Bos PLN Akui Proyek Listrik 35.000 MW Sulit Terealisasi
A
A
A
JAKARTA - Direktur Utama PT PLN (Persero) Sofyan Basir mengakui bahwa keinginan pemerintah untuk membangun proyek kelistrikan dengan kapasitas 35.000 megawatt (MW) bukan pekerjaan mudah. Apalagi, dirinya sebagai orang nomor satu di PLN tidak memiliki latar belakang kelistrikan.
Saat pemerintah mencanangkan proyek tersebut, kata dia, dirinya yang hanya berlatar belakang bankir cukup kaget dan takut tidak bisa merealisasikan proyek tersebut. Namun, setelah mendalami rencana itu, barulah mengerti bahwa mau tidak mau proyek prestisius tersebut harus terlaksana, karena masyarakat sangat membutuhkannya.
"Faktanya memang demikian. Saya juga sulit awalnya, karena saya bankir masuk PLN. Hari ini bisa memahami kebutuhan ini," katanya saat berbincang dengan media di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Kamis (12/5/2016).
Mantan Bos BRI ini menyebutkan, saat ini listrik per kapita masyarakat Indonesia masih sangat rendah yaitu sekitar 780 kilowatt hour (kWh). Sementara, negara-negara di ASEAN lainnya sudah jauh di atas Indonesia.
"(Listrik per kapita negara ASEAN) ada yang 1.000 kWh, 2.000 kWh, bahkan ada yang 4.000 kWh lebih. Dan itu juga tentunya diikuti pertumbuhan income per kapita masyarakat kita. Mereka dulu punya kulkas sekarang punya. Tingkat kehidupan pun bertambah," imbuh dia.
Menurutnya, masih banyak provinsi di Tanah Air yang haus kebutuhan listrik. Ini terjadi lantaran pemerintah terlambat menyadari kebutuhan tersebut, sehingga terlambat membangun listrik itu.
Selain itu, tambah Sofyan, listrik yang dimiliki Indonesia tiap tahunnya pasti ada yang mengalami kerusakan. Bahkan, tiap tahun sekitar 2.000 MW listrik keluar dari sistem karena rusak. Karena itu, proyek kelistrikan 35.000 MW sangat dibutuhkan untuk memenuhi hal tersebut.
"Setiap tahun pasti ada (listrik) yang keluar dari sistem. 55 ribu MW kita susutkan 3%-4% per tahun. 2.000 MW pasti keluar dari sistem tiap tahun karena rusak. Kita harus kasih cadangan. Jadi, tidak semata hanya listrik pembangkit ini untuk 24 jam, 365 hari itu doang. Tidak. Ini hal yang secara teknis memang sulit kami jelaskan," tandasnya.
Saat pemerintah mencanangkan proyek tersebut, kata dia, dirinya yang hanya berlatar belakang bankir cukup kaget dan takut tidak bisa merealisasikan proyek tersebut. Namun, setelah mendalami rencana itu, barulah mengerti bahwa mau tidak mau proyek prestisius tersebut harus terlaksana, karena masyarakat sangat membutuhkannya.
"Faktanya memang demikian. Saya juga sulit awalnya, karena saya bankir masuk PLN. Hari ini bisa memahami kebutuhan ini," katanya saat berbincang dengan media di Kantor Staf Presiden, Jakarta, Kamis (12/5/2016).
Mantan Bos BRI ini menyebutkan, saat ini listrik per kapita masyarakat Indonesia masih sangat rendah yaitu sekitar 780 kilowatt hour (kWh). Sementara, negara-negara di ASEAN lainnya sudah jauh di atas Indonesia.
"(Listrik per kapita negara ASEAN) ada yang 1.000 kWh, 2.000 kWh, bahkan ada yang 4.000 kWh lebih. Dan itu juga tentunya diikuti pertumbuhan income per kapita masyarakat kita. Mereka dulu punya kulkas sekarang punya. Tingkat kehidupan pun bertambah," imbuh dia.
Menurutnya, masih banyak provinsi di Tanah Air yang haus kebutuhan listrik. Ini terjadi lantaran pemerintah terlambat menyadari kebutuhan tersebut, sehingga terlambat membangun listrik itu.
Selain itu, tambah Sofyan, listrik yang dimiliki Indonesia tiap tahunnya pasti ada yang mengalami kerusakan. Bahkan, tiap tahun sekitar 2.000 MW listrik keluar dari sistem karena rusak. Karena itu, proyek kelistrikan 35.000 MW sangat dibutuhkan untuk memenuhi hal tersebut.
"Setiap tahun pasti ada (listrik) yang keluar dari sistem. 55 ribu MW kita susutkan 3%-4% per tahun. 2.000 MW pasti keluar dari sistem tiap tahun karena rusak. Kita harus kasih cadangan. Jadi, tidak semata hanya listrik pembangkit ini untuk 24 jam, 365 hari itu doang. Tidak. Ini hal yang secara teknis memang sulit kami jelaskan," tandasnya.
(izz)