Polemik Freeport Tak Berujung

Sabtu, 19 Desember 2015 - 06:25 WIB
Polemik Freeport Tak...
Polemik Freeport Tak Berujung
A A A
POLEMIK perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia (PTFI) dari tahun ke tahun tidak pernah berujung pada kepentingan rakyat. Pro dan kontra terus bergulir hanya karena kepentingan politik dan bisnis dari para pejabat di negeri ini.

Sejak kontrak kerja (KK) I ditandatangani pada 5 April 1967, Freeport menjadi satu-satunya perusahaan yang ditunjuk untuk menangani kawasan Ertsberg (wilayah tambang emas di Papua) seluas 10 kilometer persegi. KK I ini berlangsung 30 tahun. Kontrak dinyatakan mulai berlaku saat perusahaan mulai beroperasi, dan pada Desember, eksplorasi Ertsberg dimulai.

Pada 28 Januari 1988, dugaan deposit emas di kawasan lain, yakni Grasberg menunjukkan hasil positif. Di tahun yang sama, Freeport Mc Moran Copper and Gold (FCX) akhirnya go public di lantai bursa New York. Pada 1988 milestone PTFI, yaitu tambang Grasberg ditemukan. Investasi cukup besar ditanamkan dalam kontrak karya terebut.

Kini, masa kontra karya Freeport akan habis pada 2021, dengan masa penentuan perpanjangan kontrak sesuai perjanjian sebelumnya pada 2019, atau dua tahun sebelum masa kontrak habis. Namun, belum tiba waktunya kasak-kusuk perpanjangan kontrak karya sudah memanas dan menimbulkan kegaduhan.

Ketua Komisi VII DPR RI Kardaya Warnika menuturkan, kegaduhan yang muncul dalam drama perpanjangan kontrak Freeport sejatinya dimulai dari ketidakpatuhan raksasa tambang Amerika Serikat (AS) tersebut terhadap Undang-undang (UU) Nomor 4 tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara (Minerba).

"‎Kalau tidak ditaati maka tumbuhlah kegaduhan. Perundangan tentunya UUD, dan yang paling utama adalah UU Nomor 4 tahun 2009," ujarnya dalam Talkshow Polemik Sindo Trijaya di Jakarta, Sabtu (5/12/2015).

Dalam UU tersebut dikatakan, bahwa untuk pemegang kontrak karya (KK) dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) sejatinya tetap akan diperpanjang, namun harus menyesuaikan ketentuan yang berlaku dalam UU tersebut. Ketentuan tersebut antara lain mencakup, royalti, luas wilayah, penggunaan komponen lokal, hingga produksi di dalam negeri. "‎Dan, di situ diamanatkan semuanya harus menegosiasikan atau menyesuaikan dalam kurun satu tahun paling lama (2010)," tegasnya.

Untuk kasus Freeport, lanjut Kardaya, mereka tidak pernah melakukan penyesuaian dan memenuhi persyaratan yang tercantum dalam UU Nomor 4 tahun 2009 hingga 2010.

Maka dari itu, jika sekarang terjadi renegosiasi maka tidak berlandaskan hukum. Pasalnya, landasan hukum dalam UU tersebut menegaskan bahwa persyaratan harus dipenuhi dalam kurun satu tahun sejak UU dikeluarkan atau hingga 2010‎. "‎Kalau sekarang terjadi renegosiasi, renegosiasi apa? Apa renegosiasi itu untuk menyesuaikan UU sekarang? Karena itu tidak ada dasar hukumnya. Udah selesai masa waktunya," jelasnya.

Sementara itu, Wakil Presiden‎ RI Jusuf Kalla (JK) mengatakan, pemerintah pada dasarnya memiliki tugas menjaga kelangsungan investasi yang telah ada di Indonesia. Hal ini menanggapi pula pernyataan Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsoeddin yang menyebutkan jika kontrak Freeport tidak diperpanjang maka akan terjadi banyak masalah di Indonesia. "Tentu investasi yang sudah ada harus kita jaga kelangsungannya," ucapnya di Crown Plaza, Jakarta, Rabu (9/12/2015).

Dia beralasan, pemerintah selama ini selalu ingin agar investor berbondong-bondong datang ke Tanah Air. Segala upaya dilakukan oleh para menteri bahkan Presiden Joko Widodo (Jokowi) agar negara-negara di dunia tertarik berinvestasi di Indonesia.

Guna menarik minat investor asing ke Indonesia, maka sudah menjadi kewajiban bagi pemerintah untuk menjaga kelangsungan investasi yang sudah ada di negeri ini. "Ya, tentu saja kita sebagai pemerintah selalu ingin ada investasi. Presiden dan menteri-menteri datang ke suatu negara untuk undang investasi. Kalau suatu investasi tidak dijaga, bagaimana kita bisa undang investasi lain," tegasnya.

Di sisi lain, pengamat pertambangan dan peneliti dari Sajogyo Institute, Siti Maimunah mendesak pemerintah untuk tidak memperpanjang kontrak PT Freeport Indonesia, lantaran perusahaan tambang asal Amerika Serikat itu tidak hanya merugikan secara ekonomi tapi juga krisis sosial-ekologis.

Menurutnya, kisruh kontrak PT Freeport seperti yang belum lama ini melibatkan politisi sering kali terjadi, ketika banyak orang membicarakan hitung-hitung royalti, saham dan investasi. Celakanya kisruh seperti ini terus berulang setiap tahun.

"Seharusnya drama ini tidak ada. Semua orang sibuk membicarakan soal pembagian saham dan divestasi. Sedangkan mereka tidak mengutamakan ekologi dan Agraria yang ada di sana," ujarnya, Jumat (11/12/2015).

