Menanti Pajak Orang-orang dalam Panama Papers
A
A
A
MASYARAKAT dunia baru-baru ini digegerkan dengan tersiarnya data dari firma hukum Mossack Fonseca yang bermarkas di Panama terkait nama-nama orang yang terlibat dalam skandal yang disebut "The Panama Papers". Bahkan, skandal tersebut juga menyeret sekitar 2.961 orang Indonesia yang terkenal dan familiar di Tanah Air.
Panama Papers merupakan dokumen rahasia yang memuat daftar klien besar di dunia, yang diduga menginginkan uang mereka tersembunyi dari endusan pajak di negaranya. Dalam dokumen tersebut, terdapat nama politisi, bintang olahraga, politisi, dan selebriti yang menyimpan uang mereka di perusahaan-perusahaan luar negeri untuk menghindari pajak.
Atas bocornya dokumen tersebut, Mossack Fonseca mengklaim telah menjadi korban hacker (peretas). Di mana Panama Papers mengungkap 11,5 juta rekaman dalam rentang hingga 40 tahun lamanya, melibatkan 214.000 entitas offshore, 500 bank berskala internasional, serta individu dan perusahaan di 200 negara seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Jutaan dokumen itu juga memuat mengenai individu dan entitas bisnis yang memanfaatkan perusahaan offshore untuk menghindari pajak dan melakukan pencucian uang. Beberapa taipan dan pebisnis mendirikan perusahaan dengan tujuan tertentu atau special purpose vihicle (SPV) di negara surga pajak (tax heaven).
Dilansir dari Reuters, Rabu (6/4/2016), founding partner Ramon Fonseca mengatakan, firma Mossack Fonseca, yang mengkhususkan diri mendirikan perusahaan offshore mengklaim tidak melanggar hukum dan menyatakan semua yang dilakukan adalah legal. Dia menjelaskan, pihaknya belum pernah menghancurkan dokumen atau membantu siapa pun menghindari pajak atau pencucian uang.
Menurutnya, email perusahaan yang ekstraknya diterbitkan dalam investigasi oleh International Consortium of Investigate Journalist (ICIJ) dan organisasi media lainnya, diambil di luar konteks dan disalahartikan.
Namun, bocornya dokumen rahasia dari firma hukum itu telah menyebabkan kemarahan publik atas bagaimana orang kaya di dunia serta berkuasa mampu menyimpan kekayaan mereka, bahkan menghindari pajak.
Menanggapi hal itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menugaskan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro untuk mempelajari skandal Panama Papers yang menyeret beberapa individu dan perusahaan di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan Presiden lewat Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi Sapta Pribowo.
"Sudah ada statement Presiden kemarin di Papua, soal Panama Papers bahwa itu tentu dipelajari dulu apakah ada kaitannya dengan upaya pemerintah untuk membuat tax amnesty (pengampunan pajak). Jadi diminta kepada Kemenkeu untuk mengkaji itu," ujarnya, di Gedung Utama Kementerian Sekretaris Negara, Jakarta, Kamis (7/4/2016).
Sementara itu, Menkeu Bambang mengatakan, beberapa nama yang masuk dalam dokumen Panama Papers, merupakan nama yang sudah ada di Badan Intelijen Negara (BIN) serta sumber data yang lebih valid. Data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bukan dari Panama Papers.
"Data sementara yang kami miliki mengenai rekening Indonesia di luar negeri itu, bukan dari Panama Paper, kami punya intelijen dan sumber sendiri yang valid, tax authority atau Dirjen Pajak di negara G-20," ujarnya.
Data Panama itu, lanjut dia, akan dijadikan complient oleh Kementerian Keuangan, karena data yang dimiliki sekarang belum semua data baru dan hanya terbatas beberapa negara serta bank, belum bisa menyentuh otoritas beberapa negara.
Data yang dimiliki oleh DJP saat ini, membuktikan bahwa banyak orang Indonesia yang membuat special purpose vehicle di berbagai tax havens, negara- negara yang melindungi pelaku pajaknya.
"Dari data yang kami miliki, banyak orang Indonesia yang buat special purpose vehicle di berbagai tax havens. Tax haven-nya itu ada di negara yang tidak kenakan pajak. Kan enggak mungkin negara seperti AS, Italia jadi tax havens, mau menyejahterakan negaranya dengan apa?" jelasnya.
