Izin Eksplorasi Freeport Dipertanyakan
A
A
A
JAKARTA - Pemerintah diminta meninjau ulang kegiatan tambang yang dilakukan oleh PT Freeport Indonesia (FPI) di Mimika, Papua. Sebab, sebagian kegiatan eksplorasi yang dilakukan perusahaan dinilai belum memiliki izin dari Kementerian Kehutanan.
Pengamat anggaran politik serta Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Kadhafi mengatakan, eksplorasi mineral yang dilakukan oleh PT FPI yang mengacu pada Surat Menhut 399/Menhut- VII/2013 yang diterbitkan 9 Juli 2013 telah berakhir.
Terkait dengan itu, sejatinya izin prinsip tersebut tidak boleh menjadi acuan legalitas dalam kegiatan eksplorasi mineral. ”Karena itu, pemerintah harus bersikap tegas. Hentikan dulu kegiatan penambangan sebelum izinnya dipenuhi,” ungkap Uchok dalam keterangan tertulisnya kemarin.
Sesuai UU No 41/1999 tentang kehutanan, kegiatan penambangan bisa dilakukan apabila perusahaan sudah mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), bukan izin prinsip. Sesuai izin prinsip yang tertera dalam Surat Menhut 399/menhut-VII/2013 untuk lahan seluas 2.738,8 hektare (ha) sudah berakhir pada Juli 2015. Dengan begitu, kegiatan operasional penambangan FPI tidak didukung dengan izin prinsip apalagi IPPKH.
Secara terperinci, dalam data izin prinsip dari menteri kehutanan tersebut, yang didapat FPI adalah areal penambangan seluas 507,2 ha, sarana dan prasarana seluas 1.328,52 ha, jalan seluas164,48ha, sertayangsecara legal memiliki IPPKH tahun 1998 yakni kawasan hutan untuk jalan dan transmisi dengan luas hanya 738,6 ha.
Dari data itu, Uchok menegaskan, yang benar-benar mendapatkan IPPKH hanya 738,6 ha, selebihnya hanya diberi izin prinsip. Itu pun izin prinsip yang diterbitkan sudah habis masanya, sehingga sekarang kegiatan Freeport benar-benar di luar IPPKH .
Pengamat pertambangan Marwan Batubara menambahkan, masih banyak persoalan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang harus segera diselesaikan. Tidak hanya masalah izin penggunaan kawasan hutan, namun yang terpenting menurutnya adalah bagi hasil, royalti, dan manfaat untuk negara.
”Ya izin prinsip itu sebenarnya harus segera diselesaikan oleh Freeport Indonesia, karena ini masalah koordinasi pemerintah,” katanya. Menurut dia, masalah ini memang mengganggu, tapi bisa diselesaikan oleh internal pemerintah.
M faizal
Pengamat anggaran politik serta Direktur Center for Budget Analysis (CBA) Uchok Sky Kadhafi mengatakan, eksplorasi mineral yang dilakukan oleh PT FPI yang mengacu pada Surat Menhut 399/Menhut- VII/2013 yang diterbitkan 9 Juli 2013 telah berakhir.
Terkait dengan itu, sejatinya izin prinsip tersebut tidak boleh menjadi acuan legalitas dalam kegiatan eksplorasi mineral. ”Karena itu, pemerintah harus bersikap tegas. Hentikan dulu kegiatan penambangan sebelum izinnya dipenuhi,” ungkap Uchok dalam keterangan tertulisnya kemarin.
Sesuai UU No 41/1999 tentang kehutanan, kegiatan penambangan bisa dilakukan apabila perusahaan sudah mengantongi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH), bukan izin prinsip. Sesuai izin prinsip yang tertera dalam Surat Menhut 399/menhut-VII/2013 untuk lahan seluas 2.738,8 hektare (ha) sudah berakhir pada Juli 2015. Dengan begitu, kegiatan operasional penambangan FPI tidak didukung dengan izin prinsip apalagi IPPKH.
Secara terperinci, dalam data izin prinsip dari menteri kehutanan tersebut, yang didapat FPI adalah areal penambangan seluas 507,2 ha, sarana dan prasarana seluas 1.328,52 ha, jalan seluas164,48ha, sertayangsecara legal memiliki IPPKH tahun 1998 yakni kawasan hutan untuk jalan dan transmisi dengan luas hanya 738,6 ha.
Dari data itu, Uchok menegaskan, yang benar-benar mendapatkan IPPKH hanya 738,6 ha, selebihnya hanya diberi izin prinsip. Itu pun izin prinsip yang diterbitkan sudah habis masanya, sehingga sekarang kegiatan Freeport benar-benar di luar IPPKH .
Pengamat pertambangan Marwan Batubara menambahkan, masih banyak persoalan kontrak karya PT Freeport Indonesia yang harus segera diselesaikan. Tidak hanya masalah izin penggunaan kawasan hutan, namun yang terpenting menurutnya adalah bagi hasil, royalti, dan manfaat untuk negara.
”Ya izin prinsip itu sebenarnya harus segera diselesaikan oleh Freeport Indonesia, karena ini masalah koordinasi pemerintah,” katanya. Menurut dia, masalah ini memang mengganggu, tapi bisa diselesaikan oleh internal pemerintah.
M faizal
(ftr)