Pertamina Terbebani Koreksi Rupiah
A
A
A
SURABAYA - PT Pertamina (persero) terbebani dengan terkoreksinya rupiah lantaran selama ini pembelian minyak menggunakan dolar Amerika Serikat (USD). Selain itu, turunnya harga minyak dunia juga menambah beban perusahaan.
"Kondisi tersebut menjadi beban perusahaan karena dari sisi pendapatan atas penjualan minyak diperoleh dengan rupiah, sedangkan pembelian minyak mentah/crude menggunakan USD," kata Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto di Surabaya, Rabu (26/8/2015).
Oleh karena itu, dia menjelaskan bahwa perseroan akan melakukan evaluasi terhadap harga jual minyak untuk mengurangi beban yang ditanggung BUMN migas tersebut.
"Kita tidak bisa melihat bahwa di saat harga minyak turun kemudian harga minyak bisa kita turunkan karena kita harus kalkulasi,” ungkap dia.
Dihubungi terpisah Wakil Direktur Refominers Institute Komaidi Notonegoro menilai, turunnya harga minyak dunia dan melemahnya rupiah terhadap USD menjadi terpaan besar bagi industri migas nasional.
Di satu sisi, KKKS tidak bergairah untuk berproduksi karena harga minyak tidak laik untuk dijual. Di sisi lain, belanja sejumlah peralatan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi harganya melonjak tajam lantaran masih diimpor dari luar negeri.
Tidak hanya itu, dia menambahkan, sejumlah tenaga ahli professional dari luar negeri juga menjadi beban perusahaan karena jasanya dihargai dengan menggunakan USD.
Karena itu, pemerintah diminta memberikan stimulus-stimulus dan kemudahan lainnya yang dibutuhkan kontraktor migas agar tetap bertahan berinvestasi di Indonesia, kendati ruang fiskal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 kecil kemungkinan untuk memberikan insentif.
“Memberikan insentif akan relatif bisa dilakukan untuk membuat bertahan walaupun kondisinya bagi semuanya. Pemerintah sulit membuka ruang fiskal di sektor hulu karena justru akan menambah lebih berat lagi,” jelas Komaidi.
(Baca: Rupiah Melemah, Industri Migas dalam Kondisi Sulit)
"Kondisi tersebut menjadi beban perusahaan karena dari sisi pendapatan atas penjualan minyak diperoleh dengan rupiah, sedangkan pembelian minyak mentah/crude menggunakan USD," kata Direktur Utama PT Pertamina Dwi Soetjipto di Surabaya, Rabu (26/8/2015).
Oleh karena itu, dia menjelaskan bahwa perseroan akan melakukan evaluasi terhadap harga jual minyak untuk mengurangi beban yang ditanggung BUMN migas tersebut.
"Kita tidak bisa melihat bahwa di saat harga minyak turun kemudian harga minyak bisa kita turunkan karena kita harus kalkulasi,” ungkap dia.
Dihubungi terpisah Wakil Direktur Refominers Institute Komaidi Notonegoro menilai, turunnya harga minyak dunia dan melemahnya rupiah terhadap USD menjadi terpaan besar bagi industri migas nasional.
Di satu sisi, KKKS tidak bergairah untuk berproduksi karena harga minyak tidak laik untuk dijual. Di sisi lain, belanja sejumlah peralatan untuk kegiatan eksplorasi dan eksploitasi harganya melonjak tajam lantaran masih diimpor dari luar negeri.
Tidak hanya itu, dia menambahkan, sejumlah tenaga ahli professional dari luar negeri juga menjadi beban perusahaan karena jasanya dihargai dengan menggunakan USD.
Karena itu, pemerintah diminta memberikan stimulus-stimulus dan kemudahan lainnya yang dibutuhkan kontraktor migas agar tetap bertahan berinvestasi di Indonesia, kendati ruang fiskal dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2015 kecil kemungkinan untuk memberikan insentif.
“Memberikan insentif akan relatif bisa dilakukan untuk membuat bertahan walaupun kondisinya bagi semuanya. Pemerintah sulit membuka ruang fiskal di sektor hulu karena justru akan menambah lebih berat lagi,” jelas Komaidi.
(Baca: Rupiah Melemah, Industri Migas dalam Kondisi Sulit)
(rna)