Status Hukum MEA

Sabtu, 16 Januari 2016 - 06:01 WIB
Status Hukum MEA
Status Hukum MEA
A A A
BANYAK pihak mengira pada 31 Desember 2015, Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) langsung terimplementasi di ASEAN, termasuk di Indonesia.

Apakah benar seperti itu? Saat ini belum ada suatu perjanjian internasional mengikat secara hukum bagi negara anggota ASEAN yang menyepakati MEA akan terbentuk pada 31 Desember 2015 atau di tahun 2015. Artinya apa? Tidak ada kewajiban secara hukum MEA wajib terbentuk atau berlaku di 31 Desember 2015 atau di tahun 2015. Pada awalnya rencana tahun terbentuknya MEA adalah pada 2020 (Declaration of ASEAN Concord II 2003).

Rencana tersebut direvisi menjadi 2015 pada Deklarasi Cebu 2007 dan Deklarasi Cetak Biru MEA 2007 serta dipertegas oleh antara lain Deklarasi Nay Pyi Taw 2014. Terakhir, pada Chairman’s Statement of the 27th ASEAN Summit 21 November 2015 disepakati secara formal MEA terbentuk pada 31 Desember 2015. Penting digarisbawahi deklarasi dan pernyataan ini tidak mengikat secara hukum pada anggota negara ASEAN.

Dalam ASEAN Charter yang mengikat secara hukum bagi seluruh negara ASEAN tidak disebutkan tanggal ataupun tahun MEA direncanakan terbentuk. Namun demikian, pada Pasal 1 ayat 5 ASEAN Charter memang dikatakan tujuan ASEAN adalah menciptakan pasar tunggal dengan konsep ”free flow” di mana barang, jasa, investasi, dan modal bergerak bebas di wilayah ASEAN.

Dengan konsep ini, ASEAN Charter mendukung fasilitasi pergerakan para pengusaha, profesional, dan pekerja. Melalui konsep ini diharapkan oleh ASEAN Charter akan menciptakan ekonomi ASEAN yang stabil dan makmur.
Terdapat sejumlah aspek penting yang harus diperhatikan terkait pembentukan dan pelaksanaan MEA yang status hukumnya masih lemah ini.

Pertama, apakah negara di ASEAN, termasuk Indonesia, secara sukarela melaksanakan MEA di negaranya masing-masing? Misalnya, apakah Indonesia secara sukarela membentuk peraturan dan kebijakan pro MEA tanpa menunggu suatu perjanjian internasional tertentu terkait MEA? Jika negara besar seperti Indonesia tidak secara sukarela melakukan poin pertama, MEA akan terhambat secara signifikan.

Indonesia adalah negara dengan populasi terbesar dan ekonomi terbesar di ASEAN. Tanpa Indonesia MEA akan pincang. Bayangkan saja populasi Indonesia sekitar 252 juta jiwa (PBB, 2015) atau sekitar 38% dari jumlah populasi ASEAN yang kabarnya sudah mencapai 622 juta jiwa (ASEAN Secretariat, 2015). Kedua, MEA sebetulnya secara langsung dan tidak langsung didukung oleh perjanjian internasional yang disepakati oleh negara-negara ASEAN.

Misalnya, ASEAN punya perjanjian mengenai bea cukai yang sudah berlaku secara hukum tahun 2014. ASEAN juga punya perjanjian mengenai pergerakan orang yang sampai saat ini belum berlaku. Jika negara anggota ASEAN membuat sejumlah perjanjian yang mendukung konsep MEA pada ASEAN Charter dan Cetak Biru MEA 2025 maka MEA akan menjadi mengikat secara hukum melalui perjanjian-perjanjian internasional tersebut.

Alternatifnya, bisa saja negara anggota ASEAN membentuk perjanjian internasional khusus mengenai MEA. Apabila hal ini akan dilakukan, perjanjian mengenai MEA harus menjadi suatu perjanjian hidup yang didukung oleh protokol-protokol serta Konferensi Para Pihak (Conference of the Parties/ COP) yang dapat melahirkan petunjuk pelaksanaan dari perjanjian maupun protokol tersebut.

Konsep ini sudah dilakukan di sejumlah perjanjian multilateral di bidang lingkungan hidup, misalnya terkait dengan perubahan iklim. Peran COP akan melengkapi ASEAN Economic Community Council yang sudah diatur dalam ASEAN Charter. Ketiga, jikapun poin kedua terwujud, implementasi teknisnya sangat tergantung dari negara anggota ASEAN. Misalnya, perjanjian internasional mengenai bea cukai tidak akan terlaksana di lapangan apabila Indonesia tidak membuat peraturan dan kebijakan pelaksana mengenai perjanjian internasional tersebut.

Tidak Bisa Menghindar

Ada atau tidaknya MEA, Indonesia tidak mungkin menutup diri dari arus globalisasi. Globalisasi bukan hal baru dan saat ini semakin kuat karena didukung teknologi yang semakin murah dan mudah diakses. Apabila Indonesia tidak siap, Indonesia akan terus dirugikan secara ekonomi oleh globalisasi. Hanya satu pilihan untuk Indonesia: Indonesia harus siap menghadapi MEA.

Oleh karena itu, meskipun sampai saat ini status MEA lemah secara hukum, bukan berarti Indonesia tidak mempersiapkan diri menghadapi cita-cita MEA seperti yang tercantum secara implisit di ASEAN Charter dan secara eksplisitpada Cetak Biru MEA 2025. Bagaimana dengan kondisi pelaksanaan bisnis di Indonesia?

Laporan Grup Bank Dunia dengan judul Doing Business 2016: Measuring Regulatory Quality and Efficiency menempatkan Indonesia pada peringkat ke-109 dalam hal kemudahan dalam melakukan bisnis. Sangat jauh sekali dengan Singapura yang menurut laporan tersebut duduk di peringkat ke-1.

Tercatat dalam laporan tersebut, Indonesia juga kalah dari Malaysia (ke-18), Thailand (ke-49), Brunei Darussalam (ke-84), Vietnam (ke-90), Filipina (ke-103) dan hanya unggul dari tiga negara, yaitu Kamboja (ke-127), Laos (ke-134), serta Myanmar (ke-167). Peringkat Indonesia diberikan berdasarkan sejumlah komponen di mana Laporan Grup Bank Dunia tersebut juga memberikan peringkat secara spesifik terhadap komponen tersebut.

Menurut laporan tersebut untuk memulai bisnis pertama kali, Indonesia duduk di peringkat ke-173, untuk perizinan konstruksi peringkat ke-107, mendapatkan listrik peringkat ke-46, pendaftaran properti peringkat ke-131, mendapatkan kredit peringkat ke-70, melindungi investor minoritas peringkat ke-88, pembayaran pajak peringkat ke-148, kegiatan ekspor-impor peringkat ke-105, pelaksanaan kontrak di mata hukum peringkat ke-170, dan menyelesaikan kepailitan peringkat ke-77.

Aspek hukum memegang peranan penting dalam menentukan peringkat ini karena erat kaitannya dengan proses perizinan dan proses hukum lainnya. Oleh karena itu, selain meningkatkan daya saing ekonomi, Indonesia juga wajib meningkatkan kepastian dan kemudahan hukum. Tanpa kepastian dan kemudahan hukum bukan hanya investor asing merasa tidak nyaman, investor dalam negeri juga terusik.

HANDA ABIDIN, SH, LLM, PHD
Ketua Program Studi Hukum Bisnis Podomoro University dan
PhD dari the University of Edinburgh Law School
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0776 seconds (0.1#10.140)