Harga Gas Tinggi Hambat Daya Saing Industri
A
A
A
JAKARTA - Tingginya harga gas dinilai menjadi hambatan bagi industri untuk meningkatkan daya saing. Ketersediaan gas yang murah penting bagi industri untuk menekan biaya produksi, khususnya di tengah perekonomian yang sedang melambat.
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengatakan, pihaknya tengah mengkaji lebih dalam mengenai dampak dan mekanisme yang memungkinkan tersedianya harga gas yang lebih murah bagi industri. BKPM pun akan berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian untuk merealisasikan hal tersebut. ”Harga gas berkontribusi cukup besar dalam komponen biaya produksi,” tegas Franky melalui keterangan pers akhir pekan lalu.
Franky mengidentifikasi besaran porsi komponen harga gas dalam biaya produksi rata-rata mencapai 10-80%. Beberapa di antaranya adalahporsigasdalam industri keramik (30%), industri kaca (30-35%), industri baja (30- 35%), industri pupuk (80%), dan industri petrokimia (10%). ”Apabila efisiensi harga gas dapat diberikan, daya saing industri-industri tersebut tentu akan meningkat,” ujarnya.
Mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu menilai, langkah ini merupakan bagian dari upaya BKPM untuk mendorong kinerja investasi yang sudah ada agar tetap tumbuh dalam situasi ekonomi yang melambat. Dia mengatakan, selain menarik investasi, BKPM juga menjaga agar investasi yang ada tidak berhenti atau hengkang.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pemakai Gas (Apigas) Sumatera Utara (Sumut) Johan Brien mengatakan, industri di Sumut mengalami kesulitan dalam menjalankan operasional karena kenaikan harga gas per 1 Agustus lalu dari awalnya USD8,7/per mmbtu (million british termal unit) menjadi USD 14/per mmbtu. ”Secara head to head, harga gas di Sumut jauh di atas harga gas di Malaysia dan Singapura. Di dua negara itu harga gas untuk industri paling mahal USD3,8/mmbtu,” jelasnya.
Menurut Johan, kenaikan harga hingga dua kali lipat itu membuat biaya produksi melonjak signifikan, khususnya industri keramik dan sarung tangan yang membutuhkan banyak gas. Alhasil, industri lokal pun kini sulit bersaing di pasar di tengah masuknya impor dengan harga yang lebih murah.
Rahmat fiansyah
Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Franky Sibarani mengatakan, pihaknya tengah mengkaji lebih dalam mengenai dampak dan mekanisme yang memungkinkan tersedianya harga gas yang lebih murah bagi industri. BKPM pun akan berkoordinasi dengan Kementerian Perindustrian untuk merealisasikan hal tersebut. ”Harga gas berkontribusi cukup besar dalam komponen biaya produksi,” tegas Franky melalui keterangan pers akhir pekan lalu.
Franky mengidentifikasi besaran porsi komponen harga gas dalam biaya produksi rata-rata mencapai 10-80%. Beberapa di antaranya adalahporsigasdalam industri keramik (30%), industri kaca (30-35%), industri baja (30- 35%), industri pupuk (80%), dan industri petrokimia (10%). ”Apabila efisiensi harga gas dapat diberikan, daya saing industri-industri tersebut tentu akan meningkat,” ujarnya.
Mantan Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) itu menilai, langkah ini merupakan bagian dari upaya BKPM untuk mendorong kinerja investasi yang sudah ada agar tetap tumbuh dalam situasi ekonomi yang melambat. Dia mengatakan, selain menarik investasi, BKPM juga menjaga agar investasi yang ada tidak berhenti atau hengkang.
Ketua Asosiasi Perusahaan Pemakai Gas (Apigas) Sumatera Utara (Sumut) Johan Brien mengatakan, industri di Sumut mengalami kesulitan dalam menjalankan operasional karena kenaikan harga gas per 1 Agustus lalu dari awalnya USD8,7/per mmbtu (million british termal unit) menjadi USD 14/per mmbtu. ”Secara head to head, harga gas di Sumut jauh di atas harga gas di Malaysia dan Singapura. Di dua negara itu harga gas untuk industri paling mahal USD3,8/mmbtu,” jelasnya.
Menurut Johan, kenaikan harga hingga dua kali lipat itu membuat biaya produksi melonjak signifikan, khususnya industri keramik dan sarung tangan yang membutuhkan banyak gas. Alhasil, industri lokal pun kini sulit bersaing di pasar di tengah masuknya impor dengan harga yang lebih murah.
Rahmat fiansyah
(ftr)