Penyebab Harga Pangan Tak Ikuti Penurunan Harga BBM
A
A
A
JAKARTA - Badan Pusat Statistik (BPS) menuturkan ada beberapa hal yang menyebabkan harga pangan tidak turun pada saat pemerintah menurunkan harga bahan bakar minyak (BBM). Salah satunya karena masyarakat membutuhkan pangan dalam kondisi segar.
"Di sentra-sentra produksi, mereka enggak mampu memenuhi semua wilayah dalam waktu cepat, jadi kesegarannya berkurang. Misalnya cabai, orang-orang senangnya segar, kebutuhannya sangat tinggi. Beda cerita kalau dialihkan ke botol, akan lebih gampang mengatur harganya," jelas Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo di Jakarta, Jumat (1/4/2016).
Selain itu, kondisi sektor pangan di Indonesia sifatnya musiman, baik beras, cabai, bawang, dan lainnya. Bahkan sampai sekarang belum ada solusi produksi pangan dengan jumlah besar dan ditahan sampai musim panen berakhir.
"Nah, itu yang harus bisa mencari solusi. Bagaimana pun caranya lewat teknologi atau sebagainya," ujar dia. (Baca: Harga BBM Premium Turun Jadi Rp6.450/Liter, Solar Rp5.150/Liter)
Selain itu, masalah rantai distribusi, misalnya cabai harus melewati 8 titik. Yaitu dari petani di bawa ke pedagang pengepul lalu disalurkan ke distributor dan berlanjut ke sub distributor. Titik seterusnya adalah agen yang bisa diteruskan ke sub agen dan pedagang grosir.
Sampai ke pedagang grosir diteruskan ke pengecer, baru disebar ke rumah tangga dan kegiatan usaha lainnya. Bahkan, dari pedagang grosir juga bisa ke supermarket untuk dijual ke rumah tangga.
"Distribusi ini terlalu panjang, kalau distribusi lancar akan mendorong harga lebih rendah dan mengurangi pengendalian harga pada titik-titik tertentu," pungkasnya.
"Di sentra-sentra produksi, mereka enggak mampu memenuhi semua wilayah dalam waktu cepat, jadi kesegarannya berkurang. Misalnya cabai, orang-orang senangnya segar, kebutuhannya sangat tinggi. Beda cerita kalau dialihkan ke botol, akan lebih gampang mengatur harganya," jelas Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS Sasmito Hadi Wibowo di Jakarta, Jumat (1/4/2016).
Selain itu, kondisi sektor pangan di Indonesia sifatnya musiman, baik beras, cabai, bawang, dan lainnya. Bahkan sampai sekarang belum ada solusi produksi pangan dengan jumlah besar dan ditahan sampai musim panen berakhir.
"Nah, itu yang harus bisa mencari solusi. Bagaimana pun caranya lewat teknologi atau sebagainya," ujar dia. (Baca: Harga BBM Premium Turun Jadi Rp6.450/Liter, Solar Rp5.150/Liter)
Selain itu, masalah rantai distribusi, misalnya cabai harus melewati 8 titik. Yaitu dari petani di bawa ke pedagang pengepul lalu disalurkan ke distributor dan berlanjut ke sub distributor. Titik seterusnya adalah agen yang bisa diteruskan ke sub agen dan pedagang grosir.
Sampai ke pedagang grosir diteruskan ke pengecer, baru disebar ke rumah tangga dan kegiatan usaha lainnya. Bahkan, dari pedagang grosir juga bisa ke supermarket untuk dijual ke rumah tangga.
"Distribusi ini terlalu panjang, kalau distribusi lancar akan mendorong harga lebih rendah dan mengurangi pengendalian harga pada titik-titik tertentu," pungkasnya.
(izz)