OJK Andalkan Bank BUKU 3 dan 4
A
A
A
JAKARTA - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) optimistis pertumbuhan kredit perbankan masih mengandalkan dari bank BUKU 3 dan 4.
Bank segmen tersebut dinilai memiliki kemampuan penyaluran yang jauh signifikan dibandingkan dua BUKU di bawahnya. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan, kemampuan bank BUKU 3 dan 4 masih signifikan mendukung proyeksi pertumbuhan kredit bank di level 13-15% tahun ini.
Namun, pihaknya tetap mendorong bank BUKU 1 dan 2 untuk tetap mencatatkan pertumbuhan. ”Tumpuan penyaluran kredit secara nasional tentu akan diletakkan pada BUKU 3 dan 4 karena kemampuannya yang sangat besar. BUKU 1 dan 2 tidak terlalu besar dampaknya bagi industri. Namun tetap, kita sangat berharap BUKU 1 dan 2 bisa tumbuh dengan tinggi,” ujar Nelson di Jakarta kemarin.
Dari Statistik Perbankan Indonesia (SPI), secara total penyaluran kredit bank komersial per Mei 2015 mencapai Rp3.790 triliun atau tumbuh tipis 2,2% dibandingkan posisi akhir tahun lalu Rp3.706 triliun. Dari sisi nilai kredit, bank kelompok BUKU 4 (bermodal inti di atas Rp30 triliun) berkontribusi paling besar, yakni Rp1.577 triliun.
Diikuti oleh bank BUKU 3 (bermodal inti Rp5 triliun-di bawah Rp30 triliun) sebesar Rp1.427 triliun. Sedangkan BUKU 2 (bermodal inti Rp1 triliun-di bawah Rp5 triliun) menyalurkan kredit Rp520,05 triliun. Kelompok bank kecil BUKU 1 (modal inti kurang dari Rp1 triliun) menyalurkan kredit sebesar Rp116,72 triliun.
Namun, dari sisi pertumbuhan penyaluran kredit, bank BUKU 3 mencatatkan peningkatan signifikan yaitu 15,2% dari Rp1.238 triliun menjadi Rp1.427 triliun per Mei 2015. Sedangkan, bank BUKU 1 tercatat naik 5,1% menjadi sebesar Rp116,72 triliun. Bank BUKU 4 sendiri hanya tumbuh 1% dari Rp1.560 triliun menjadi Rp1.577 triliun.
Sementara, pertumbuhan kredit bank BUKU 2 malah negatif 19,7% dari Rp647,63 triliun menjadi hanya Rp520,05 triliun. Ekonom Senior United Overseas Bank (UOB) Group Ho Woei Chen mengatakan, pihaknya memprediksi ekonomi Indonesia masih akan mendapat beban. Dia telah merevisi proyeksi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tahun ini.
Pihaknya menurunkan proyeksi dua kuartal terakhir dari Rp13.500 dan Rp13.600 menjadi Rp13.900 dan Rp14.000 di akhir tahun. Hal ini didorong fluktuasi sampai dengan 12 Agustus 2015 lalu, nilai rupiah mencapai nilai tertinggi yakni Rp13.917 per dolar AS dan nilai terendah Rp13.685 per dolar AS. Angka ini merupakan level paling lemah sejak tahun 1998 silam. ”Kami masih melihat adanya tekanan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS karena risiko defisit neraca perdagangan, pelemahan harga komoditas, dan rencana kenaikan Fed fund rate yang belum terjadi,” ujar Chen dalam siaran pers kemarin.
Ekonom dari BNI Ryan Kiryanto menambahkan, pertumbuhan kredit nasional sangat terpengaruh perkembangan ekonomi nasional yang bergantung pada kinerja pemerintah. Serapan belanja pemerintah daerah juga akan signifikan dalam menggerakkan roda perekonomian nasional.
”Sekarang tinggal bagaimana pemerintah mengoptimalkan semua mesin pertumbuhannya. Mulai dari belanja negara digenjot secara agresif, investasi langsung (PMTB) juga ditingkatkan, konsumsi rumah tangga dipertahankan dengan cara menjaga daya belimasyarakat, danekspor produk manufaktur (nonekstraktif) didorong lebih tinggi seraya mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan penolong,” paparnya.
