Catatan Sektor Perpajakan Setahun Pemerintahan Jokowi-JK
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengungkapkan, setahun kepemimpinan Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla (Jokowi-JK), ada beberapa pencapaian yang layak untuk diapresiasi meski belum memuaskan.
Trisakti dan Nawacita adalah platform visi yang dapat dijadikan rujukan untuk menilai apakah kebijakan pemerintah sesuai visi atau justru melenceng.
"Di bidang perpajakan, kami memberikan penilaian dan catatan sebagai berikut. Pertama, nawacita merupakan visi yang memuat platform reformasi kebijakan perpajakan menyeluruh karena menyentuh dimensi regulasi, kelembagaan, dan administrasi," kata Yustinus kepada Sindonews dalam pesan singkatnya di Jakarta, Selasa (20/10/2015).
Kekuatan Nawacita adalah menempatkan pajak sebagai instrumen fiskal yang terukur dan efektif dalam bingkai kesadaran ideologis bahwa politik anggaran perlu ditata ulang.
Kedua, janji penting Nawacita adalah transformasi kelembagaan, yaitu membentuk Badan Penerimaan Negara yang lebih otonom, kredibel dan profesional, target tax ratio 16% pada 2019, dan desain ulang arsitektur fiskal yaitu rekoneksi belanja-penerimaan agar lebih bermanfaat bagi rakyat.
"Ketiga, pemerintahan Jokowi-JK memulai tahun pertama pemerintahannya dengan meningkatkan target penerimaan pajak yang sangat tinggi tanpa mengukur kapasitas pemungutan. Tekanan target ini berakibat pada aktivitas pemungutan pajak yang instan dan agresif sehingga berpotensi mendistorsi hak-hak wajib pajak," ungkap Prastowo.
Keempat, Jokowi-JK melalui Perpres 37/2015 juga telah menaikkan remunerasi pegawai pajak sangat signifikan. Hal ini adalah prasyarat bagi kinerja pemungutan yang lebih optimal. Namun, skema dan struktur remunerasi perlu ditinjau ulang, baik dari sisi keadilan maupun efektivitasnya.
Kelima, pemerintah juga memulai tahun pertama dengan pergantian Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai melalui seleksi terbuka. Meski masih terdapat beberapa kelemahan, proses ini cukup bagus sebagai pondasi tata kelembagaan ke depan dan diharapkan pimpinan lembaga lebih bertanggung jawab, akseptabel dan kompeten.
"Enam, kenaikan target penerimaan pajak belum diikuti pemahaman yang baik akan pentingnya reformasi perpajakan komprehensif, sehingga kebijakan perpajakan masih bertumpu pada intensifikasi dan ekstensifikasi tanpa arah yang jelas, belum mengarah pd sektor potensial, menyasar kelompok tidak patuh, dan dilandasi upaya membangun kepatuhan sukarela wajib pajak," tuturnya.
Ketujuh, tahun Pembinaan Wajib Pajak merupakan program yang cukup bagus sebagai upaya membangun kesadaran dan kepatuhan pajak, meski dalam praktik mengalami berbagai kendala, termasuk distorsi pemerintah sendiri dengan mewacanakan tax amnesty.
"Delapan, sensitivitas pemerintah akan pentingnya aspek pajak sebagai insentif mulai muncul ketika pada Semester II mulai terjadi perubahan orientasi kebijakan pajak yang mendukung pemulihan ekonomi," kata dia.
Strategi pemungutan pajak yang lebih longgar, lanjut dia, akan memberi rasa nyaman bagi masyarakat. Di sisi lain target sebaiknya lebih realistis dan tidak dijadikan ukuran satu-satunya kinerja Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai.
"Berdasarkan hal tersebut kami mendesak agar, pertama, Jokowi-JK konsisten dengan visi nawacita sehingga kebijakan pajak akan mendukung fiskal sustainability bagi pencapaian kesejahteraan rakyat," katanya.
Kedua, melakukan reformasi kelembagaan yaitu segera mewujudkan Badan Penerimaan Negara yang kredibel, otonom, dan profesional, rekoneksi belanja dengan penerimaan, menyusun strategi jangka menengah berkelanjutan, dan membuat Forum Koordinasi Penegak Hukum.