Didesak Usut Tuntas
Pemerintah didesak mengusut dan menelusuri terkait perusahaan-perusahaan yang didirikan untuk tujuan pencucian uang hasil korupsi, narkoba, atau kejahatan terorganisir lainnya yang ada dalam daftar dokumen Panama Papers. Wakil Ketua DPR, Fadli Zon mengatakan sebaiknya pemerintah segera membentuk tim kerja khusus menanggapi skandal Panama Papers ini.
"Bocornya dokumen ini yang jelas harus dimanfaatkan untuk upaya penegakan hukum, baik di bidang perpajakan, potensi tindak pidana korupsi, atau dana haram narkoba. Ini yang harus diusut oleh pemerintah," ujarnya, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (7/4/2016).
Fadli Zon memandang terbongkarnya atau sengaja dibongkarnya dokumen Panama Papers bisa dibaca sebagai bagian dari agenda banyak negara menarik dana yang lari ke luar negeri. "Sesudah krisis finansial 2008, pemimpin negara-negara G-20 berusaha untuk menutup defisit fiskal akibat krisis, mereka berusaha memaksimalkan pajak, termasuk dengan mengejar kekayaan warganya yang disembunyikan di luar negeri," jelasnya.
Dari sisi pajak, lanjut dia, setiap negara harus mengoptimalkan penerimaan negara terutama dari para wajib pajak kelas kakap. "Dan di titik ini, pemerintah Indonesia juga seharusnya bisa ikut mengambil keuntungan dari bocornya dokumen itu, terutama untuk menghitung kembali potensi penerimaan negara dan menutup celah regulasi perpajakan. Jangan hanya wajib pajak kecil-kecil yang dikejar pemerintah," katanya.
Namun, terang Fadli Zon, pemerintah harus melakukan verifikasi lebih dulu dan berhati-hati. Sebab, pendirian badan legal special purpose vehicle di negara-negara tax haven tidak serta merta bisa dianggap ilegal.
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Misbakhun memandang terungkapnya dokuman Panama Papars sebagai bukti banyak orang tidak rela membayar pajak tinggi. Menurutnya hal itu merupakan cara untuk menghindari kewajiban membayar pajak besar dengan tujuan menjaga laba perusahaan agar tidak habis.
"Ini menjadi bukti nyata bahwa orang tidak rela bayar pajak secara sadar jika pajaknya tinggi. Maka dari itu ada yang namanya offshore transaction, special purpose vehicle, tax haven dan lainnya," jelas Misbakhun.
Dia menyebutkan para individu itu mencoba menghindari kewajiban perpajakan tinggi di negara-negara asal mereka untuk kemudian mencari negara yang memberlakukan pajak rendah. "Jadi untuk menghindari perpajakan dan aturan perpajakan dengan tarif yang tinggi kemudian mereka cari tarif pajak yang rendah, itu dibolehkan. Penghindaran itu hanya melanggar sisi etis," kata Misbakhun.
Dia memandang skandal Panama Papers berbeda dengan penggelapan pajak karena sifatnya yang tidak melanggar hukum. Beda dengan kasus penggelapan di mana petugas pajak bisa melakukan proses pemeriksaan.
"Karena prinsip perpajakan kita adalah bukan mempidanakan orang, tapi membayar. Dan kalau ada sisi penggelapan, itu dendanya harus dibayar dalam jumlah sangat besar," katanya.
Momentum Tax Amnesty
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menuturkan, dari nama-nama warga negara Indonesia disebutkan terkonfirmasi kebenarannya telah melakukan aktivitas di Mossack Fonseca. "Data (Panama Papers) ini sudah ada sejak dua tahun lalu. Data pemerintah dibanding Panama Papers sebenarnya lebih lengkap," ujarnya.
Menurut Pramono, terungkapnya dokumen Panama Papers dianggap menguntungkan pemerintah. Sebab, sebelum dokumen itu terungkap ke publik, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah lebih dulu mengusulkan tax amnesty atau pengampunan pajak.
"Karena itu, pemerintah berharap DPR melakukan pembahasan (tax amnesty) selesai masa sidang ini atau paling lama selesai masa sidang berikutnya. Harapannya Juni sudah selesai," kata Pramono.
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengatakan, data Panama Papers membuka sebagian data wajib pajak dan teridentifikasi melakukan kegiatan usaha menggunakan special purpose vehicle (SPV) dapat digunakan untuk memanfaatkan tax treaty (persetujuan penghindaran pajak berganda/P3B). Usia SPV bisa bertahun-tahun dan tidak ada masa kedaluwarsa.