Hafid fuad
Bank segmen tersebut dinilai memiliki kemampuan penyaluran yang jauh signifikan dibandingkan dua BUKU di bawahnya. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK Nelson Tampubolon mengatakan, kemampuan bank BUKU 3 dan 4 masih signifikan mendukung proyeksi pertumbuhan kredit bank di level 13-15% tahun ini.
Namun, pihaknya tetap mendorong bank BUKU 1 dan 2 untuk tetap mencatatkan pertumbuhan. ”Tumpuan penyaluran kredit secara nasional tentu akan diletakkan pada BUKU 3 dan 4 karena kemampuannya yang sangat besar. BUKU 1 dan 2 tidak terlalu besar dampaknya bagi industri. Namun tetap, kita sangat berharap BUKU 1 dan 2 bisa tumbuh dengan tinggi,” ujar Nelson di Jakarta kemarin.
Dari Statistik Perbankan Indonesia (SPI), secara total penyaluran kredit bank komersial per Mei 2015 mencapai Rp3.790 triliun atau tumbuh tipis 2,2% dibandingkan posisi akhir tahun lalu Rp3.706 triliun. Dari sisi nilai kredit, bank kelompok BUKU 4 (bermodal inti di atas Rp30 triliun) berkontribusi paling besar, yakni Rp1.577 triliun.
Diikuti oleh bank BUKU 3 (bermodal inti Rp5 triliun-di bawah Rp30 triliun) sebesar Rp1.427 triliun. Sedangkan BUKU 2 (bermodal inti Rp1 triliun-di bawah Rp5 triliun) menyalurkan kredit Rp520,05 triliun. Kelompok bank kecil BUKU 1 (modal inti kurang dari Rp1 triliun) menyalurkan kredit sebesar Rp116,72 triliun.
Namun, dari sisi pertumbuhan penyaluran kredit, bank BUKU 3 mencatatkan peningkatan signifikan yaitu 15,2% dari Rp1.238 triliun menjadi Rp1.427 triliun per Mei 2015. Sedangkan, bank BUKU 1 tercatat naik 5,1% menjadi sebesar Rp116,72 triliun. Bank BUKU 4 sendiri hanya tumbuh 1% dari Rp1.560 triliun menjadi Rp1.577 triliun.
Sementara, pertumbuhan kredit bank BUKU 2 malah negatif 19,7% dari Rp647,63 triliun menjadi hanya Rp520,05 triliun. Ekonom Senior United Overseas Bank (UOB) Group Ho Woei Chen mengatakan, pihaknya memprediksi ekonomi Indonesia masih akan mendapat beban. Dia telah merevisi proyeksi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS tahun ini.
Pihaknya menurunkan proyeksi dua kuartal terakhir dari Rp13.500 dan Rp13.600 menjadi Rp13.900 dan Rp14.000 di akhir tahun. Hal ini didorong fluktuasi sampai dengan 12 Agustus 2015 lalu, nilai rupiah mencapai nilai tertinggi yakni Rp13.917 per dolar AS dan nilai terendah Rp13.685 per dolar AS. Angka ini merupakan level paling lemah sejak tahun 1998 silam. ”Kami masih melihat adanya tekanan pada nilai tukar rupiah terhadap dolar AS karena risiko defisit neraca perdagangan, pelemahan harga komoditas, dan rencana kenaikan Fed fund rate yang belum terjadi,” ujar Chen dalam siaran pers kemarin.
Ekonom dari BNI Ryan Kiryanto menambahkan, pertumbuhan kredit nasional sangat terpengaruh perkembangan ekonomi nasional yang bergantung pada kinerja pemerintah. Serapan belanja pemerintah daerah juga akan signifikan dalam menggerakkan roda perekonomian nasional.
”Sekarang tinggal bagaimana pemerintah mengoptimalkan semua mesin pertumbuhannya. Mulai dari belanja negara digenjot secara agresif, investasi langsung (PMTB) juga ditingkatkan, konsumsi rumah tangga dipertahankan dengan cara menjaga daya belimasyarakat, danekspor produk manufaktur (nonekstraktif) didorong lebih tinggi seraya mengurangi ketergantungan impor bahan baku dan penolong,” paparnya.
Hafid fuad
(ftr)