ARLI Pertanyakan Dukungan Pemerintah
A
A
A
JAKARTA - Asosiasi Rumput Laut Indonesia (ARLI) mempertanyakan kebijakan pemerintah yang menuntut hilirisasi rumput laut tanpa dukungan yang belum memihak terhadap para pelaku mulai dari hulu hingga hilir.
"Pemerintah dorong hilirisasi, tetapi pelaku usaha yang sudah melakukan itu pun masih saja dibuat pusing," kata Ketua ARLI Safari Azis dalam rilisnya, Jakarta, Senin (26/10/2015).
Saat ini anggotanya tengah dibuat pusing dengan aturan daerah berkaitan dengan limbah industri, bahkan beberapa anggotanya berurusan dengan hukum.
"Kalau sudah seperti ini, dukungan nyata dari pemerintah seperti apa? Pelaku usaha yang sudah mengembangkan hilirisasi saja masih harus menemui hambatan seperti itu, apalagi jika nanti minta insentif dalam rangka daya saing," ujar Safari.
Menurutnya, untuk melakukan hilirisasi pelaku usaha masih menemui berbagai hambatan. Misalnya teknologi belum mendukung, sumber daya manusia belum memadai, bahan kimia untuk mengolah harus impor, sistem logistik belum baik sampai pada peraturan mengenai limbah belum jelas standar dan biayanya.
"Untuk hilirisasi rumput laut kendalanya tidak sedikit, itulah mengapa hilirisasi ini masih sulit dilakukan. Pemahaman pemerintah terhadap hulu hilir rumput laut ternyata masih minim," kata Safari.
Semangat hilirisasi harus didukung secara penuh semua "stakeholder", namun dalam prosesnya sebaiknya tidak lantas mengganggu iklim usaha komoditas rumput laut.
"Amerika Serikat penghasil kedelai dan Indonesia mengimpornya dalam jumlah besar. Tetapi mereka tidak harus memproduksi dalam bentuk tahu atau tempe dan pemerintah Amerika tidak melarang ekspor kedelai hanya karena tidak diolah terlebih dahulu untuk memperoleh nilai tambah," ungkap Safari.
Terkait hal ini, pihaknya meminta pemerintah mengkaji ulang setiap kebijakan yang akan diambil dan pernyataan yang akan dikeluarkan agar pengembangan komoditas rumput laut bisa kondusif baik untuk domestik maupun internasional serta bisa tepat sasaran yang pada akhirnya menuai hasil optimal mulai dari aspek produksinya di hulu hingga pengolahannya di hilir.
"Pemerintah dorong hilirisasi, tetapi pelaku usaha yang sudah melakukan itu pun masih saja dibuat pusing," kata Ketua ARLI Safari Azis dalam rilisnya, Jakarta, Senin (26/10/2015).
Saat ini anggotanya tengah dibuat pusing dengan aturan daerah berkaitan dengan limbah industri, bahkan beberapa anggotanya berurusan dengan hukum.
"Kalau sudah seperti ini, dukungan nyata dari pemerintah seperti apa? Pelaku usaha yang sudah mengembangkan hilirisasi saja masih harus menemui hambatan seperti itu, apalagi jika nanti minta insentif dalam rangka daya saing," ujar Safari.
Menurutnya, untuk melakukan hilirisasi pelaku usaha masih menemui berbagai hambatan. Misalnya teknologi belum mendukung, sumber daya manusia belum memadai, bahan kimia untuk mengolah harus impor, sistem logistik belum baik sampai pada peraturan mengenai limbah belum jelas standar dan biayanya.
"Untuk hilirisasi rumput laut kendalanya tidak sedikit, itulah mengapa hilirisasi ini masih sulit dilakukan. Pemahaman pemerintah terhadap hulu hilir rumput laut ternyata masih minim," kata Safari.
Semangat hilirisasi harus didukung secara penuh semua "stakeholder", namun dalam prosesnya sebaiknya tidak lantas mengganggu iklim usaha komoditas rumput laut.
"Amerika Serikat penghasil kedelai dan Indonesia mengimpornya dalam jumlah besar. Tetapi mereka tidak harus memproduksi dalam bentuk tahu atau tempe dan pemerintah Amerika tidak melarang ekspor kedelai hanya karena tidak diolah terlebih dahulu untuk memperoleh nilai tambah," ungkap Safari.
Terkait hal ini, pihaknya meminta pemerintah mengkaji ulang setiap kebijakan yang akan diambil dan pernyataan yang akan dikeluarkan agar pengembangan komoditas rumput laut bisa kondusif baik untuk domestik maupun internasional serta bisa tepat sasaran yang pada akhirnya menuai hasil optimal mulai dari aspek produksinya di hulu hingga pengolahannya di hilir.
(izz)