Pegawai BUMN Pilih RS Swasta Ketimbang Milik Negara
A
A
A
JAKARTA - Ketua Sinergi Badan Usaha Milik negara (BUMN) untuk Pengelolaan Rumah Sakit Milik BUMN Dany Amrul Ichdan mengaku, saat ini rumah sakit (RS) milik BUMN belum mendapatkan kepercayaan besar dari masyarakat. Bahkan, pegawai BUMN justru lebih memilih untuk berobat di rumah sakit swasta ketimbang milik BUMN.
(Baca: Bentuk Holding, Rumah Sakit BUMN Pede Jadi Terbesar se-Indonesia)
Dia menyebutkan, pegawai BUMN yang berobat di rumah sakit hanya sekitar 40%, sisanya di rumah sakit luar BUMN. "Kan prihatin, masa yang punya rumah sakit berobatnya enggak ke rumah sakitnya. Ada apa ini?" katanya di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (19/5/2016).
Menurutnya, rumah sakit pelat merah harus melakukan internal turn round secara besar-besaran mulai dari segi layanan, peningkatan skill SDM, peningkatan belanja modal (capital expenditure) agar bisa menjadi layanan kelas dunia (world class). Sehingga, kualitas rumah sakit negara ini tidak kalah dengan swasta.
(Baca: Rumah Sakit BUMN Ngebet Bentuk Holding Sebelum Lebaran)
Dany menilai, pembentukan induk usaha (holding) rumah sakit BUMN menjadi cara yang tepat agar rumah sakit milik negara itu bisa lebih besar dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Jika holding terbentuk, maka akan dibentuk satu standarisasi untuk rumah sakit BUMN.
"Rumah sakit BUMN harus punya pakem dan standar. Selama ini kita sudah ada standarnya, tapi kita mengikuti standar pelayanan yang modern kan. Sudah ada, karena setiap rumah sakit beroperasi berdasarkan Permenkes. Itulah perlunya holding ini untuk memonitoring supaya standar pelayanan perfect, sehingga trust nya meningkat," tuturnya.
Selain itu, dengan pembentukan holding maka akan terjadi efisiensi unit cost dengan cara melakukan renegosiasi terhadap obat-obatan dan alat kesehatan. Nantinya, akan ada formulasi untuk obat agar harganya lebih murah.
"Jadi, kalau sebelum ada holding beli obat Rp10, sekarang turun dong jadi Rp7. Kan bicaranya volume, jadi hanya ada shortlist vendor farmasi yang bisa mensupport rumah sakit BUMN dengan harga tambahan diskon yang sudah ada sekarang. Caranya, dengan membentuk tim negosiasi obat," pungkas dia.
(Baca: Bentuk Holding, Rumah Sakit BUMN Pede Jadi Terbesar se-Indonesia)
Dia menyebutkan, pegawai BUMN yang berobat di rumah sakit hanya sekitar 40%, sisanya di rumah sakit luar BUMN. "Kan prihatin, masa yang punya rumah sakit berobatnya enggak ke rumah sakitnya. Ada apa ini?" katanya di Gedung Kementerian BUMN, Jakarta, Kamis (19/5/2016).
Menurutnya, rumah sakit pelat merah harus melakukan internal turn round secara besar-besaran mulai dari segi layanan, peningkatan skill SDM, peningkatan belanja modal (capital expenditure) agar bisa menjadi layanan kelas dunia (world class). Sehingga, kualitas rumah sakit negara ini tidak kalah dengan swasta.
(Baca: Rumah Sakit BUMN Ngebet Bentuk Holding Sebelum Lebaran)
Dany menilai, pembentukan induk usaha (holding) rumah sakit BUMN menjadi cara yang tepat agar rumah sakit milik negara itu bisa lebih besar dan mendapatkan kepercayaan masyarakat. Jika holding terbentuk, maka akan dibentuk satu standarisasi untuk rumah sakit BUMN.
"Rumah sakit BUMN harus punya pakem dan standar. Selama ini kita sudah ada standarnya, tapi kita mengikuti standar pelayanan yang modern kan. Sudah ada, karena setiap rumah sakit beroperasi berdasarkan Permenkes. Itulah perlunya holding ini untuk memonitoring supaya standar pelayanan perfect, sehingga trust nya meningkat," tuturnya.
Selain itu, dengan pembentukan holding maka akan terjadi efisiensi unit cost dengan cara melakukan renegosiasi terhadap obat-obatan dan alat kesehatan. Nantinya, akan ada formulasi untuk obat agar harganya lebih murah.
"Jadi, kalau sebelum ada holding beli obat Rp10, sekarang turun dong jadi Rp7. Kan bicaranya volume, jadi hanya ada shortlist vendor farmasi yang bisa mensupport rumah sakit BUMN dengan harga tambahan diskon yang sudah ada sekarang. Caranya, dengan membentuk tim negosiasi obat," pungkas dia.
(izz)