Ini Tanggapan Indef Terkait Penurunan Neraca Perdagangan
A
A
A
JAKARTA - Ekonom Indef Dzulfian Syafrian mengungkapkan penyebab utama penurunan neraca perdagangan Indonesia masih disebabkan rendahnya harga minyak dunia yang anjlok di kisaran USD30-40 per barel. Pemerintah diingatkan jangan terlalu gembira dengan suplus neraca perdagangan karena lebih disebabkan faktor eksternal.
"Impor migas pasti turun secara nilai akibat anjloknya harga minyak dunia ini, hanya saja jika dilihat lebih dalam dan detil, volume impor biasanya tidak berubah sesignifikan nilai ekspor/impor," ujar Dzulfian, Selasa (15/3/2016).
Bahkan, pada Februari 2016 volume impor migas mengalami kenaikan sebesar 1,72% dibanding bulan sebelumnya, meskipun secara nilai mengalami penurunan 8,79% dari USD1,22 miliar menjadi USD1,11 miliar.
Menurutnya, data ini justru mengkhawatirkan karena mengkonfirmasi bahwa kondisi (surplus/defisit) neraca perdagangan Indonesia masih sangat bergantung pada impor migas. Kemudian konsumsi masyarakat terhadap migas masih tinggi dan terus tumbuh sehingga ketika harga minyak nanti merangkak naik maka neraca perdagangan kita akan terancam defisit kembali.
"Penurunan harga minyak seperti saat ini sebenarnya adalah peluang besar bagi Indonesia. Negara-negara net pengimpor minyak (net importer countries) seperti Indonesia sangat lah diuntungkan dengan anjloknya harga minyak dunia," jelas Dzulfian.
Selain membuat neraca perdagangan menjadi surplus yang bisa membantu stabilisasi rupiah, penurunan harga minyak juga merupakan insentif bagi dunia usaha karena ongkos produksi menjadi lebih rendah, bonus dari turunnya harga minyak dan enegi secara keseluruhan.
Namun, penurunan harga minyak juga membuat penerimaan negara (APBN) menjadi lebih sulit. Pos penerimaan dari migas drop secara signifikan. "Karena itu, pemerintah harus mencari alternatif penerimaan, salah satu yang utama adalah dengan terus menggenjot dan mengoptimalisasi penerimaan perpajakan karena tax ratio kita masih sangat rendah. Apalagi jika kita bandingkan dengan negara-negara tetangga," terangnya.
Selain itu, menurut Dzulfian, penurunan harga minyak juga akan menghambat berkembangan energi-energi alternatif dan terbaharukan (alternative and renewable energies), seperti biofuel, biodiesel, dan lainnya, karena energi alternatif akan kalah bersaing selama harga minyak masih terjangkau. Meskipun secara month-to-month kinerja ekspor Indonesia pada Februari 2016 mengalami kenaikan dibanding bulan sebelumnya, namun secara kumulatif ekspor Indonesia pada Januari-Februari 2016 masih lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu.
Sementara jika melihat data ekspor, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih atas turunnya Ekspor nonmigas. "Hal ini menjadi lampu kuning bagi pemerintah karena memang permintaan ekspor barang-barang kita masih lemah karena perekonomian dunia belum pulih," beber Dzulfian.
Bahkan, dunia sekarang sedang gencar melakukan perang mata uang "currency war" guna mendongkrak ekspor dan perekomian mereka yang terancam resesi. "Jika hal ini terus terjadi, baik ekspor migas dan nonmigas kita akan semakin terpukul. Solusi untuk mencari pasar alternatif dan diversifikasi pasar menjadi agenda mendesak pemerintah," terangnya.
Namun, nilai impor golongan bahan baku/penolong dan barang modal (impor produktif) selama Januari–Februari 2016 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing sebesar hampir 20% dan 12,62%. Di sisi lain, impor golongan barang konsumsi (impor konsumtif) justru meningkat 34,38%.
Dia mengungkapkan, data ini mengindikasikan terus melemahnya produksi industri nasional yang ditunjukkan oleh penurunan impor bahan baku, penolong serta barang modal karena Industri Indonesia sangat bergantung barang-barang impor dalam proses produksinya. Namun, di sisi lain, Indonesia terus menjadi Negara yang konsumtif atas barang-barang impor yang ditunjukkan oleh data naiknya impor barang konsumsi. "Tren ini sungguh sangat mengkhawatirkan bagi perekonomian nasional dan wajib mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk sesegara mungkin membenahi struktur perekonomian kita," tandas Dzulfian.