Eddy mengetahui hal tersebut karena pernah bekerja sekitar 20 tahun di sejumlah bank dan perusahaan keuangan dunia. Misalnya, di Jardine Fleming & Co Ltd, American Express, Credit Lyonnais, ABN Amro, HSBC, dan Merrill Lynch. Karena profesi tersebut, tak jarang dia bersentuhan dan berhubungan dengan aktivitas transaksi yang melibatkan SPV.
Penggunaan SPV di luar negeri terutama di negara-negara surga pajak (tax haven) meringankan dari sisi perpajakan. Namun, pendirian SPV tidak serta merta ditujukan untuk tujuan penggelapan pajak. “Jika penggunaan SPV dibarengi dengan tax planning, beban pajak bisa berkurang dari 20% menjadi 10% atau bahkan 0%,” terangnya.
Dia mengingatkan bahwa Panama Papers sekadar "membuka tabir" atas individu atau perseroan yang melakukan kegiatan usaha dengan menggunakan SPV asing. Data tersebut hanya sebagai data dan temuan awal untuk mendalami kegiatan usaha warga negara atau unit usaha Indonesia yang menggunakan kendaraan usaha di luar negeri.
Panama Papers tidak membuka informasi substansial terkait jenis usaha, transaksi, dana yang dinikmati atau digunakan untuk transaksi maupun usaha atau pajak yang dielakkan melalui pemakaian SPV tersebut. “Untuk mengetahui hal-hal yang substansial secara mendalam, tentunya membutuhkan putusan pengadilan, apalagi jika hal ini menyangkut informasi perbankan,” kata Eddy.
Mengingat momentum yang bagus tersebut, Eddy mendorong RUU Tax Amnesty segera dibahas dan dituntaskan DPR. Bagaimana pun juga regulasi tax amnesty tetap diperlukan sebagai salah satu solusi penyelesaian data pajak dan kewajiban pajak.
Pertimbangannya Panama Papers hanya memberikan gambaran umum dan bukan informasi detail. Selain itu, Panama Papers hanya membeberkan info tentang individu atau perusahaan yang mendirikan usaha di Panama melalui Mossack Fonseca.
Dia berkeyakinan masih ada ratusan bahkan ribuan perusahaan serupa di yurisdiksi tax haven lain yang belum diidentifikasi. “Kehadiran UU Tax Amnesty menjadi berharga untuk menjadi jalan tengah dan solusi atas temuan data Panama Papers maupun data-data lain yang ada di luar negeri. Tax amnesty memberi kepastian hukum bagi wajib pajak,” jelasnya.
Panama Papers merupakan dokumen rahasia yang memuat daftar klien besar di dunia, yang diduga menginginkan uang mereka tersembunyi dari endusan pajak di negaranya. Dalam dokumen tersebut, terdapat nama politisi, bintang olahraga, politisi, dan selebriti yang menyimpan uang mereka di perusahaan-perusahaan luar negeri untuk menghindari pajak.
Atas bocornya dokumen tersebut, Mossack Fonseca mengklaim telah menjadi korban hacker (peretas). Di mana Panama Papers mengungkap 11,5 juta rekaman dalam rentang hingga 40 tahun lamanya, melibatkan 214.000 entitas offshore, 500 bank berskala internasional, serta individu dan perusahaan di 200 negara seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Jutaan dokumen itu juga memuat mengenai individu dan entitas bisnis yang memanfaatkan perusahaan offshore untuk menghindari pajak dan melakukan pencucian uang. Beberapa taipan dan pebisnis mendirikan perusahaan dengan tujuan tertentu atau special purpose vihicle (SPV) di negara surga pajak (tax heaven).
Dilansir dari Reuters, Rabu (6/4/2016), founding partner Ramon Fonseca mengatakan, firma Mossack Fonseca, yang mengkhususkan diri mendirikan perusahaan offshore mengklaim tidak melanggar hukum dan menyatakan semua yang dilakukan adalah legal. Dia menjelaskan, pihaknya belum pernah menghancurkan dokumen atau membantu siapa pun menghindari pajak atau pencucian uang.
Menurutnya, email perusahaan yang ekstraknya diterbitkan dalam investigasi oleh International Consortium of Investigate Journalist (ICIJ) dan organisasi media lainnya, diambil di luar konteks dan disalahartikan.
Namun, bocornya dokumen rahasia dari firma hukum itu telah menyebabkan kemarahan publik atas bagaimana orang kaya di dunia serta berkuasa mampu menyimpan kekayaan mereka, bahkan menghindari pajak.
Menanggapi hal itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) menugaskan Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro untuk mempelajari skandal Panama Papers yang menyeret beberapa individu dan perusahaan di Indonesia. Pernyataan ini disampaikan Presiden lewat Staf Khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi Sapta Pribowo.