"Mempercepat proses revisi UU Perpajakan dengan tetap memperhatikan prinsip dan asas perpajakan yang berkeadilan, menciptakan kepastian hukum, efisien, dan melindungi hak-hak wajib pajak," imbuhnya.
Keempat, menempatkan target perpajakan dalam bingkai reformasi fiskal dengan mempertimbangkan kapasitas kelembagaan, alokasi tax expenditure (insentif), dan kebutuhan belanja riil pemerintah, termasuk pelibatan pemerintah daerah dan kementerian/lembaga.
Kelima, Jokowi-JK menunda pemberlakuan pengampunan pajak sampai beberapa prasyarat utama disiapkan: administrasi pasca-pengampunan, skema manajemen kepatuhan pajak, revisi UU Perbankan, inisiasi Single Identification Number (SIN).
Keenam, Menteri Keuangan dan jajarannya meningkatkan komunikasi dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan yang lebih luas, termasuk tidak sekadar menjadikan wajib pajak dan komunitas perpajakan sebagai objek kebijakan tetapi sebagai subjek yang memiliki hak dan tanggung jawab setara dalam pembangunan.
Ketujuh, Kemenkeu, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai menjamin konsistensi kebijakan perpajakan yang mengedepankan pembinaan, pelayanan, bimbingan dan prioritas penyelesaian administrasi yang objektif dan adil, pemenuhan hak wajib pajak sesuai UU. Di sisi lain berani melakukan penegakan hukum yang keras dan tegas terhadap pengemplang pajak.
Kedelapan, harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan dan aturan yang berlaku agar menciptakan kepastian hukum, menjamin rasa keadilan, dan meningkatkan kepercayaan yang penting bagi kepatuhan sukarela.
Terakhir, publik terus-menerus melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK, agar pemerintahan demokratis yang dipilih rakyat ini setia dan tidak melenceng dari visi trisakti dan janji nawacita.
Trisakti dan Nawacita adalah platform visi yang dapat dijadikan rujukan untuk menilai apakah kebijakan pemerintah sesuai visi atau justru melenceng.
"Di bidang perpajakan, kami memberikan penilaian dan catatan sebagai berikut. Pertama, nawacita merupakan visi yang memuat platform reformasi kebijakan perpajakan menyeluruh karena menyentuh dimensi regulasi, kelembagaan, dan administrasi," kata Yustinus kepada Sindonews dalam pesan singkatnya di Jakarta, Selasa (20/10/2015).
Kekuatan Nawacita adalah menempatkan pajak sebagai instrumen fiskal yang terukur dan efektif dalam bingkai kesadaran ideologis bahwa politik anggaran perlu ditata ulang.
Kedua, janji penting Nawacita adalah transformasi kelembagaan, yaitu membentuk Badan Penerimaan Negara yang lebih otonom, kredibel dan profesional, target tax ratio 16% pada 2019, dan desain ulang arsitektur fiskal yaitu rekoneksi belanja-penerimaan agar lebih bermanfaat bagi rakyat.
"Ketiga, pemerintahan Jokowi-JK memulai tahun pertama pemerintahannya dengan meningkatkan target penerimaan pajak yang sangat tinggi tanpa mengukur kapasitas pemungutan. Tekanan target ini berakibat pada aktivitas pemungutan pajak yang instan dan agresif sehingga berpotensi mendistorsi hak-hak wajib pajak," ungkap Prastowo.
Keempat, Jokowi-JK melalui Perpres 37/2015 juga telah menaikkan remunerasi pegawai pajak sangat signifikan. Hal ini adalah prasyarat bagi kinerja pemungutan yang lebih optimal. Namun, skema dan struktur remunerasi perlu ditinjau ulang, baik dari sisi keadilan maupun efektivitasnya.
Kelima, pemerintah juga memulai tahun pertama dengan pergantian Dirjen Pajak dan Dirjen Bea Cukai melalui seleksi terbuka. Meski masih terdapat beberapa kelemahan, proses ini cukup bagus sebagai pondasi tata kelembagaan ke depan dan diharapkan pimpinan lembaga lebih bertanggung jawab, akseptabel dan kompeten.
