Consumers in Crisis

Minggu, 06 September 2015 - 09:34 WIB
Consumers in Crisis
Consumers in Crisis
A A A
Rupiah dibantai habis oleh dolar dan yuan. Ekonomi melambat. PHK menghantui buruh dan pekerja. Cabe mahal. Daya beli terpangkas. Dan yang tak kalah meresahkan, obrolan di WhatsApp ramai berisi isu simpang siur mengenai bakal ambruknya perekonomian Indonesia.

Hopeless dan pesimisme ini menjalar bak virus menghasilkan self-fulfiling prophecy yang kian menciutkan nyali kita menghadapi krisis. Ini ujungujungnya akan membentuk vicious cycle yang kian mengempaskan ekonomi kita ke titik nadir.

Vicious Cycle

Ya, begitulah perekonomian. Maju-mundurnya ditentukan oleh optimistis atau hopeless -nya konsumen dan pelaku ekonomi. Ketika semua orang optimistis, mereka akan membelanjakan uangnya atau menginvestasikan duitnya. Investasi dan konsumsi yang besar akan mendorong perusahaan tumbuh dan karyawannya sejahtera.

Karyawan yang sejahtera dan optimistis akan kian membelanjakan duitnya sehingga konsumsi akan terdongkrak lebih lanjut. Konsumsi yang menggeliat kembali akan menggeliatkan perusahaan dan perekonomian secara keseluruhan. Demikian proses ini berulang seperti gulungan bola salju (snowball), membentuk apa yang disebut virtuous cycle atau ”lingkaran malaikat” yang berdampak positif bagi perekonomian.

Namun, peristiwa sebaliknya akan terjadi jika para pelaku pesimistis. Ketika kita semua pesimistis dan waswas karena merasa masa depan tak menentu, kita akan mengerem konsumsi dan pengusaha menunda investasi. Jika itu terjadi maka perusahaan stagnan karena minim pembeli. Ketika perusahaan terkapar maka gaji tak naik bahkan pabrik merumahkan karyawannya.

Dengan begitu, konsumsi dan investasi kian tertekan. Kalau ini yang terjadi maka siklus sebaliknya yaitu vicious cycle atau lingkaran setan akan terjadi. Gulungan bola salju terjadi bukan pada arah pembaikan, tapi pemburukan ekonomi. Nah , celaknya hal yang terakhir inilah yang beberapa bulan ini terjadi di Tanah Air. Vicious cycle perekonomian tersebut mengubah kondisi psikologis konsumen.

Untuk memotret perubahan kondisi psikologi konsumen di masa krisis, saya menggunakan dua dimensi psikologi konsumen. Pertama dimensi psikografis, yaitu persepsi mereka terhadap keamanan hidup (life security) di tengah kondisi krisis, terutama terkait kemampuan ekonomi.

Seorang merasa tidak aman (feel not secure) berarti mereka merasa tidak yakin apakah besok, sebulan lagi, atau tahun depan masih bisa makan, membayar cicilan rumah, atau menyekolahkan anak. Begitu pula sebaliknya orang yang merasa hidupnya aman (feel secure ) di masa krisis.

Sementara yang kedua adalah dimensi perilaku (behavior), yang mengindikasikan bagaimana si konsumen merespons krisis. Apakah mereka bijak atau ceroboh. Apakah mereka reaktif atau adaptif. Apakah mereka panik atau menghadapinya dengan tenang.

Empat Jenis Konsumen

Dengan menggunakan dua dimensi tersebut untuk memetakan konsumen di masa krisis kali ini, saya menemukan empat jenis konsumen sebagai berikut. Panickers adalah konsumen yang secara ekonomi merasa tidak aman di masa krisis dan menyikapi bencana krisis dengan reaktif, panik (saking bingungnya), dan tidak rasional. Kebanyakan konsumen jenis ini adalah kelompok strata ekonomi terbawah.

Mereka merasa hopeless mengenai masa depan hidupnya. Barangkali sudah tak punya pekerjaan karena terkena PHK dan masih tak tahu mau kerja apa. Dan kelompok inilah yang paling rawan menempuh jalan pintas mencopet atau merampok. Di tengah keterhimpitan ekonomi dan kebingungan yang luar biasa, tak heran jika mereka over-reaktif dan gegabah dalam menghadapi krisis.