"Sudah ada statement Presiden kemarin di Papua, soal Panama Papers bahwa itu tentu dipelajari dulu apakah ada kaitannya dengan upaya pemerintah untuk membuat tax amnesty (pengampunan pajak). Jadi diminta kepada Kemenkeu untuk mengkaji itu," ujarnya, di Gedung Utama Kementerian Sekretaris Negara, Jakarta, Kamis (7/4/2016).
Sementara itu, Menkeu Bambang mengatakan, beberapa nama yang masuk dalam dokumen Panama Papers, merupakan nama yang sudah ada di Badan Intelijen Negara (BIN) serta sumber data yang lebih valid. Data yang dimiliki Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bukan dari Panama Papers.
"Data sementara yang kami miliki mengenai rekening Indonesia di luar negeri itu, bukan dari Panama Paper, kami punya intelijen dan sumber sendiri yang valid, tax authority atau Dirjen Pajak di negara G-20," ujarnya.
Data Panama itu, lanjut dia, akan dijadikan complient oleh Kementerian Keuangan, karena data yang dimiliki sekarang belum semua data baru dan hanya terbatas beberapa negara serta bank, belum bisa menyentuh otoritas beberapa negara.
Data yang dimiliki oleh DJP saat ini, membuktikan bahwa banyak orang Indonesia yang membuat special purpose vehicle di berbagai tax havens, negara- negara yang melindungi pelaku pajaknya.
"Dari data yang kami miliki, banyak orang Indonesia yang buat special purpose vehicle di berbagai tax havens. Tax haven-nya itu ada di negara yang tidak kenakan pajak. Kan enggak mungkin negara seperti AS, Italia jadi tax havens, mau menyejahterakan negaranya dengan apa?" jelasnya.
Didesak Usut Tuntas
Pemerintah didesak mengusut dan menelusuri terkait perusahaan-perusahaan yang didirikan untuk tujuan pencucian uang hasil korupsi, narkoba, atau kejahatan terorganisir lainnya yang ada dalam daftar dokumen Panama Papers. Wakil Ketua DPR, Fadli Zon mengatakan sebaiknya pemerintah segera membentuk tim kerja khusus menanggapi skandal Panama Papers ini.
"Bocornya dokumen ini yang jelas harus dimanfaatkan untuk upaya penegakan hukum, baik di bidang perpajakan, potensi tindak pidana korupsi, atau dana haram narkoba. Ini yang harus diusut oleh pemerintah," ujarnya, dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (7/4/2016).
Fadli Zon memandang terbongkarnya atau sengaja dibongkarnya dokumen Panama Papers bisa dibaca sebagai bagian dari agenda banyak negara menarik dana yang lari ke luar negeri. "Sesudah krisis finansial 2008, pemimpin negara-negara G-20 berusaha untuk menutup defisit fiskal akibat krisis, mereka berusaha memaksimalkan pajak, termasuk dengan mengejar kekayaan warganya yang disembunyikan di luar negeri," jelasnya.
Dari sisi pajak, lanjut dia, setiap negara harus mengoptimalkan penerimaan negara terutama dari para wajib pajak kelas kakap. "Dan di titik ini, pemerintah Indonesia juga seharusnya bisa ikut mengambil keuntungan dari bocornya dokumen itu, terutama untuk menghitung kembali potensi penerimaan negara dan menutup celah regulasi perpajakan. Jangan hanya wajib pajak kecil-kecil yang dikejar pemerintah," katanya.
Namun, terang Fadli Zon, pemerintah harus melakukan verifikasi lebih dulu dan berhati-hati. Sebab, pendirian badan legal special purpose vehicle di negara-negara tax haven tidak serta merta bisa dianggap ilegal.
Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI Misbakhun memandang terungkapnya dokuman Panama Papars sebagai bukti banyak orang tidak rela membayar pajak tinggi. Menurutnya hal itu merupakan cara untuk menghindari kewajiban membayar pajak besar dengan tujuan menjaga laba perusahaan agar tidak habis.
"Ini menjadi bukti nyata bahwa orang tidak rela bayar pajak secara sadar jika pajaknya tinggi. Maka dari itu ada yang namanya offshore transaction, special purpose vehicle, tax haven dan lainnya," jelas Misbakhun.
Dia menyebutkan para individu itu mencoba menghindari kewajiban perpajakan tinggi di negara-negara asal mereka untuk kemudian mencari negara yang memberlakukan pajak rendah. "Jadi untuk menghindari perpajakan dan aturan perpajakan dengan tarif yang tinggi kemudian mereka cari tarif pajak yang rendah, itu dibolehkan. Penghindaran itu hanya melanggar sisi etis," kata Misbakhun.
