Industri Penerbangan Masih Terbebani Regulasi
A
A
A
JAKARTA - Industri penerbangan komersial masih dibebani regulasi penerbangan, mulai dari harga avtur yang masih tinggi, tarif bea masuk hingga pajak (PPN) komponen pesawat.
Ketua Masyarakat Hukum Udara Indonesia, Andre Rahadian mengemukakan, diperlukan sinergi berbagai stakeholder untuk kembali menelaah kebijakan-kebijakan yang ada di sektor penerbangan komersial. “Terutama dari kacamata pemerintah selaku regulator. Hal itu perlu untuk mengembangkan industri maskapai nasional,” ujarnya di Jakarta, Rabu (11/11/2015).
Andre mengatakan, tahun 2015 bukan merupakan tahun yang baik bagi industri maskapai nasional. Menurutnya, perlambatan ekonomi dan pelemahan daya beli menjadi momok utama bagi ranah industri maskapai di Tanah Air.
Dia juga menyinggung Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 45/2015 mengenai persyaratan kepemilikan modal Badan Usaha yang mewajibkan modal sebesar Rp500 miliar.
“Peraturan ini dikeluarkan pada momen yang kurang tepat. Industri maskapai ini sedang melemah, mulai harga avtur yang melonjak tinggi akibat nilai tukar rupiah yang masih fluktuatif. Ditambah, pemerintah masih membebankan tarif bea masuk dan PPN untuk impor pesawat,” terangnya.
Dari sisi harga avtur yang masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN. Sementara, komponen biaya avtur merupakan komponen paling besar atau 40-50% dari total biaya operasi. “Tantangan selanjutnya masih ada pada kebijakan bea masuk dan PPN untuk impor spare parts yang belum menyentuh komponen vital mesin. Padahal di beberapa negara ASEAN sudah membebaskan tarif bea masuk,” paparnya.
Di tempat berbeda, pengamat penerbangan, Arista Atmadjati mengatakan, kebijakan yang diambil pemerintah masih cukup baik pada tataran kebijakan. Namun, implementasinya di lapangan harus konkret. Dia menilai harus ada pengawasan baik dari pemerintah, pelaku usaha hingga masyarakat.
“Pembebasan PPN maupun bea masuk yang dikeluarkan pemerintah belum lama ini memberikan pengaruh signifikan pada pembiayaan maskapai. Yang berpengaruh mungkin hanya cash flow. Sementara PPN juga bisa dikreditkan,” terangnya.
Dia menyebutkan, sejumlah maskapai mengharapkan bisa membebaskan bea masuk pada seluruh komponen pesawat. “Industri ini masih prospektif dalam jangka panjang. Artinya, berikan kemudahan dahulu, kemudian lihat hasilnya. Saya optimis, industri penerbangan kita masih akan berkembang asal jangan dibebani,” pungkasnya.
Sementara, Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carrier Association (INACA), Tengku Burhanuddin mengatakan, dibebaskannnya PPN impor pesawat dan komponen hanya sedikit membantu. Sebab, dari item yang dibebaskan belum seluruhnya atau masih terbatas pada komponen tertentu.
“Pembebasan PPN bukan sebagai beban operasi. Artinya kalau mau bantu investasi yang bebaskan bea masuk. Biar ada industri komponen pesawat nantinya,” tandasnya.
Ketua Masyarakat Hukum Udara Indonesia, Andre Rahadian mengemukakan, diperlukan sinergi berbagai stakeholder untuk kembali menelaah kebijakan-kebijakan yang ada di sektor penerbangan komersial. “Terutama dari kacamata pemerintah selaku regulator. Hal itu perlu untuk mengembangkan industri maskapai nasional,” ujarnya di Jakarta, Rabu (11/11/2015).
Andre mengatakan, tahun 2015 bukan merupakan tahun yang baik bagi industri maskapai nasional. Menurutnya, perlambatan ekonomi dan pelemahan daya beli menjadi momok utama bagi ranah industri maskapai di Tanah Air.
Dia juga menyinggung Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 45/2015 mengenai persyaratan kepemilikan modal Badan Usaha yang mewajibkan modal sebesar Rp500 miliar.
“Peraturan ini dikeluarkan pada momen yang kurang tepat. Industri maskapai ini sedang melemah, mulai harga avtur yang melonjak tinggi akibat nilai tukar rupiah yang masih fluktuatif. Ditambah, pemerintah masih membebankan tarif bea masuk dan PPN untuk impor pesawat,” terangnya.
Dari sisi harga avtur yang masih lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN. Sementara, komponen biaya avtur merupakan komponen paling besar atau 40-50% dari total biaya operasi. “Tantangan selanjutnya masih ada pada kebijakan bea masuk dan PPN untuk impor spare parts yang belum menyentuh komponen vital mesin. Padahal di beberapa negara ASEAN sudah membebaskan tarif bea masuk,” paparnya.
Di tempat berbeda, pengamat penerbangan, Arista Atmadjati mengatakan, kebijakan yang diambil pemerintah masih cukup baik pada tataran kebijakan. Namun, implementasinya di lapangan harus konkret. Dia menilai harus ada pengawasan baik dari pemerintah, pelaku usaha hingga masyarakat.
“Pembebasan PPN maupun bea masuk yang dikeluarkan pemerintah belum lama ini memberikan pengaruh signifikan pada pembiayaan maskapai. Yang berpengaruh mungkin hanya cash flow. Sementara PPN juga bisa dikreditkan,” terangnya.
Dia menyebutkan, sejumlah maskapai mengharapkan bisa membebaskan bea masuk pada seluruh komponen pesawat. “Industri ini masih prospektif dalam jangka panjang. Artinya, berikan kemudahan dahulu, kemudian lihat hasilnya. Saya optimis, industri penerbangan kita masih akan berkembang asal jangan dibebani,” pungkasnya.
Sementara, Sekretaris Jenderal Indonesia National Air Carrier Association (INACA), Tengku Burhanuddin mengatakan, dibebaskannnya PPN impor pesawat dan komponen hanya sedikit membantu. Sebab, dari item yang dibebaskan belum seluruhnya atau masih terbatas pada komponen tertentu.
“Pembebasan PPN bukan sebagai beban operasi. Artinya kalau mau bantu investasi yang bebaskan bea masuk. Biar ada industri komponen pesawat nantinya,” tandasnya.
(dmd)