Dari sisi perilaku belanja, keputusan pembelian konsumen jenis ini spontan: ketatkan ikat pinggang, mengurangi level konsumsi, secara drastis memangkas pengeluaran, melakukan brand switching dengan memilih barang-barang murahan (price seeker). Floaters adalah konsumen yang secara ekonomi merasa cukup aman di masa krisis, namun dalam menyikapi krisis sangat reaktif, cemas, dan tak rasional.

Konsumen jenis ini sangat reaktif begitu mendengar beritaberita atau omongan-omongan orang mengenai kian tak menentunya ekonomi. Tindakan-tindakannya dalam merespons krisis sering kali emosional dan tidak rasional, mereka cenderung latah mengikuti apa yang dilakukan banyak orang lain.

Begitu merasa bahwa harga akan melambung maka buruburu mereka berlebihan membeli dan menimbun barang-barang kebutuhan sehari-hari. Begitu mendengar rupiah bakal terjun bebas, serta-merta mereka memborong dolar. Itu sebabnya mereka saya namakan Floater yang terombang-ambing oleh pengaruh tetangga atau teman di lingkungannya.

Walaupun reaktif dalam melakukan pembelian, secara umum mereka cenderung menunda pengeluaran. Bargainers adalah konsumen yang secara ekonomi merasa tidak aman di masa krisis namun mereka menyikapinya dengan sangat rasional dan dengan perencanaan yang baik.

Bargainers termasuk tipe konsumen yang adaptif, artinya cakap melakukan penyesuaian-penyesuaian ketika kemampuan daya belinya terpangkas. Mereka tahu persis bahwa daya beli yang menurun harus diikuti dengan pengurangan konsumsi, pengurangan pengeluaran, seleksi produk secara lebih cermat, atau bahkan brand switching kalau diperlukan.

Karena itu, saya menyebut konsumen ini: smart consumers. Mereka adalah value seeker yang berupaya keras mendapatkan value tertinggi dari setiap produk yang dibeli. Di tengah krisis, mereka akan memilih produk berkualitas sama atau bahkan lebih baik, tapi dengan harga yang miring.

Mereka juga getol mencari program sales promotion yang ditawarkan produk mulai dari diskon, beli dua dapat tiga, refund, atau bonus. Di tengah krisis yang tak menentu, konsumen ini merencanakan dengan cermat pengeluaran tiap bulannya. Wisersadalah konsumen yang secara ekonomi merasa aman dan menyikapi krisis dengan tenang dan bijak.

Hal ini disebabkan umumnya konsumen jenis ini lebih knowledgeable dan memiliki wawasan yang luas karena akses informasi yang terbuka lebar. Dengan kemampuan ini, mereka cakap mencari solusi dari setiap hempasan krisis yang menerpanya.

Walaupun merasa cukup aman, Wisers tetap melakukan penyesuaian-penyesuaian secara pruden di masa krisis seperti mengurangi konsumsi, atau memilih kemasan yang lebih kecil, membeli dalam jumlah banyak (bulk) sehingga jatuhnya lebih murah. Namun umumnya, mereka tak sampai melakukan brand switching. Dari awal mereka adalah brand-minded, karena itu saat krisis pun mereka cenderung tetap loyal pada brand-brand yang menjadi dambaannya.

Sebagai marketer, Anda tak boleh panik merespons krisis. Krisis tak harus disikapi dengan pemotongan harga atau diskon besar-besaran. Semua tergantung jenis konsumen yang sedang Anda hadapi. Karena itu, di masa krisis sekarang ini hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mengenali kembali secara lebih dalam setiap konsumen Anda.

Setelah itu, baru Anda melakukan action yang tepat. Saya sering menganalogikan kondisi perekonomian dengan lintasan balap mobil. Kondisi di tikungan identik dengan kondisi krisis, sementara lintasan lurus adalah kondisi normal. Nah, ketika krisis mendera, kinilah saat yang tepat bagi Anda untuk mengungguli pesaing.

Kenapa? Karena seperti halnya balap MotoGP, Valentino Rossi lebih mudah menyalip di tikungan ketimbang di lintasan lurus. Anda justru lebih gampang mengungguli pesaing saat terjadi krisis. So, ayo menyalip di tikungan.

YUSWOHADY
Managing Partner,
Inventure
www.yuswohady.com
@yuswohady
(bbg)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6107 seconds (0.1#10.140)