Ini Tanggapan MTI terhadap Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung

Jum'at, 04 September 2015 - 06:01 WIB
Ini Tanggapan MTI terhadap Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
Ini Tanggapan MTI terhadap Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung
A A A
JAKARTA - Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) memaparkan tanggapannya terhadap pembangunan mega proyek kereta cepat (high speed train) Jakarta-Bandung yang diusung Presiden Jokowi Widodo (Jokowi).

Dalam keterangan tertulisnya kepada Sindonews, Kamis (3/9/2015), pengamat transportasi MTI, Darmanigtyas menyampaikan delapan poin penting yang harus diperhatikan pemerintah dalam pembangunan proyek tersebut.

Pertama, pemerintah harus membuat pernyataan kebijakan yang jelas apakah investasi kereta cepat ini diperlukan. Apakah berbasis visi presiden (vision-led) atau berlandaskan analisis makro ekonomi jangka panjang atau berdasarkan ketersediaan fiskal pemerintah, proyek ini adalah milik pemerintah. Bukan BUMN apalagi milik negara-negara donor yang akan membiayai proyek ini.

Keputusan investasi (investment decision) harus menjadi pertimbangan utama, baru keputusan pembiayaan (financing decision) dan selanjutnya keputusan pengadaan (procurement decision). Saat ini yang kita pertarungkan adalah procurement decision dan financing decision. Sementara investment decision tampak masih belum ada kepastian dan berada dalam situasi yang gamang.

"Untuk dicatat, hampir semua negara membuat keputusan pembangunan kereta cepat terutama di Asia Timur (Jepang, China, Korea Selatan, dan Taiwan), serta yang dalam persiapan adalah Thailand, Malaysia-Singapura) sebagai instrumen transformasi ekonomi nasional, bukan semata-mata mengangkut penumpang dari satu tempat ke tempat yang lain," ujar Darmanigtyas.

"Kalau fokusnya adalah untuk mengangkut penumpang dalam jumlah massal dan biaya lebih murah, pemerintah bisa menggunakan sistem lain yang lebih tepat," lanjutnya.

Kedua, kata Darmanigtyas, dalam kondisi krisis ekonomi dan finansial global saat ini, disadari bahwa belanja infrastruktur dan big push project akan membantu pemerintah mengelola pembangunan dan menjaga pertumbuhan dan pemerataan terjaga. Namun demikian, membangun infrastruktur merupakan investasi jangka panjang yang memiliki implikasi finansial bagi masyarakat dalam waktu yang lama dan dampak kewajiban fiskal bagi pemerintah lebih panjang dari masa jabatan presiden.

"Karena itu pertimbangan seksama dan dukungan seluruh pemangku kepentingan harus menjadi dasar pembuatan keputusan dan Komitmen jangka panjang nasional," jelasnya.

Ketiga, setiap penambahan pasokan angkutan umum baik yang untuk kebutuhan masal berbiaya murah, maupun yang sifatnya premium dan berorientasi bisnis, akan selalu lebih diutamakan dibandingkan dengan memfasilitasi kendaraan pribadi melalui jalan raya/tol. Perlu diingat bahwa setiap penggunaan kendaraan pribadi akan memiliki implikasi subsidi dan biaya publik berupa anggaran pembangunan dan pemeliharaan jalan.

Keempat. setiap proyek infrastruktur harus merupakan proyek pemerintah. Swasta dan Negara donor bertugas membantu pemerintah. Dengan demikian tidak akan ada proyek tanpa dukungan APBN, dibayar saat ini sebagai belanja langsung atau di masa mendatang dalam bentuk angsuran pinjaman, dalam bentuk penyertaan dana pemerintah melalui K/L, BUMN maupun dalam bentuk penjaminan.

"Apabila proyek mengalami default maka last resort-nya pun adalah pemerintah. Oleh karena itu kepemilikan dan kepemimpinan pemerintah sangatlah dibutuhkan," imbuhnya.

Kelima, keputusan pemerintah mengundang konsultan asing dengan tanpa melibatkan konsultan dalam negeri, pihak perguruan tinggi Indonesia sangatlah disayangkan. Keputusan ini menunjukkan bahwa pemerintah tidak mempercayai ahli-ahli Indonesia, serta tidak memiliki kepercayaan diri terhadap kemampuan dalam negeri. Apalagi kita belum pernah mengetahui reputasi konsultan yang dimaskud dalam melakukan evaluasi investasi kereta api cepat.

"Padahal, proses seleksi proyek yang bernilai Rp60-80 triliun ini terlalu berharga untuk dilewatkan sebagai bagian dari proses transfer teknologi yang kita butuhkan," jelasnya.

Keenam, membandingkan proposal Jepang dan Cina tidaklah relevan, selain mereka memiliki parameter perencanaan (planning parameter) yang berbeda-beda, kedalaman analisis yang disampaikan juga tidak setara. Akibat dari parameter perencanaan yang berbeda-beda ini seolah-olah kita membandingkan “sushi” dengan “dimsum” yang sangat tergantung pada selera sesaat dari pengambil kebijakan.