"Enam, kenaikan target penerimaan pajak belum diikuti pemahaman yang baik akan pentingnya reformasi perpajakan komprehensif, sehingga kebijakan perpajakan masih bertumpu pada intensifikasi dan ekstensifikasi tanpa arah yang jelas, belum mengarah pd sektor potensial, menyasar kelompok tidak patuh, dan dilandasi upaya membangun kepatuhan sukarela wajib pajak," tuturnya.
Ketujuh, tahun Pembinaan Wajib Pajak merupakan program yang cukup bagus sebagai upaya membangun kesadaran dan kepatuhan pajak, meski dalam praktik mengalami berbagai kendala, termasuk distorsi pemerintah sendiri dengan mewacanakan tax amnesty.
"Delapan, sensitivitas pemerintah akan pentingnya aspek pajak sebagai insentif mulai muncul ketika pada Semester II mulai terjadi perubahan orientasi kebijakan pajak yang mendukung pemulihan ekonomi," kata dia.
Strategi pemungutan pajak yang lebih longgar, lanjut dia, akan memberi rasa nyaman bagi masyarakat. Di sisi lain target sebaiknya lebih realistis dan tidak dijadikan ukuran satu-satunya kinerja Ditjen Pajak dan Ditjen Bea Cukai.
"Berdasarkan hal tersebut kami mendesak agar, pertama, Jokowi-JK konsisten dengan visi nawacita sehingga kebijakan pajak akan mendukung fiskal sustainability bagi pencapaian kesejahteraan rakyat," katanya.
Kedua, melakukan reformasi kelembagaan yaitu segera mewujudkan Badan Penerimaan Negara yang kredibel, otonom, dan profesional, rekoneksi belanja dengan penerimaan, menyusun strategi jangka menengah berkelanjutan, dan membuat Forum Koordinasi Penegak Hukum.
"Mempercepat proses revisi UU Perpajakan dengan tetap memperhatikan prinsip dan asas perpajakan yang berkeadilan, menciptakan kepastian hukum, efisien, dan melindungi hak-hak wajib pajak," imbuhnya.
Keempat, menempatkan target perpajakan dalam bingkai reformasi fiskal dengan mempertimbangkan kapasitas kelembagaan, alokasi tax expenditure (insentif), dan kebutuhan belanja riil pemerintah, termasuk pelibatan pemerintah daerah dan kementerian/lembaga.
Kelima, Jokowi-JK menunda pemberlakuan pengampunan pajak sampai beberapa prasyarat utama disiapkan: administrasi pasca-pengampunan, skema manajemen kepatuhan pajak, revisi UU Perbankan, inisiasi Single Identification Number (SIN).
Keenam, Menteri Keuangan dan jajarannya meningkatkan komunikasi dan koordinasi dengan para pemangku kepentingan yang lebih luas, termasuk tidak sekadar menjadikan wajib pajak dan komunitas perpajakan sebagai objek kebijakan tetapi sebagai subjek yang memiliki hak dan tanggung jawab setara dalam pembangunan.
Ketujuh, Kemenkeu, Ditjen Pajak, Ditjen Bea dan Cukai menjamin konsistensi kebijakan perpajakan yang mengedepankan pembinaan, pelayanan, bimbingan dan prioritas penyelesaian administrasi yang objektif dan adil, pemenuhan hak wajib pajak sesuai UU. Di sisi lain berani melakukan penegakan hukum yang keras dan tegas terhadap pengemplang pajak.
Kedelapan, harmonisasi dan sinkronisasi kebijakan dan aturan yang berlaku agar menciptakan kepastian hukum, menjamin rasa keadilan, dan meningkatkan kepercayaan yang penting bagi kepatuhan sukarela.
Terakhir, publik terus-menerus melakukan pengawasan terhadap kinerja pemerintahan Jokowi-JK, agar pemerintahan demokratis yang dipilih rakyat ini setia dan tidak melenceng dari visi trisakti dan janji nawacita.
(izz)