Rizal Ramli Kembali Diminta Tak Berkicau di Luar Kabinet
A
A
A
JAKARTA - Menteri Koordinator (Menko) bidang Kemaritiman dan Sumber Daya Rizal Ramli lagi-lagi mendapat kritikan pedas soal gaya bicaranya yang ceplas-ceplos, dengan berbagai komentar pedasnya terhadap kolega di Kabinet Kerja.
Kali ini, yang menjadi sorotan adalah usulan Rizal mengurangi jatah negara dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) kegiatan eksplorasi migas. Hal ini semata untuk memberikan insentif kepada investor migas, di tengah lesunya harga minyak dunia.
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara meminta Rizal Ramli tidak berkicau di luar kabinet. Jika memang mantan Menko bidang Perekonomian tersebut memiliki usulan atau kritik terhadap koleganya, maka sedianya dibicarakan dalam lingkup kabinet. (Baca: RJ Lino: Rizal Ramli Stop Bicara Ngawur)
"Itu saya kira isunya bukan pak Rizal bicara sebagai orang yang di luar pemerintahan. Itu ngomongnya sama siapa? Dia ngomongnya ke Pak Jokowi jangan ke rakyat, bahas sama Menteri ESDM, Menteri BUMN, SKK Migas. Bahaslah di dalam, jangan keluar terus," katanya saat dihubungi Sindonews di Jakarta, akhir pekan ini.
Menurut Marwan, banyak cara untuk memberikan insentif kepada para kontraktor migas, selain mengurangi porsi negara, di antaranya pengurangan bea masuk dan pemberian libur pajak (tax holiday).
"Jadi bukan cuma itu (pengurangan porsi negara), alternatif cukup banyak. Minimal bea masuk dikurangi atau di-nol kan dan tax holiday," terangnya.
Selain itu, lanjut Marwan, usulan Rizal Ramli mengurangi porsi pemerintah perlu dikaji secara seksama angkanya. Sebab, saat ini porsi negara adalah 85% untuk minyak dan 70% untuk gas.
"Ini harus dikaji secara seksama angkanya itu berapa. Yang berlaku sekarang bukan seperti yang disebutkan. Sekarang itu minyak 85:15 dan gas 70:30. Untuk negara lebih besar," terang Marwan.
Selain menyindir Rizal Ramli, pengamat pertambangan ini juga meminta Presiden Jokowi untuk melakukan koordinasi dengan baik dan memimpin rapat untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat. Hal ini guna mencegah para menterinya berkicau di luar kabinet.
"Untuk itu perlu undang rapat menteri terkait bukan bicara keluar. Jadi presidennya kemana? Pak Rizal hentikan kebiasaan ngomong keluar tanpa dia berupaya ke dalam. Kan mereka itu harus solid, memimpin negara. Kalau di dalam berantem, rakyat mau apa," tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Rizal Ramli lagi-lagi melontarkan sindiran pedas kepada koleganya di kabinet kerja, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said.
Rizal menilai mantan Bos Pindad tersebut tidak paham soal minyak dan gas (migas). Pekan depan Rizal berencana memanggil para direktur jenderal (dirjen) di Kementerian ESDM guna mendiskusikan rencananya mengurangi porsi negara atas hasil produksi migas.
"Kalau menterinya enggak mau datang, dari dulu saya undang enggak mau datang, enggak penting. Karena saya penting dirjennya, karena lebih ngerti dirjennya daripada menterinya," tegasnya di Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (19/11/2015).
Pasalnya, saat ini harga migas sedang mengalami penurunan, seharusnya ada insentif yang diberikan ke pengusaha produsen migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) agar tetap bertahan.
Saat ini, negara mendapat bagian 85% dan KKKS 15% dari hasil produksi minyak, sedangkan dari produksi gas KKKS mendapat 30% negara dapat 70%.
"Caranya, pembagian production sharing harus fleksibel. Kalau sekarang misalnya 85:15, kenapa enggak 80:20 untuk sementara. Lebih bagus ada aktivitas, ada lapangan pekerjaan, proven reserve kita nambah daripada tetap bermimpi 85:15. Ini yang saya maksud berpikir out of the box," jelasnya.
