Paket Kebijakan Ekonomi Harus Realistis

Minggu, 30 Agustus 2015 - 11:26 WIB
Paket Kebijakan Ekonomi Harus Realistis
Paket Kebijakan Ekonomi Harus Realistis
A A A
JAKARTA - Paket kebijakan ekonomi yang akan dikeluarkan pemerintah harus realistis dan implementatif. Hal ini agar ketika diterbitkan paket tersebut bisa menggerakkan bisnis, menjaga dan memulihkan daya beli masyarakat.

”Jika pemerintah sudah tahu pada 2015 dan 2016 terjadi perlambatan ekonomi dunia, mengapa paket kebijakan masih kontraproduktif? Kenapa kebijakan yang dilakukan menghabiskan daya beli masyarakat seperti menaikkan harga tarif dasar listrik, menaikkan BBM, dan tarif tol?” ujar Direktur Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati saat Talkshow Polemik SindoTrijaya Network dengan topik ”Paket Mujarab Anti Lesu” di Jakarta kemarin.

Enny mengatakan, pembenahan birokrasi menjadi acuan bagi dunia usaha untuk melihat keseriusan pemerintah memperbaiki kondisi perekonomian. Selain itu, pemerintah juga harus bisa menenangkan kondisi masyarakat dan harus menumbuhkan pelaku usaha. ”Makanya diharapkan paket kebijakan ini tidak boleh akan, akan, dan akan terus. Tapi, harus segera dilakukan,” tegasnya.

Menurut Enny, pemerintah harus waspada terhadap kondisi ekonomi Indonesia yang dinilai sedang mengalami fase kritis. Hal ini terlihat dari beberapa indikator yang menunjukkan ada penurunan aktivitas ekonomi selama dua tahun berturut- turut. Sejak 2013, Indonesia mengalami penurunan kinerja ekonomi dilihat dari pertumbuhan ekonomi. Pada 2014 pertumbuhan ekonomi hanya sekitar 5,1%, sedangkan 2015 mengalami penurunan menjadi 4,7%.

”Kritis itu ibarat kalau kita sakit, jika sudah kritis, memerlukan penanganan yang intensif dan konkret. Kalau kritis dibiarkan, bisa krisis. Ini harus jadi peringatan bagi kita semua,” kata Enny. Dia menjelaskan, kondisi perekonomian Indonesia pada 1998 dan tahun ini sangat jauh berbeda.

Pada 1998 Indonesia masih bisa bertahan lantaran mempunyai dua dewa penyelamat yang bisa menahan kondisi ekonomi saat itu yakni harga komoditas yang masih tinggi dan usaha mikro kecil dan menengah (UMKM). Pada 1998 harga komoditas masih tinggi sehingga ketika rupiah terdepresiasi sampai Rp17.000, Indonesia masih bisa bertahan.

”UMKM kita pada 1998 tidak banyak yang dapat akses bank, daya beli masyarakat juga masih banyak, sehingga itu penyelamat. Tapi, kalau sekarang ini kan UMKM kita sudah terkapar duluan, bahkan hampir semua UMKM terpuruk,” kata dia. Dalam kesempatan sama, Staf Khusus Menteri Keuangan Arif Budimanta mengungkapkan, yang dibutuhkan untuk memperkuat fondasi ekonomi Indonesia adalah kerja sama pemerintah dan dunia usaha, baik itudipusatmaupundaerah.

Saat ini pemerintah dan lembaga terkait sedang berusaha mengharmonisasikan seluruh kebijakan fiskal dan moneter untuk menggerakkan sektor riil. Menurut dia, sektor riil menjadi penting lantaran sebagai pelopor penggerak utama ekonomi. ”Penyangga utama dalam memperkuat ekonomi kita di sektor riil dan UMKM.

Dari situ dihitung ada dana yang bergulir untuk dikucurkan pada UMKM kepada bank. Ini semua dalam rangka untuk menjaga daya beli masyarakat,” ungkapnya. Direktur Sustainable Development Indonesia Drajad Wibowo menambahkan, Indonesia seharusnya jangan malu untuk belajar dari India.

Keberhasilan India memperkecil efek negatif perlambatan ekonomi dengan mengeluarkan kebijakan yang propenanaman modal atau kebijakan probisnis. ”Jadi paket itu nanti harus probisnis. Maksudnya adalah semua ihwal yang menghambat orang untuk menaruh uang di Indonesia tolong dibabat sebanyak mungkin. Itu yang dilakukan dengan India,” terangnya.

Selain itu, lanjut dia, harus ada langkah-langkah yang bisa membawa rupiah kembali stabil salah satunya dengan initial public offering (IPO) atau penawaran umum perdana. Dari sisi dana, menurut Drajad, memang IPO tidak signifikan, namun dari sisi kepercayaan pasar itu sangat besar.

Kunthi fahmar sand
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.4318 seconds (0.1#10.140)