Settling Pond Tambang BHP Jebol
A
A
A
JAKARTA - Dua kolam pengendapan (settling pond) di Tambang Haju yang dikelola PT Lahai Coal milik PT IndoMet Coal (IMC) jebol yang mengakibatkan air asam tambang mengalir ke badan air umum di kawasan tambang. Jebolnya kolam pengendapan tersebut mengakibatkan banjir limbah limpasan air asam tambang yang mencemari Sungai Beriwit di Murung Raya yang adalah sumber air utama bagi masyarakat setempat.
Belum adanya respons dan penanganan segera dari pihak perusahaan atas jebolnya dua kolam tersebut menyebabkan keresahan masyarakat Kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, yang teraliri sungai tersebut. Akibat kejadian tersebut warga Murung Raya sangat kecewa dengan BHP Billiton yang ceroboh dalam pengelolaan limbah tambang mereka.
Presiden Direktur BHP Billiton Indonesia Imelda Adhisaputra mengaku terkejut dengan informasi tersebut. Dia menyatakan saat ini IMC sedang menyelidiki kebocoran dari settling pond di Tambang Haju, di mana hal ini terjadi menyusul hujan deras.
“Segera setelah kecoboran ini diidentifikasi, IMC langsung menerapkan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencegah dampak lebih lanjut dari kebocoran tersebut. IMC telah melaporkan kejadian ini kepada Badan Lingkungan Hidup setempat dan terus menerapkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan ketentuan Water Management Plan perusahaan,” ujar Imelda, kepada wartawan.
Insiden serupa pernah terjadi pada proyek BHP Billiton di Brazil. Pada 5 November 2015, dua kolam bendungan yang menampung air limpahan dan buangan dari tambang bijih besi milik Samarco, anak perusahaan BHP Billiton ambruk. Insiden tersebut menimbulkan banyak korban dan kerugian di Kabupaten Bento Rodrigues dan area sekitarnya.
Campuran air limbah dan lumpur mengalir ke sungai-sungai di dekatnya, termasuk Sungai Rio Doce, salah satu sungai utama bagi masyarakat tenggara Brazil. Kontaminasi air sungai menyebabkan dihentikannya pasokan air di kota-kota yang airnya dipasok dari Sungai Rio Doce. Pemerintah Brazil menganggap kejadian ini sebagai insiden lingkungan terbesar dalam sejarah di Provinsi Minas Gerais.
Kepala Departemen Kajian dan Penggalangan Sumber Daya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Khalisah Khalid mengatakan, BHP harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Pemerintah harus mempertimbangkan untuk memberikan sanksi administrasi, bahkan bila perlu mencabut izin usaha.
Dia menambahkan, selain cabut izin, pemerintah juga harus meminta tanggung jawab mereka untuk memulihkan kawasan yang sudah tercemar. “Jangan sampai mereka tidak peduli dengan hal tersebut mengingat dampaknya sangat besar bagi lingkungan,” katanya.
Khalisah menegaskan, bencana kebocoran tersebut akibat adanya standar ganda soal lingkungan yang kerap dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnasional semacam BHP Billiton. Di luar negeri, mereka memiliki standar tinggi dalam lingkungan. Sementara di Indonesia, mereka memiliki standar rendah.
Dia meminta pemerintah Indonesia segera bertindak cepat. Rencana BHP Billiton hengkang dari Indonesia tidak bisa serta merta menggugurkan kewajiban BHP Billiton. “Pemerintah harus bertindak cepat. Mereka tidak boleh hengkang sebelum mempertanggungjawabkan hal ini,” tandasnya.
Belum adanya respons dan penanganan segera dari pihak perusahaan atas jebolnya dua kolam tersebut menyebabkan keresahan masyarakat Kecamatan Laung Tuhup, Kabupaten Murung Raya, Kalimantan Tengah, yang teraliri sungai tersebut. Akibat kejadian tersebut warga Murung Raya sangat kecewa dengan BHP Billiton yang ceroboh dalam pengelolaan limbah tambang mereka.
Presiden Direktur BHP Billiton Indonesia Imelda Adhisaputra mengaku terkejut dengan informasi tersebut. Dia menyatakan saat ini IMC sedang menyelidiki kebocoran dari settling pond di Tambang Haju, di mana hal ini terjadi menyusul hujan deras.
“Segera setelah kecoboran ini diidentifikasi, IMC langsung menerapkan tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mencegah dampak lebih lanjut dari kebocoran tersebut. IMC telah melaporkan kejadian ini kepada Badan Lingkungan Hidup setempat dan terus menerapkan tindakan-tindakan yang sesuai dengan ketentuan Water Management Plan perusahaan,” ujar Imelda, kepada wartawan.
Insiden serupa pernah terjadi pada proyek BHP Billiton di Brazil. Pada 5 November 2015, dua kolam bendungan yang menampung air limpahan dan buangan dari tambang bijih besi milik Samarco, anak perusahaan BHP Billiton ambruk. Insiden tersebut menimbulkan banyak korban dan kerugian di Kabupaten Bento Rodrigues dan area sekitarnya.
Campuran air limbah dan lumpur mengalir ke sungai-sungai di dekatnya, termasuk Sungai Rio Doce, salah satu sungai utama bagi masyarakat tenggara Brazil. Kontaminasi air sungai menyebabkan dihentikannya pasokan air di kota-kota yang airnya dipasok dari Sungai Rio Doce. Pemerintah Brazil menganggap kejadian ini sebagai insiden lingkungan terbesar dalam sejarah di Provinsi Minas Gerais.
Kepala Departemen Kajian dan Penggalangan Sumber Daya Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) Khalisah Khalid mengatakan, BHP harus bertanggung jawab atas peristiwa tersebut. Pemerintah harus mempertimbangkan untuk memberikan sanksi administrasi, bahkan bila perlu mencabut izin usaha.
Dia menambahkan, selain cabut izin, pemerintah juga harus meminta tanggung jawab mereka untuk memulihkan kawasan yang sudah tercemar. “Jangan sampai mereka tidak peduli dengan hal tersebut mengingat dampaknya sangat besar bagi lingkungan,” katanya.
Khalisah menegaskan, bencana kebocoran tersebut akibat adanya standar ganda soal lingkungan yang kerap dilakukan oleh perusahaan-perusahaan transnasional semacam BHP Billiton. Di luar negeri, mereka memiliki standar tinggi dalam lingkungan. Sementara di Indonesia, mereka memiliki standar rendah.
Dia meminta pemerintah Indonesia segera bertindak cepat. Rencana BHP Billiton hengkang dari Indonesia tidak bisa serta merta menggugurkan kewajiban BHP Billiton. “Pemerintah harus bertindak cepat. Mereka tidak boleh hengkang sebelum mempertanggungjawabkan hal ini,” tandasnya.
(dmd)