Kali ini, yang menjadi sorotan adalah usulan Rizal mengurangi jatah negara dalam kontrak bagi hasil (production sharing contract/PSC) kegiatan eksplorasi migas. Hal ini semata untuk memberikan insentif kepada investor migas, di tengah lesunya harga minyak dunia.
Direktur Eksekutif Indonesia Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara meminta Rizal Ramli tidak berkicau di luar kabinet. Jika memang mantan Menko bidang Perekonomian tersebut memiliki usulan atau kritik terhadap koleganya, maka sedianya dibicarakan dalam lingkup kabinet. (Baca: RJ Lino: Rizal Ramli Stop Bicara Ngawur)
"Itu saya kira isunya bukan pak Rizal bicara sebagai orang yang di luar pemerintahan. Itu ngomongnya sama siapa? Dia ngomongnya ke Pak Jokowi jangan ke rakyat, bahas sama Menteri ESDM, Menteri BUMN, SKK Migas. Bahaslah di dalam, jangan keluar terus," katanya saat dihubungi Sindonews di Jakarta, akhir pekan ini.
Menurut Marwan, banyak cara untuk memberikan insentif kepada para kontraktor migas, selain mengurangi porsi negara, di antaranya pengurangan bea masuk dan pemberian libur pajak (tax holiday).
"Jadi bukan cuma itu (pengurangan porsi negara), alternatif cukup banyak. Minimal bea masuk dikurangi atau di-nol kan dan tax holiday," terangnya.
Selain itu, lanjut Marwan, usulan Rizal Ramli mengurangi porsi pemerintah perlu dikaji secara seksama angkanya. Sebab, saat ini porsi negara adalah 85% untuk minyak dan 70% untuk gas.
"Ini harus dikaji secara seksama angkanya itu berapa. Yang berlaku sekarang bukan seperti yang disebutkan. Sekarang itu minyak 85:15 dan gas 70:30. Untuk negara lebih besar," terang Marwan.
Selain menyindir Rizal Ramli, pengamat pertambangan ini juga meminta Presiden Jokowi untuk melakukan koordinasi dengan baik dan memimpin rapat untuk mengambil sebuah keputusan yang tepat. Hal ini guna mencegah para menterinya berkicau di luar kabinet.
"Untuk itu perlu undang rapat menteri terkait bukan bicara keluar. Jadi presidennya kemana? Pak Rizal hentikan kebiasaan ngomong keluar tanpa dia berupaya ke dalam. Kan mereka itu harus solid, memimpin negara. Kalau di dalam berantem, rakyat mau apa," tandasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Rizal Ramli lagi-lagi melontarkan sindiran pedas kepada koleganya di kabinet kerja, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said.
Rizal menilai mantan Bos Pindad tersebut tidak paham soal minyak dan gas (migas). Pekan depan Rizal berencana memanggil para direktur jenderal (dirjen) di Kementerian ESDM guna mendiskusikan rencananya mengurangi porsi negara atas hasil produksi migas.
"Kalau menterinya enggak mau datang, dari dulu saya undang enggak mau datang, enggak penting. Karena saya penting dirjennya, karena lebih ngerti dirjennya daripada menterinya," tegasnya di Kawasan Kebayoran Baru, Jakarta, Kamis (19/11/2015).
Pasalnya, saat ini harga migas sedang mengalami penurunan, seharusnya ada insentif yang diberikan ke pengusaha produsen migas atau Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) agar tetap bertahan.
Saat ini, negara mendapat bagian 85% dan KKKS 15% dari hasil produksi minyak, sedangkan dari produksi gas KKKS mendapat 30% negara dapat 70%.
"Caranya, pembagian production sharing harus fleksibel. Kalau sekarang misalnya 85:15, kenapa enggak 80:20 untuk sementara. Lebih bagus ada aktivitas, ada lapangan pekerjaan, proven reserve kita nambah daripada tetap bermimpi 85:15. Ini yang saya maksud berpikir out of the box," jelasnya.
(dmd)