Pemerintah Dinilai Sengaja Tahan Harga BBM demi Tambal APBN
A
A
A
JAKARTA - Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara mengatakan, saat ini sebetulnya pemerintah untung banyak lewat penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) di tengah merosotnya harga minyak mentah dunia yang sempat menyentuh level di bawah USD30 per barel. Dia mengkhawatirkan keuntungan dari hasil jual BBM akan digunakan untuk menambal defisit APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara).
Dia menjelaskan defisit APBN 2015 memang besar sekitar Rp300 triliun. Dalam APBN asumsi untuk harga minyak dunia sebagai acuan harga BBM Indonesia disebutkan USD50-USD60 per barel. Sedangkan saat ini harga minyak dunia sudah di bawah itu.
"Jika pemerintah tidak turunkan harga BBM, maka saya khawatir dana ini akan digunakan untuk menambal defisit APBN kemarin. Biaya yang seharusnya turun, malah naik. Ini jelas pemerintah tidak bisa mengelola," jelasnya di Gedung Dewan Pers Jakarta, Minggu (24/1/2016).
(Baca Juga: Pertamina Dituding Tahan Harga BBM Saat Minyak Dunia Ambruk)
Menurutnya yang jadi kekhawatiran juga dalam kondisi APBN yang sudah tertekan, harga BBM ke masyarakat tidak diturunkan dan keuntungan disimpan untuk jadi dana stabilisasi namun pemerintah tidak berusaha transparan.
"Dana stabilisasi itu, kalau tidak transparan takutnya diselewengkan. Disini sebenarnya jadi tidak adil, karena masyarakat dibebankan untuk sesuatu yang seharusnya tidak mereka keluarkan, misalnya membantu nambal defisit APBN yang begitu besar," sambungnya.
(Baca Juga: Soal Harga BBM, Pertamina Disebut Tak Terbuka)
Diterangkan fakta yang terjadi dari sisi pajak, untungnya hanya 82%, kemudian untuk penerimaan migas (minyak dan gas) sekitar 60 sampai 70% ditambah cost recovery naik sehingga defisit makin besar. Menurutnya ini dijadikan kedok pemerintah untuk tidak menurunkan harga BBM.
"Ada kesempatan menjual harga BBM yang tidak diturunkan. Ini dipakai untuk menambal dan untuk dana stabilisasi yang kita tidak tahu transparan atau tidak. Tapi kita harap tidak seperti itu. Kita mau supaya transparan dalam menghitung harga BBM dan savingnya dipakai untuk menolong masyarakat saat harga minyak dunia naik," pungkasnya.
Dia menjelaskan defisit APBN 2015 memang besar sekitar Rp300 triliun. Dalam APBN asumsi untuk harga minyak dunia sebagai acuan harga BBM Indonesia disebutkan USD50-USD60 per barel. Sedangkan saat ini harga minyak dunia sudah di bawah itu.
"Jika pemerintah tidak turunkan harga BBM, maka saya khawatir dana ini akan digunakan untuk menambal defisit APBN kemarin. Biaya yang seharusnya turun, malah naik. Ini jelas pemerintah tidak bisa mengelola," jelasnya di Gedung Dewan Pers Jakarta, Minggu (24/1/2016).
(Baca Juga: Pertamina Dituding Tahan Harga BBM Saat Minyak Dunia Ambruk)
Menurutnya yang jadi kekhawatiran juga dalam kondisi APBN yang sudah tertekan, harga BBM ke masyarakat tidak diturunkan dan keuntungan disimpan untuk jadi dana stabilisasi namun pemerintah tidak berusaha transparan.
"Dana stabilisasi itu, kalau tidak transparan takutnya diselewengkan. Disini sebenarnya jadi tidak adil, karena masyarakat dibebankan untuk sesuatu yang seharusnya tidak mereka keluarkan, misalnya membantu nambal defisit APBN yang begitu besar," sambungnya.
(Baca Juga: Soal Harga BBM, Pertamina Disebut Tak Terbuka)
Diterangkan fakta yang terjadi dari sisi pajak, untungnya hanya 82%, kemudian untuk penerimaan migas (minyak dan gas) sekitar 60 sampai 70% ditambah cost recovery naik sehingga defisit makin besar. Menurutnya ini dijadikan kedok pemerintah untuk tidak menurunkan harga BBM.
"Ada kesempatan menjual harga BBM yang tidak diturunkan. Ini dipakai untuk menambal dan untuk dana stabilisasi yang kita tidak tahu transparan atau tidak. Tapi kita harap tidak seperti itu. Kita mau supaya transparan dalam menghitung harga BBM dan savingnya dipakai untuk menolong masyarakat saat harga minyak dunia naik," pungkasnya.
(akr)