika porsi PLN dikurangi.
”Selain tambahan 7.000 MW yang sudah on gong, estimasi saya maksimum 20.000 MW yang bisa terbangun dan terkoneksi pada 2020. Kalau PLN dikurangi, mungkin yang bisa tercapai malah kurang dari 20.000 MW,” tandasnya.
Nanang wijayanto/ant
Menurut Rizal, dengan tambahan sisa target pembangunan pembangkit listrik di era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sebanyak 7.000 MW, total kapasitas pembangkit yang harus dibangun mencapai 42.000 MW, menjadikan target program itu kurang realistis. Karena itu, Rizal akan meminta Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said dan Dewan Energi Nasional (DEN) mengevaluasi ulang program tersebut.
”Itu sulit dicapai dalam lima tahun. Saya akan minta menteri ESDM dan DEN untuk melakukan evaluasi ulang, mana yang betul-betul masuk akal. Jangan dikasih target terlalu tinggi tapi dicapainya susah. Supaya realistis,” kata Rizal seusai serah terima jabatan di BPPT, Jakarta, kemarin. Kementerian ESDM telah menetapkan 109 proyek dalam program tersebut dengan rincian daya total mencapai 36.585 MW, yang tersebar di 210 lokasi.
Rencananya, sebanyak 20.000 MW akan berupa pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), 13.000 MW bertenaga gas (PLTG), dan sisanya 2.000 MW menggunakan energi baru dan terbarukan. Adapun, total kebutuhan investasi proyek tersebut diperkirakan mencapai Rp1.127 triliun, terdiri atas Rp512 triliun untuk proyek yang dikerjakan PLN dan Rp615 triliun oleh swasta.
Program itu dipilah atas 74 proyek berkapasitas 25.904 MW yang dikerjakan pengembang listrik swasta (independent power producers /IPP) dan 35 proyek berdaya 10.681 MW dikerjakan PT PLN (Persero). Namun seiring perjalanannya, jatah PLN menggarap pembangkit dalam megaproyek tersebut dikurangi menjadi 5.000 MW karena dianggap kurang mampu dari segi finansial.
Saat ini PLN masih mengkaji proyek mana saja yang akan dilepas ke swasta terkait pengurangan porsi dalam megaproyek tersebut. Direktur Jenderal Ketenagalistrikan Kementerian ESDM Jarman mengatakan, saat ini pihaknya masih menunggu hasil kajian PLN. Kajian tersebut akan dituangkan dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2015-2024.
”Itu nanti harus dimasukkan ke RUPTL. Nanti di-review lagi mana saja yang diserahkan kepada swasta,” ujar dia, saat ditemui di sela pelantikan pejabat eselon, di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, kemarin. Menurut Jarman, pengurangan jatah pembangunan pembangkit dalam megaproyek 35.000 MW sudah tepat jika melihat kondisi keuangan perusahaan.
PLN diarahkan menggarap pembangkit di daerah-daerah terpencil atau yang tidak menarik bagi swasta. PLN juga difokuskan pada pembangunan jaringan transmisi distribusi sebagai bentuk pengoptimalan jasa kepada masyarakat. ”Nanti PLN harus konsentrasi ke transmisi, sedangkan pembangkit hanya untuk yang tidak menarik bagi swasta. Karena, investasi tenaga listrik kan besar, terutama pembangkit, makanya kita serahkan ke swasta,” tegasnya.
Terkait kelangsungan proyek, Jarman tetap optimistis megaproyek tersebut dapat berjalan mulus karena Kementerian ESDM telah menerbitkan Peraturan Menteri (Permen) No 03 Tahun 2015 untuk mengurai sumbatan-sumbatan dan mendorong ketertarikan investor. Pemerintah, kata dia, telah banyak belajar dari pengalaman program Percepatan Pembangunan Pembangkit Listrik (Fast Track Program/ FTP) tahap I dan II yang sampai sekarang belum kunjung selesai.
”Kalau dulu kan swasta hanya harga termurah. Sekarang merujuk Permen 03, swasta harus lulus due diligence dulu, harus punya kemampuan teknis dan finansial, baru bicara harga. Harga pun sudah ada ketentuannya, enggak seperti dulu,” ujarnya. Terpisah, Direktur Eksekutif Institute for Essential Service Reform Fabby Tumiwa mengatakan, pengurangan jatah PLN dikhawatirkan justru akan menghambat realisasi megaproyek pembangkit listrik 35.000 MW.
Dia juga menilai, kondisi finansial PLN cukup baik untuk mendapatkan pinjaman dari dalam maupun luar negeri untuk pembiayaan pembangunan pembangkit. Bahkan, pemerintah seharusnya membantu PLN dengan memberikan suntikan dana melalui penyertaan modal negara (PMN).
”Jika PLN mengalami kekurangan modal untuk investasi, pemerintah bisa menginjeksi modal dan penggunaan instrumen lainnya,” tutur Fabby. Dia mengatakan, jika keikutsertaan PLN dikurangi, kapasitas pembangkit yang akan terbangun dikhawatirkan menurun. Dia memperkirakan, hingga 2020 kapasitas yang terbangun tidak lebih dari 20.000 MW jika porsi PLN dikurangi.
”Selain tambahan 7.000 MW yang sudah on gong, estimasi saya maksimum 20.000 MW yang bisa terbangun dan terkoneksi pada 2020. Kalau PLN dikurangi, mungkin yang bisa tercapai malah kurang dari 20.000 MW,” tandasnya.
Nanang wijayanto/ant
(ftr)