Terlebih, Freeport menurutnya beberapa kali melanggar UU ekspor konsentrat yang memang itu seharusnya tidak dilakukan karena sudah ada dalam ketentuan berapa persen harus mengekspor. "Kalaupun dilanjutkan, mereka harus mematuhi apa yang sudah jadi ketentuan pemerintah kita dan masyarakat Papua. Agar semuanya bisa adil," imbuhnya.

Pengamat dari Aliansi Kebangsaan Dawam Rahardjo memandang, area tambang PT Freeport Indonesia seharusnya bisa menjadi wilayah yang menguntungkan masyarakat. Namun sejak 70 tahun merdeka, pengelolaan tambang tidak memperkaya masyarakat Indonesia.

Dalam Pasal 33 UUD 1945 dikatakan bahwa tambang harus dikuasai oleh negara dan harus bisa memakmurkan masyarakat. Namun kenyataannya, eksploitasi hasil tambang tidak jatuh ke tangan masyarakat.

"Hipotesa saya adalah tambang itu mau Freeport mau yang lainnya, itu umumnya hasil tambang itu lari ke tiga hal. Pertama masuk ke WC, kedua habis terpakai, ketiga mengalir ke luar negeri," katanya di Jakarta, Jumat (11/12/2015)

Selama ini, lanjut dia, pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Indonesia kebanyakan dilakukan oleh pihak asing. Mereka hanya mencari bahan mentah dari Indonesia.

"Mereka kan prinsipnya cari bahan mentah di negara berkembang yang harganya murah. Dan, kita kasih murah. Kita jual dalam bentuk tidak diolah. Jadi, tidak memberikan nilai tambah, kita ekspor begitu saja. Enggak ada nilai tambahnya. Bahkan kita yang membayar nilai tambah," katanya.

Jadi sampai sekarang pun Freeport itu tidak membuat sesuatu dalam bentuk apapun. Smelter untuk menjadikan bahan galian ‎menjadi bahan mutu standar pun tidak dilakukan. "Jadi prinsipnya begitu.‎ Mereka bikin dalam bentuk row material yang begitu saja, terus diolah di luar negeri, mereka yang mengindustrialisasikan," tandasnya.

Terkait pelepasan sebagian saham (divestasi) Freeport, Indonesia Resources Studies (IRESS) mengungkapkan, bahwa rencana lewat Initial Public Offering (IPO), tidak akan memutus rantai pemburu rente dalam sejarah di Tanah Air. Tradisi jelek di masa lalu pun tidak akan terhapus.

Direktur Eksekutif IRESS Marwan Batubara menuturkan, jika perusahaan tambang Amerika Serikat (AS) ini dibiarkan divestasi lewat IPO, maka saham yang dimiliki Indonesia tidak akan bertambah dan mentok di kisaran 9%. "Dengan kita biarkan (Freeport) IPO, maka saham kita tidak akan bertambah. Dan ini tidak eligible," katanya.

Marwan menyayangkan, sikap para pejabat di Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dalam hal ini Menteri ESDM Sudirman Said, yang mendukung langkah Freeport untuk divestasi lewat pelepasan saham perdana. "Masih pagi sekali tapi sudah diungkap oleh pejabat Kementerian ESDM. Ya jadi saya melihatnya tidak ada bedanya dengan masa lalu," imbuhnya.

Sehingga, lanjut Marwan, jika pemerintah benar-benar ingin memutus tradisi jelek di masa lalu maka jangan biarkan Freeport melakukan pelepasan saham lewat IPO. "Kita putus tradisi yang jelek, tapi kita tetap saja menerima apa yang sudah ada di-MoU. Divestasi ingin IPO, smelter tidak dibangun Papua, ada kerusakan lingkungan tidak dibayar, ini saya khawatir tradisi masa lalu tetap ada," tegasnya.

Opsi lain dari divestasi sebagian saham Freeport adalah diambil oleh salah satu perusahaan BUMN, yakni PT Indonesia Asahan Aluminium (Persero) atau PT Aneka Tambang (Persero), sesuai dengan permintaan Menteri BUMN Rini Soemarno. Kementerian ESDM menyatakan akan segera merespons surat Menteri Rini, terkait rencana pencaplokan saham yang didivestasikan tersebut.

Menteri ESDM Sudirman Said mengatakan, pihaknya akan mengirim surat kepada Menteri BUMN agar bisa segera diputuskan secepatnya siapa di antara dua perusahaan pelat merah tersebut yang akan mengambil divestasi saham tambang emas di Papua tersebut.

"Kita akan kirim surat ke Menteri BUMN, supaya bisa diputuskan secepatnya siapa yang akan mengambil divestasi? Kita akan merespon surat yang kemarin semoga disiapkan segala sesuatunya," ujarnya di Gedung Ditjen Kelistrikan, Jakarta, Rabu (16/12/2015).

Mantan Bos Pindad ini menuturkan, Kementerian ESDM juga akan meminta Freeport untuk segera memberikan penawaran harga saham yang dilepasnya tersebut. "Kemudian kita sudah minta kepada Freeport untuk mengirim surat lagi, terkait dengan tahap penawaran divestasi. Termasuk angka minimal dari jumlah saham yang ingin didivestasikan," imbuhnya.

Menurut Sudirman, karena ini merupakan pengalaman baru bagi pemerintah, BUMN, dan Freeport, dirinya akan mendiskusikan terlebih dahulu persoalan divestasi Freeport ini dengan Menteri BUMN Rini Soemarno dan Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro.

"Ini kan pengalaman baru tentu ada persiapan-persiapan, makanya saya harus duduk dengan Menteri BUMN dan Menteri Keuangan untuk menentukan formula‎," tandasnya.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0897 seconds (0.1#10.140)