"Masa depan bangsa ini sedang dipertaruhkan untuk 50-100 tahun ke depan, dan rasanya tidak pantas pimpinan negara dan pemerintahan mengambil kebijakan untuk anak cucu kita dengan pertimbangan yang tidak matang," terangnya.

Ketujuh, lanjut Darmanigtyas, seharusnya pemerintah Indonesia membuat kriteria perencanaan yang selanjutnya dijawab oleh pemerintah Jepang, Cina atau Negara lainnya yang tertarik membantu Indonesia mewujudkan rencana nasional tersebut.

Kriteria perencanaan sekurang-kurangnya harus memuat:
(a) Prakiraan jumlah permintaan dan tingkat pelayanan yang diinginkan pemerintah
(b) Lokasi stasiun akhir
(c) Jumlah stasiun dan pengembangan kawasan yang diinginkan
(d) Mitigasi bencana, khususnya gempa bumi dan tanah longsor
(e) Tingkat kesulitan dalam pengadaan tanah
(f) Terms and conditions pinjaman yang diinginkan
(g) Besar dan bentuk dukungan pemerintah yang disediakan
(h) Tingkat tarif yang diharapkan sehingga penawar bisa membuat inovasi sumber pembiayaan
(i) Dampak ekonomi wilayah yang lebih luas dan transformasi ekonomi regional;
(j) Penyerapan tenaga kerja, dan jumlah tenaga kerja Indonesia yang dilatih di Negara donor
(k) Muatan lokal minimum yang dipersyaratkan dan perjanjian transfer teknologi,
(l) Komitmen untuk penyediaan dan pembiayaan industri pendukung di Indonesia, sekurangnya selama 30 tahun ke depan sehingga pada akhir tahun ke-20 Indonesia bisa memasarkan KA nasional ke luar negeri.

"Masing-masing kriteria dapat memiliki bobot pertimbangan yang sesuai. Secara teknis model AHP atau Analytical Hierarchical Process bisa dimanfaatkan untuk membantu proses evaluasi," beber Darmanigtyas

Kedelapan, dengan pertimbangan tersebut, MTI meminta agar:

a. Pemerintah, khususnya Presiden harus membuat pernyataan yang tegas mengenai kebutuhan investasi kereta cepat di Jawa, untuk
menghindarkan debat yang tidak produktif dari para menteri dan pembantu Presiden lainnya;
b. Keputusan Presiden dan pemerintah harus dinyatakan dalam bentuk peraturan perundang-udangan yang kokoh dan tidak mudah diubah oleh siapapun yang memerintah ke depan. Perpres untuk mengawali mulainya investasi dapat dilakukan, tetapi harus segera diperkuat dengan membuat UU penyelenggaraan kereta api cepat nasional;
c. Presiden harus memperkuat kapasitas kelembagaan dan personil Kementerian Perhubungan, khususnya Ditjen Perkeretaapian untuk
mengelola tantangan dan dinamika pembangunan perkeretaapian Indonesia di masa depan;
d. Proyek kereta cepat harus merupakan bagian dari kebijakan transformasi ekonomi wilayah. Segmen Jakarta-Bandung harus dilihat sebagai bagian dari jaringan KA Cepat Jawa. Selanjutnya pemerintah dapat menyusun cetak biru dan “roadmap” KA Cepat Sumatera, Sulawesi, Kalimantan dan Papua. Proyek ini harus merupakan komplemen terhadap pembiayaan APBN melalui K/L dan BUMN untuk KA regional di pulau-pulau besar lain di Indonesia;
e. Pemerintah untuk tidak terlalu terburu-buru dalam membuat keputusan untuk menetapkan pemenang proses “beauty contest” Jepang dan Cina. Pemerintah harus menyusun kriteria perencanaan yang tepat untuk membuat pembandingan antar pihak yang ingin berpartisipasi;
f. Pemilihan konsultan asing untuk proses penetapan pemenang harus harus ditolak apabila tidak melibatkan konsultan dan tenaga ahli
Indonesia, sebagai bentuk penghargaan yang dimiliki tenaga ahli nasional, serta bagi proses pembelajaran bagi pembangunan
perkeretaapian di masa depan;
g. Hasil kerja konsultan asing yang menjadi pendukung tim yang ditetapkan pemerintah harus dipublikasikan secara luas ke masyarakat sehingga penilaian obyektif bisa diberikan untuk menilai kompetensi tim konsultan asing, serta menilai kredibiltas laporan hasil evaluasi. Legitimasi keputusan Presiden sangat tergantung pada kemauan pemerintah untuk mengikutsertakan partisipasi masyarakat.

Baca juga:

Lirik China, Jokowi Beralasan Kereta Cepat Murni Bisnis

Darmin: China dan Jepang Punya Keunggulan Berbeda

ADB Tak Tertarik Biayai Kereta Cepat Jokowi

Jonan Soroti Aspek Keamanan Kereta Cepat
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5751 seconds (0.1#10.140)