Bank Dunia: Ekonomi RI 2016 Tergantung Investasi Swasta
A
A
A
JAKARTA - Dalam laporan Bank Dunia bertajuk Indonesia Economic Quarterly edisi Maret 2016 mengemukakan bahwa kehadiran investasi swasta sangat diperlukan untuk mendongkrak ekonomi Indonesia.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A Chaves mengatakan, belanja pemerintah untuk infrastruktur telah mendorong pertumbuhan bergerak perlahan, diperkirakan mencapai 5,1% untuk 2016.
Namun, pertumbuhan pendapatan yang lebih lemah dari yang diperkirakan dan terus menurunnya harga komoditas menimbulkan risiko bagi kelangsungan investasi pemerintah. Karena itu, kehadiran investasi swasta sangat diperlukan untuk perbaikan ekonomi.
"Indonesia masih menikmati angka pertumbuhan yang rata-rata lebih tinggi dari kebanyakan negara pengekspor komoditas lain, akibat melambatnya pertumbuhan global. Tapi pertumbuhan di bawah 6% tidak cukup untuk menampung 3 juta anak muda Indonesia yang memasuki pasar kerja setiap tahunnya," kata dia dalam siaran pers yang diterima Sindonews di Jakarta, Selasa (15/3/2016).
Menurutnya, perbaikan ekonomi yang lebih tangguh butuh investasi swasta yang kuat dan reformasi kebijakan yang komprehensif dan keberlanjutan guna memperbaiki iklim usaha. "Investasi oleh pemerintah pusat bertambah pada 2015 sebesar 42%. Sebaliknya, pertumbuhan investasi sektor swasta tetap di bawah harapan," ujarnya.
Sementara, belanja konsumen bertumbuh namun tidak secepat beberapa tahun lalu, seiring tingginya inflasi harga makanan memangkas belanja. Volume ekspor dan impor terus menurun, dan pendapatan ekspor berkurang 14,4% dari angka 2014. Pendapatan minyak dan gas berkurang 42% tahun per tahun (year on year), pendapatan batu bara berkurang 26,5% dan pendapatan minyak sawit berkurang 19,3%.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop menambahkan, penurunan harga komoditas yang terus terjadi mengingatkan pentingnya diversifikasi ekonomi menuju sektor manufaktur dan jasa. Khususnya pariwisata, yang dapat menyediakan pekerjaan dengan gaji dan ketrampilan yang lebih tinggi.
Meski demikian, sektor manufaktur juga ikut terkena imbasnya, dengan ekspor menurun di angka 13,4% per tahun, dan pembangunan infrastruktur untuk pariwisata tidak memadai.
"Indonesia punya banyak industri yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan, termasuk manufaktur. Tapi sektor-sektor ini menghadapi banyak tantangan regulasi. Pemerintah tengah menjalankan berbagai reformasi dalam enam bulan terakhir ini. Namun, beberapa langkah tambahan mungkin dapat meyakinkan para investor dan memperkuat upaya investasi," tandasnya.
Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia Rodrigo A Chaves mengatakan, belanja pemerintah untuk infrastruktur telah mendorong pertumbuhan bergerak perlahan, diperkirakan mencapai 5,1% untuk 2016.
Namun, pertumbuhan pendapatan yang lebih lemah dari yang diperkirakan dan terus menurunnya harga komoditas menimbulkan risiko bagi kelangsungan investasi pemerintah. Karena itu, kehadiran investasi swasta sangat diperlukan untuk perbaikan ekonomi.
"Indonesia masih menikmati angka pertumbuhan yang rata-rata lebih tinggi dari kebanyakan negara pengekspor komoditas lain, akibat melambatnya pertumbuhan global. Tapi pertumbuhan di bawah 6% tidak cukup untuk menampung 3 juta anak muda Indonesia yang memasuki pasar kerja setiap tahunnya," kata dia dalam siaran pers yang diterima Sindonews di Jakarta, Selasa (15/3/2016).
Menurutnya, perbaikan ekonomi yang lebih tangguh butuh investasi swasta yang kuat dan reformasi kebijakan yang komprehensif dan keberlanjutan guna memperbaiki iklim usaha. "Investasi oleh pemerintah pusat bertambah pada 2015 sebesar 42%. Sebaliknya, pertumbuhan investasi sektor swasta tetap di bawah harapan," ujarnya.
Sementara, belanja konsumen bertumbuh namun tidak secepat beberapa tahun lalu, seiring tingginya inflasi harga makanan memangkas belanja. Volume ekspor dan impor terus menurun, dan pendapatan ekspor berkurang 14,4% dari angka 2014. Pendapatan minyak dan gas berkurang 42% tahun per tahun (year on year), pendapatan batu bara berkurang 26,5% dan pendapatan minyak sawit berkurang 19,3%.
Ekonom Utama Bank Dunia untuk Indonesia Ndiame Diop menambahkan, penurunan harga komoditas yang terus terjadi mengingatkan pentingnya diversifikasi ekonomi menuju sektor manufaktur dan jasa. Khususnya pariwisata, yang dapat menyediakan pekerjaan dengan gaji dan ketrampilan yang lebih tinggi.
Meski demikian, sektor manufaktur juga ikut terkena imbasnya, dengan ekspor menurun di angka 13,4% per tahun, dan pembangunan infrastruktur untuk pariwisata tidak memadai.
"Indonesia punya banyak industri yang dapat meningkatkan laju pertumbuhan, termasuk manufaktur. Tapi sektor-sektor ini menghadapi banyak tantangan regulasi. Pemerintah tengah menjalankan berbagai reformasi dalam enam bulan terakhir ini. Namun, beberapa langkah tambahan mungkin dapat meyakinkan para investor dan memperkuat upaya investasi," tandasnya.
(izz)