2nd Gen Challenges (2)

Senin, 18 April 2016 - 06:06 WIB
2nd Gen Challenges (2)
2nd Gen Challenges (2)
A A A
JAKARTA - Untuk ketiga kalinya, 19 Mei nanti kantor saya Inventure bersama KORAN SINDO akan menggelar Indonesia Brand Forum (IBF) 2016. Event tahunan ini diselenggarakan untuk membangkitkan kesadaran membangun brand Indonesia untuk menjadi tuan rumah di negeri sendiri bahkan menjadi champion di pasar global.

Makanya semboyan yang selalu kami usung adalah: Kebangkitan Nasional Kedua, Adalah Kebangkitan Brand Indonesia. Tahun ini kami mengambil tema yang agak berbeda yaitu ”Branding Family Business”. Kenapa kami ambil tema ini, karena rupanya lebih dari 90% brand lokal Indonesia adalah brand perusahaan keluarga, sehingga membangun brand Indonesia tak bisa dilepaskan dari membangun brand perusahaan keluarga.

Dan seperti tahuntahun sebelumnya, kami melakukan riset khusus mengenai topik tersebut. Karena itu, sejak tengah tahun lalu saya dan tim melakukan riset mengenai tantangan pemimpin generasi kedua dari perusahaan keluarga di Indonesia. Hasil riset ini akan dihimpun dalam sebuah buku berjudul The Second Generation Challenges yang akan diluncurkan di IBF 2016 tanggal 19 Mei nanti. Berikut ini adalah ringkasan dari hasil riset tersebut. Tulisan bagian pertama sudah saya sampaikan minggu lalu, berikut ini adalah tulisan bagian kedua.

Pemimpin Transformatif

Salah satu ciri umum kepemimpinan generasi kedua adalah kepemimpinan transformatif (transformational leadership ) yang mengubah perusahaan dari format tradisionalentrepreneurial menjadi perusahaan modern-profesional. Tipikal perusahaan keluarga generasi pertama adalah bersifat entrepreneurial di mana konsep-konsep manajemen modern belum banyak diterapkan.

Sistem-sistem di dalam organisasi (operasi, SDM, keuangan, teknologi informasi, dan sebagainya) juga belum banyak dikembangkan. Perusahaan seperti ini biasanya mengandalkan business wisdom dan intuisi dari pemimpin generasi pertama yang sekaligus sebagai pendiri. Dalam banyak kasus perusahaan dijalankan secara one-man show , di mana seluruh keputusan terkonsentrasi pada si founding leader .

Begitu pemimpin generasi kedua hadir, pola kepemimpinannya mulai berubah. Pemimpin generasi kedua umumnya sudah mengenyam pendidikan bisnis di Amerika atau Eropa dan mereka sudah memahami konsepkonsep bisnis modern. Nah , di sinilah pemimpin generasi kedua mulai mencangkokkan konsep dan sistem manajemen modern ke dalam organisasi. Dan, t ra n s forma s i menuju organisasi profesional nan modern pun dimulai.

Sistem, Bukan Tokoh

Gaya kepemimpinan transformatif kental terlihat pada sosok Michael Wanandi, presiden direktur Combiphar. Setelah menduduki p o s i s i puncak di Combiphar, Michael merintis sebuah trans-formasi besar di tubuh organi-sasi dengan visi Combiphar 2020 dan mengeksekusinya. Melalui visi tersebut, Michael ingin membawa Combiphar untuk fokus dari bisnis obat generik ke consumer health dengan membudayakan hidup sehat dan mencegah sakit, bukan mengobati sakit.

Perubahan fokus ini mengubah secara mendasar arah bisnis Combiphar. Tak hanya itu, Michael juga memperkenalkan budaya baru ala generasi k e d u a y a n g lebih egaliter, terbuka, dan bernuansa kemitraan. Pemimpin transformatif juga pekat terlihat pada sosok Shinta Kamdani, presiden direktur Sintesa Group.

Saat mengambil alih estafet kepemimpinan, Shinta mulai merintis transformasi besar-besaran dengan menajamkan fokus bisnis yang dimasuki, membenahi struktur organisasi, menarik profesional untuk mengisi jajaran manajemen, membangun budaya perusahaan yang kokoh, dan segudang inisiatif lain.

New Leader, New Style

Pergantian estafet kepemimpinan dari generasi pertama ke generasi kedua biasanya juga diikuti dengan perubahan gaya kepemimpinan. Berbagai riset mengonfirmasi bahwa dari generasi pertama ke generasi berikutnya, gaya kepemimpinan cenderung berubah dari informal, subjektif, dan paternalistik menuju gaya kepemimpinan yang lebih formal, objektif, dan profesional.

Maya Watono memiliki gaya kepemimpinan yang sangat berbeda dengan ayahnya. Adji Watono, sang ayah, adalah tipe pemimpin yang sangat entrepreneurial; mengandalkan intuisi bisnis yang tajam; memiliki drive dan semangat yang menyala-nyala; memiliki kemampuan relationship ke klien yang luar biasa.

Sementara Maya cenderung lebih berpikir sistematis dan runut, selalu berorientasi strategis, lebih partisipatif dan egaliter; dan selalu mengandalkan kekuatan tim dalam melakukan pengambilan keputusan. Namun di tengah perbedaan gaya tersebut, dua pemimpin dari dua generasi ini masih bisa saling menyinkronkannya. Kalau enggak sinkron, pasti akan terjadi dualisme kepemimpinan.

Kalau hal ini sampai terjadi, bisa dipastikan perusahaan akan terseok-seok dalam mengarungi jalan transformasi. ”Kalau sekarang bukan dualisme kepemimpinan, tapi kita memimpin bersama,” tegas Maya. Maya Watono menyebutnya dengan istilah ”co-working ”, yaitu kolaborasi kepemimpinan antara generasi pertama dan kedua.

Keroyokan

Mengenai kerja kolaborasi di dalam perusahaan keluarga, kasus yang terjadi di Grup Hotel Tugu membawa lessonslearned yang sangat berharga. Bisnis hotel dan restoran Grup Tugu Hotel tersebar di Jakarta, Malang, Blitar, Bali, hingga Lombok. Karena cakupan bisnis yang mulai membentang, tugas pengelolaan harus dibagi di antara pemimpin generasi pertama dan kedua.

Di sinilah kepemimpinan keroyokan berlangsung dengan efektif dan harmonis. Pemimpin besar tentu dipegang si ayah yang mengorkestrasikan semua portofolio bisnis secara strategis. Annette, si pencinta restoran, memikirkan dan mengelola kelima restoran yang berpusat di Jakarta.

Sementara si kakak, Lucienne Kristy Anhar yang lulus dari Ecole Hoteliere de Lausanne, Swiss, bertanggung jawab mengelola hotel. Adapun Wedya, sang ibu, masih memelototi laporan keuangan agar kinerja unit-unit usaha tetap dalam jalur yang benar dan solid mencetak laba.

YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0581 seconds (0.1#10.140)