6 Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi Sebelumnya Belum Efektif
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengemukakan, enam paket kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya untuk meredam gejolak nilai tukar rupiah dan pelemahan ekonomi belum berjalan efektif.
Namun, pemerintah kembali mengeluarkan paket kebijakan ekonomi besar-besaran yang dimaksudkan untuk meredam gejolak ekonomi dan rupiah.
"Kalau yang itu (enam paket kebijakan ekonomi), ada beberapa yang enggak efektif," ujar Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani kepada Sindonews di Jakarta.
Menurutnya, dampak yang dirasakan pelaku usaha dari enam paket kebijakan tersebut sulit diukur. Sebut saja, kewajiban penggunaan rupiah dalam transaksi di dalam negeri.
Kebijakan tersebut diterapkan di Tanah Air, namun kenyataannya hal tersebut tidak mampu meredam gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Nilai tukar mata uang berlambang Garuda justru tersungkur hingga melewati level Rp14.000 per USD.
"Yang jelas sih dari kebijakan yang lalu, dampaknya susah diukur. Kayak penggunaan rupiah jalan, tapi harusnya dampaknya kan rupiah jadi terkendali ya. Ternyata kan enggak. Rupiah tetap liar," bebernya.
Selain itu, kebijakan pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) atau tax allowance bagi perusahaan yang menahan dividennya di dalam negeri dan melakukan reinvestasi, dinilai tidak masuk akal dan tidak bisa dijalankan.
"Yang enggak masuk akal itu kalau perusahaan untung, kalau investor uangnya enggak dibalikin ke negaranya akan dapat tax allowance. Itu enggak mungkin dijalankan. Orang mau bagi dividen ya terserah mereka kan," tandas Hariyadi.
Sekadar mengingatkan, pemerintah pada Maret 2015 lalu merilis enam paket kebijakan yang dikeluarkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional. Adapun kebijakan tersebut, antara lain:
1. Pengurangan PPh atau tax allowance bagi perusahaan yang menahan dividennya dan melakukan reinvestasi.
2. Bea masuk anti-dumping untuk impor
3. Pembebasan visa bagi wisatawan asing
4. Kewajiban pencampuran bahan bakar nabati (BBN) sebanyak 15% untuk solar
5. Kewajiban menggunakan letter of credit (L/C) untuk produk sumber daya alam (SDA).
6. Pembentukan perusahaan reasuransi domestik.
Baca juga:
Redam Rupiah, Jokowi Siap Keluarkan Paket Kebijakan Besar
Menunggu Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi
Indef: Tidak Ada Dewa Penyelamat seperti Krisis 1998
Bos IMF Tidak Bisa Intervensi Indonesia
Namun, pemerintah kembali mengeluarkan paket kebijakan ekonomi besar-besaran yang dimaksudkan untuk meredam gejolak ekonomi dan rupiah.
"Kalau yang itu (enam paket kebijakan ekonomi), ada beberapa yang enggak efektif," ujar Ketua Umum Apindo Hariyadi Sukamdani kepada Sindonews di Jakarta.
Menurutnya, dampak yang dirasakan pelaku usaha dari enam paket kebijakan tersebut sulit diukur. Sebut saja, kewajiban penggunaan rupiah dalam transaksi di dalam negeri.
Kebijakan tersebut diterapkan di Tanah Air, namun kenyataannya hal tersebut tidak mampu meredam gejolak nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD). Nilai tukar mata uang berlambang Garuda justru tersungkur hingga melewati level Rp14.000 per USD.
"Yang jelas sih dari kebijakan yang lalu, dampaknya susah diukur. Kayak penggunaan rupiah jalan, tapi harusnya dampaknya kan rupiah jadi terkendali ya. Ternyata kan enggak. Rupiah tetap liar," bebernya.
Selain itu, kebijakan pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) atau tax allowance bagi perusahaan yang menahan dividennya di dalam negeri dan melakukan reinvestasi, dinilai tidak masuk akal dan tidak bisa dijalankan.
"Yang enggak masuk akal itu kalau perusahaan untung, kalau investor uangnya enggak dibalikin ke negaranya akan dapat tax allowance. Itu enggak mungkin dijalankan. Orang mau bagi dividen ya terserah mereka kan," tandas Hariyadi.
Sekadar mengingatkan, pemerintah pada Maret 2015 lalu merilis enam paket kebijakan yang dikeluarkan untuk memperbaiki kondisi ekonomi nasional. Adapun kebijakan tersebut, antara lain:
1. Pengurangan PPh atau tax allowance bagi perusahaan yang menahan dividennya dan melakukan reinvestasi.
2. Bea masuk anti-dumping untuk impor
3. Pembebasan visa bagi wisatawan asing
4. Kewajiban pencampuran bahan bakar nabati (BBN) sebanyak 15% untuk solar
5. Kewajiban menggunakan letter of credit (L/C) untuk produk sumber daya alam (SDA).
6. Pembentukan perusahaan reasuransi domestik.
Baca juga:
Redam Rupiah, Jokowi Siap Keluarkan Paket Kebijakan Besar
Menunggu Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi
Indef: Tidak Ada Dewa Penyelamat seperti Krisis 1998
Bos IMF Tidak Bisa Intervensi Indonesia
(dmd)