Dia memandang skandal Panama Papers berbeda dengan penggelapan pajak karena sifatnya yang tidak melanggar hukum. Beda dengan kasus penggelapan di mana petugas pajak bisa melakukan proses pemeriksaan.
"Karena prinsip perpajakan kita adalah bukan mempidanakan orang, tapi membayar. Dan kalau ada sisi penggelapan, itu dendanya harus dibayar dalam jumlah sangat besar," katanya.
Momentum Tax Amnesty
Sekretaris Kabinet Pramono Anung menuturkan, dari nama-nama warga negara Indonesia disebutkan terkonfirmasi kebenarannya telah melakukan aktivitas di Mossack Fonseca. "Data (Panama Papers) ini sudah ada sejak dua tahun lalu. Data pemerintah dibanding Panama Papers sebenarnya lebih lengkap," ujarnya.
Menurut Pramono, terungkapnya dokumen Panama Papers dianggap menguntungkan pemerintah. Sebab, sebelum dokumen itu terungkap ke publik, pemerintah melalui Kementerian Keuangan telah lebih dulu mengusulkan tax amnesty atau pengampunan pajak.
"Karena itu, pemerintah berharap DPR melakukan pembahasan (tax amnesty) selesai masa sidang ini atau paling lama selesai masa sidang berikutnya. Harapannya Juni sudah selesai," kata Pramono.
Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Eddy Soeparno mengatakan, data Panama Papers membuka sebagian data wajib pajak dan teridentifikasi melakukan kegiatan usaha menggunakan special purpose vehicle (SPV) dapat digunakan untuk memanfaatkan tax treaty (persetujuan penghindaran pajak berganda/P3B). Usia SPV bisa bertahun-tahun dan tidak ada masa kedaluwarsa.
Eddy mengetahui hal tersebut karena pernah bekerja sekitar 20 tahun di sejumlah bank dan perusahaan keuangan dunia. Misalnya, di Jardine Fleming & Co Ltd, American Express, Credit Lyonnais, ABN Amro, HSBC, dan Merrill Lynch. Karena profesi tersebut, tak jarang dia bersentuhan dan berhubungan dengan aktivitas transaksi yang melibatkan SPV.
Penggunaan SPV di luar negeri terutama di negara-negara surga pajak (tax haven) meringankan dari sisi perpajakan. Namun, pendirian SPV tidak serta merta ditujukan untuk tujuan penggelapan pajak. “Jika penggunaan SPV dibarengi dengan tax planning, beban pajak bisa berkurang dari 20% menjadi 10% atau bahkan 0%,” terangnya.
Dia mengingatkan bahwa Panama Papers sekadar "membuka tabir" atas individu atau perseroan yang melakukan kegiatan usaha dengan menggunakan SPV asing. Data tersebut hanya sebagai data dan temuan awal untuk mendalami kegiatan usaha warga negara atau unit usaha Indonesia yang menggunakan kendaraan usaha di luar negeri.
Panama Papers tidak membuka informasi substansial terkait jenis usaha, transaksi, dana yang dinikmati atau digunakan untuk transaksi maupun usaha atau pajak yang dielakkan melalui pemakaian SPV tersebut. “Untuk mengetahui hal-hal yang substansial secara mendalam, tentunya membutuhkan putusan pengadilan, apalagi jika hal ini menyangkut informasi perbankan,” kata Eddy.
Mengingat momentum yang bagus tersebut, Eddy mendorong RUU Tax Amnesty segera dibahas dan dituntaskan DPR. Bagaimana pun juga regulasi tax amnesty tetap diperlukan sebagai salah satu solusi penyelesaian data pajak dan kewajiban pajak.
Pertimbangannya Panama Papers hanya memberikan gambaran umum dan bukan informasi detail. Selain itu, Panama Papers hanya membeberkan info tentang individu atau perusahaan yang mendirikan usaha di Panama melalui Mossack Fonseca.
Dia berkeyakinan masih ada ratusan bahkan ribuan perusahaan serupa di yurisdiksi tax haven lain yang belum diidentifikasi. “Kehadiran UU Tax Amnesty menjadi berharga untuk menjadi jalan tengah dan solusi atas temuan data Panama Papers maupun data-data lain yang ada di luar negeri. Tax amnesty memberi kepastian hukum bagi wajib pajak,” jelasnya.
(dmd)