Pengamat Nilai Pertagas Lebih Cocok Jadi Agregator Gas
A
A
A
JAKARTA - Pengamat energi dari Indonesian Resourcess Studies (IRESS) Marwan Batubara menilai, jika mengacu pada amanat konstitusi, PT Pertamina Gas (Pertagas) paling pas menjadi agregator gas di Tanah Air daripada Perusahaan Gas Negara (PGN).
"Yang paling bagus dan konstitusional, itu harus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kan BUMN memegang hak monopoli alami. Dialah satu-satunya yang punya hak untuk itu. Yang tepat Pertamina Gas (Pertagas)," kata Marwan dalam rilisnya, Jakarta, Jumat (30/10/2015).
Pertagas lebih berhak menjadi agregator gas dan melakukan monopoli alami, karena negara masih menguasai 100% saham perusahaan ini. Sementara PGN, meski berstatus sebagai BUMN, namun 43% sahamnya dimiliki asing.
"Karena itu, seandainya PGN mendapatkan hak istmewa (privilege) dari pemerintah, hak istimewa itu akan dinikmati juga oleh pemegang saham publik yang jumlahnya mencapai 43%. Sehingga rasanya tidak tepat, tidak adil bagi penduduk Indonesia yang jumlahnya sangat banyak," terang Marwan.
Paling tepat memberikannya kepada Pertagas, karena 100% sahamnya masih dikuasai negara. Jika pemerintah tetap ngotot memberikannya ke PGN, maka harus membeli ulang (buy back) saham yang telah dikuasai asing.
Buy back saham sekitar 40% lebih itu bukan hal yang mudah, karena pemerintah harus kembali mengeluarkan dana. Kemungkinannya sangat kecil, sehingga yang paling baik, memberikannya ke Pertagas.
"Kalau tidak bisa buy back di PGN, jadi pilihannya adalah yang 100%, yaitu Pertagas. Ini secara obyektif saja," katanya.
Alternatif lainnya, mensinergikan PGN dan Pertagas dalam satu holding atau induk perusahan. Untuk holding, yakni Pertamina karena Pertamina mempunyai pengalaman dalam mengelola sejumlah anak perusahaan.
"Pertamina menjadi holding-nya. Di bawahnya ada Petamina Hulu Energi, ada Pertamina Refinery, ada yang mengurusi soal hilir, panas bumi. Lalu ada juga yang ngurusi gas, di mana Pertagas dan PGN itu digabungkan dan harapannya juga sambil digabungkan itu di-buy back sahamnya sebagaian besar," jelas dia.
Kemudian, SKK Migas masuk ke holding Pertamina dan tidak perlu harus membuat BUMN baru untuk menangani gas. "Jangan bikin BUMN sendiri. Ini saya kira harus secara gamblang disampaikan ke pemerintah dan DPR. Saya meminta dijalankan, karena ini amanat konstitusi," tandasnya.
"Yang paling bagus dan konstitusional, itu harus Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Kan BUMN memegang hak monopoli alami. Dialah satu-satunya yang punya hak untuk itu. Yang tepat Pertamina Gas (Pertagas)," kata Marwan dalam rilisnya, Jakarta, Jumat (30/10/2015).
Pertagas lebih berhak menjadi agregator gas dan melakukan monopoli alami, karena negara masih menguasai 100% saham perusahaan ini. Sementara PGN, meski berstatus sebagai BUMN, namun 43% sahamnya dimiliki asing.
"Karena itu, seandainya PGN mendapatkan hak istmewa (privilege) dari pemerintah, hak istimewa itu akan dinikmati juga oleh pemegang saham publik yang jumlahnya mencapai 43%. Sehingga rasanya tidak tepat, tidak adil bagi penduduk Indonesia yang jumlahnya sangat banyak," terang Marwan.
Paling tepat memberikannya kepada Pertagas, karena 100% sahamnya masih dikuasai negara. Jika pemerintah tetap ngotot memberikannya ke PGN, maka harus membeli ulang (buy back) saham yang telah dikuasai asing.
Buy back saham sekitar 40% lebih itu bukan hal yang mudah, karena pemerintah harus kembali mengeluarkan dana. Kemungkinannya sangat kecil, sehingga yang paling baik, memberikannya ke Pertagas.
"Kalau tidak bisa buy back di PGN, jadi pilihannya adalah yang 100%, yaitu Pertagas. Ini secara obyektif saja," katanya.
Alternatif lainnya, mensinergikan PGN dan Pertagas dalam satu holding atau induk perusahan. Untuk holding, yakni Pertamina karena Pertamina mempunyai pengalaman dalam mengelola sejumlah anak perusahaan.
"Pertamina menjadi holding-nya. Di bawahnya ada Petamina Hulu Energi, ada Pertamina Refinery, ada yang mengurusi soal hilir, panas bumi. Lalu ada juga yang ngurusi gas, di mana Pertagas dan PGN itu digabungkan dan harapannya juga sambil digabungkan itu di-buy back sahamnya sebagaian besar," jelas dia.
Kemudian, SKK Migas masuk ke holding Pertamina dan tidak perlu harus membuat BUMN baru untuk menangani gas. "Jangan bikin BUMN sendiri. Ini saya kira harus secara gamblang disampaikan ke pemerintah dan DPR. Saya meminta dijalankan, karena ini amanat konstitusi," tandasnya.
(izz)