"Impor migas pasti turun secara nilai akibat anjloknya harga minyak dunia ini, hanya saja jika dilihat lebih dalam dan detil, volume impor biasanya tidak berubah sesignifikan nilai ekspor/impor," ujar Dzulfian, Selasa (15/3/2016).
Bahkan, pada Februari 2016 volume impor migas mengalami kenaikan sebesar 1,72% dibanding bulan sebelumnya, meskipun secara nilai mengalami penurunan 8,79% dari USD1,22 miliar menjadi USD1,11 miliar.
Menurutnya, data ini justru mengkhawatirkan karena mengkonfirmasi bahwa kondisi (surplus/defisit) neraca perdagangan Indonesia masih sangat bergantung pada impor migas. Kemudian konsumsi masyarakat terhadap migas masih tinggi dan terus tumbuh sehingga ketika harga minyak nanti merangkak naik maka neraca perdagangan kita akan terancam defisit kembali.
"Penurunan harga minyak seperti saat ini sebenarnya adalah peluang besar bagi Indonesia. Negara-negara net pengimpor minyak (net importer countries) seperti Indonesia sangat lah diuntungkan dengan anjloknya harga minyak dunia," jelas Dzulfian.
Selain membuat neraca perdagangan menjadi surplus yang bisa membantu stabilisasi rupiah, penurunan harga minyak juga merupakan insentif bagi dunia usaha karena ongkos produksi menjadi lebih rendah, bonus dari turunnya harga minyak dan enegi secara keseluruhan.
Namun, penurunan harga minyak juga membuat penerimaan negara (APBN) menjadi lebih sulit. Pos penerimaan dari migas drop secara signifikan. "Karena itu, pemerintah harus mencari alternatif penerimaan, salah satu yang utama adalah dengan terus menggenjot dan mengoptimalisasi penerimaan perpajakan karena tax ratio kita masih sangat rendah. Apalagi jika kita bandingkan dengan negara-negara tetangga," terangnya.
Selain itu, menurut Dzulfian, penurunan harga minyak juga akan menghambat berkembangan energi-energi alternatif dan terbaharukan (alternative and renewable energies), seperti biofuel, biodiesel, dan lainnya, karena energi alternatif akan kalah bersaing selama harga minyak masih terjangkau. Meskipun secara month-to-month kinerja ekspor Indonesia pada Februari 2016 mengalami kenaikan dibanding bulan sebelumnya, namun secara kumulatif ekspor Indonesia pada Januari-Februari 2016 masih lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu.
Sementara jika melihat data ekspor, pemerintah perlu memberikan perhatian lebih atas turunnya Ekspor nonmigas. "Hal ini menjadi lampu kuning bagi pemerintah karena memang permintaan ekspor barang-barang kita masih lemah karena perekonomian dunia belum pulih," beber Dzulfian.
Bahkan, dunia sekarang sedang gencar melakukan perang mata uang "currency war" guna mendongkrak ekspor dan perekomian mereka yang terancam resesi. "Jika hal ini terus terjadi, baik ekspor migas dan nonmigas kita akan semakin terpukul. Solusi untuk mencari pasar alternatif dan diversifikasi pasar menjadi agenda mendesak pemerintah," terangnya.
Namun, nilai impor golongan bahan baku/penolong dan barang modal (impor produktif) selama Januari–Februari 2016 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya masing-masing sebesar hampir 20% dan 12,62%. Di sisi lain, impor golongan barang konsumsi (impor konsumtif) justru meningkat 34,38%.
Dia mengungkapkan, data ini mengindikasikan terus melemahnya produksi industri nasional yang ditunjukkan oleh penurunan impor bahan baku, penolong serta barang modal karena Industri Indonesia sangat bergantung barang-barang impor dalam proses produksinya. Namun, di sisi lain, Indonesia terus menjadi Negara yang konsumtif atas barang-barang impor yang ditunjukkan oleh data naiknya impor barang konsumsi. "Tren ini sungguh sangat mengkhawatirkan bagi perekonomian nasional dan wajib mendapat perhatian khusus dari pemerintah untuk sesegara mungkin membenahi struktur perekonomian kita," tandas Dzulfian.
(dmd)