Pemerintah Dinilai Tak Kompak soal Listrik 35.000 MW
A
A
A
JAKARTA - Pengamat kelistrikan Fabby Tumiwa menilai pemerintah tidak kompak soal proyek listrik 35.000 megawatt (MW) yang akan dikebut hingga 2019.
Pasalnya, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, dan Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli tidak seragam. (Baca: Rizal Ramli Turunkan Target Proyek Listrik 35.000 MW).
Jokowi dan Menteri ESDM tetap keukeuh bahwa proyek ambisius tersebut akan dapat tercapai sesuai target pada 2019. Sementara, Rizal Ramli tetap pada pendiriannya bahwa proyek tersebut tidak realistis dan menurunkan targetnya menjadi 16.000 MW hingga 2019.
"Menteri ESDM bilang enggak akan berubah, terus tiga minggu lalu Pak Rizal Ramli menaikkan isu ini, Presiden juga mengatakan target itu tidak berubah. Jadi saya lihat statement Presiden, Menteri ESDM tidak ada urgensi untuk mengubah itu. Sementara Pak Rizal bilang diubah. Sebenarnya apa yang terjadi," katanya saat dihubungi Sindonews, Selasa (8/9/2015).
Menurutnya, perlu kajian matang untuk membuat keputusan menurunkan target proyek listrik Jokowi tersebut. Terlebih, menko tugasnya mengoordinasi, sementara teknisnya berada di menteri terkait, yaitu Menteri ESDM.
"Nah itu pertanyaannya apa Menteri ESDM sudah diajak bicara belum?" imbuh dia. (Baca:Rizal Revisi Target, ESDM-PLN Keukeuh Listrik 35.000 MW).
Fabby menerangkan, sebenarnya terjadi perbedaan dimensi dan pandangan antara Presiden, Menteri ESDM, dan Menko bidang Kemaritiman dan Sumber Daya. Jokowi dan Sudirman Said memandang bahwa 35.000 MW itu merupakan target yang harus dicapai dari respon kebutuhan listrik yang muncul.
Sementara, Rizal Rramli melihat dari dimensi ukuran realistis yang bisa dicapai dalam lima tahun mendatang. "Jadi beda dimensinya. Satu target dan satu soal realistis atau tidak. Dua-duanya enggak nyambung. Sebenarnya menurut saya, sebagai pembantu Presiden, menko seharusnya turut serta menyelesaikan," jelasnya.
Sebelumnya, Rizal Ramli memutuskan untuk merombak rencana pembangunan proyek listrik 35.000 MW yang dicita-citakan Presiden Jokowi menjadi hanya 16.000 MW hingga 2019.
Alasan mengubah rencana proyek listrik yang digadang-gadang pemerintah tersebut lantaran untuk mencapai 35.000 MW tidak mungkin bisa hanya dalam waktu lima tahun.
"Seperti diketahui ada target untuk membangun listrik sebesar 35.000 MW. Setelah kami bahas, 35.000 MW tidak mungkin dicapai dalam lima tahun mungkin 10 tahun bisa," katanya di gedung BPPT, Jakarta, Senin (7/9/2015).
Menurutnya, jika Presiden Jokowi tetap keukeuh membangun listrik sebesar 35.000 MW dalam waktu lima tahun, maka beban puncak PLN pada 2019 menjadi sebesar 74 ribu MW dan dengan kapasitas berlebih (iddle) 21 ribu MW.
"Sesuai aturan yang ada, PLN harus membeli atau membayar sebanyak 74% kapasitas listrik berlebih (21.000 MW) itu dari swasta dipakai atau enggak dipakai. Kalau ini terjadi, PLN akan alami kesulitan keuangan," imbuh Rizal.
Baca Juga:
Jokowi Tolak Keinginan Rizal Ramli soal Listrik 35.000 MW
Lingkaran Istana Tak Tahu Langkah Rizal Ramli
Pasalnya, pernyataan Presiden Joko Widodo (Jokowi), Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, dan Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli tidak seragam. (Baca: Rizal Ramli Turunkan Target Proyek Listrik 35.000 MW).
Jokowi dan Menteri ESDM tetap keukeuh bahwa proyek ambisius tersebut akan dapat tercapai sesuai target pada 2019. Sementara, Rizal Ramli tetap pada pendiriannya bahwa proyek tersebut tidak realistis dan menurunkan targetnya menjadi 16.000 MW hingga 2019.
"Menteri ESDM bilang enggak akan berubah, terus tiga minggu lalu Pak Rizal Ramli menaikkan isu ini, Presiden juga mengatakan target itu tidak berubah. Jadi saya lihat statement Presiden, Menteri ESDM tidak ada urgensi untuk mengubah itu. Sementara Pak Rizal bilang diubah. Sebenarnya apa yang terjadi," katanya saat dihubungi Sindonews, Selasa (8/9/2015).
Menurutnya, perlu kajian matang untuk membuat keputusan menurunkan target proyek listrik Jokowi tersebut. Terlebih, menko tugasnya mengoordinasi, sementara teknisnya berada di menteri terkait, yaitu Menteri ESDM.
"Nah itu pertanyaannya apa Menteri ESDM sudah diajak bicara belum?" imbuh dia. (Baca:Rizal Revisi Target, ESDM-PLN Keukeuh Listrik 35.000 MW).
Fabby menerangkan, sebenarnya terjadi perbedaan dimensi dan pandangan antara Presiden, Menteri ESDM, dan Menko bidang Kemaritiman dan Sumber Daya. Jokowi dan Sudirman Said memandang bahwa 35.000 MW itu merupakan target yang harus dicapai dari respon kebutuhan listrik yang muncul.
Sementara, Rizal Rramli melihat dari dimensi ukuran realistis yang bisa dicapai dalam lima tahun mendatang. "Jadi beda dimensinya. Satu target dan satu soal realistis atau tidak. Dua-duanya enggak nyambung. Sebenarnya menurut saya, sebagai pembantu Presiden, menko seharusnya turut serta menyelesaikan," jelasnya.
Sebelumnya, Rizal Ramli memutuskan untuk merombak rencana pembangunan proyek listrik 35.000 MW yang dicita-citakan Presiden Jokowi menjadi hanya 16.000 MW hingga 2019.
Alasan mengubah rencana proyek listrik yang digadang-gadang pemerintah tersebut lantaran untuk mencapai 35.000 MW tidak mungkin bisa hanya dalam waktu lima tahun.
"Seperti diketahui ada target untuk membangun listrik sebesar 35.000 MW. Setelah kami bahas, 35.000 MW tidak mungkin dicapai dalam lima tahun mungkin 10 tahun bisa," katanya di gedung BPPT, Jakarta, Senin (7/9/2015).
Menurutnya, jika Presiden Jokowi tetap keukeuh membangun listrik sebesar 35.000 MW dalam waktu lima tahun, maka beban puncak PLN pada 2019 menjadi sebesar 74 ribu MW dan dengan kapasitas berlebih (iddle) 21 ribu MW.
"Sesuai aturan yang ada, PLN harus membeli atau membayar sebanyak 74% kapasitas listrik berlebih (21.000 MW) itu dari swasta dipakai atau enggak dipakai. Kalau ini terjadi, PLN akan alami kesulitan keuangan," imbuh Rizal.
Baca Juga:
Jokowi Tolak Keinginan Rizal Ramli soal Listrik 35.000 MW
Lingkaran Istana Tak Tahu Langkah Rizal Ramli
(izz)