Jokowi Ogah Ikut-ikutan Teken Perjanjian Pengendalian Tembakau
A
A
A
JAKARTA - Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku masih mempertimbangkan untung dan rugi jika ikut menandatangani aksesi perjanjian pengendalian tembakau (Framework Convention on Tobacco Control/FCTC). Meskipun, saat ini Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia yang belum teken kerja sama tersebut.
Jokowi menyebutkan, berdasarkan data organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) hingga Juli 2013 sebanyak 180 negara telah meratifikasi dan mengaksesi FCTC. Jumlah tersebut telah mewakili 90% populasi dunia.
(Baca: Pengendalian Produksi Tembakau Dikhawatirkan Picu Kartel)
"Saya tidak ingin kita sekadar ikut-ikutan atau mengikuti tren atau banyak negara yang sudah ikut kemudian kita juga lantas ikut," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Menurutnya, Indonesia harus melihat kepentingan nasional negara sebelum memutuskan untuk menandatangani perjanjian tersebut. Terutama berkaitan dengan warga negara Indonesia yang terkena gangguan kesehatan akibat peredaran tembakau.
"Terutama yang berkaitan dengan warga negara kita yang terkena gangguan kesehatan dan kepentingan generasi muda ke depan dari anak-anak kita," imbuhnya.
Selain itu, lanjut mantan orang nomor satu di DKI Jakarta ini, Indonesia juga harus mempertimbangkan kelangsungan hidup petani tembakau serta buruh tembakau yang hidupnya bergantung pada kehadiran industri tembakau. Apalagi, hal tersebut menyangkut banyak orang.
"Solusi yang diambil harus betul-betul komprehensif dan kita lihat dari seluruh aspek. Sehingga, apa yang kita putuskan betul-betul bermanfaat bagi semuanya," tandas dia.
Jokowi menyebutkan, berdasarkan data organisasi kesehatan dunia (World Health Organization/WHO) hingga Juli 2013 sebanyak 180 negara telah meratifikasi dan mengaksesi FCTC. Jumlah tersebut telah mewakili 90% populasi dunia.
(Baca: Pengendalian Produksi Tembakau Dikhawatirkan Picu Kartel)
"Saya tidak ingin kita sekadar ikut-ikutan atau mengikuti tren atau banyak negara yang sudah ikut kemudian kita juga lantas ikut," katanya di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta, Selasa (14/6/2016).
Menurutnya, Indonesia harus melihat kepentingan nasional negara sebelum memutuskan untuk menandatangani perjanjian tersebut. Terutama berkaitan dengan warga negara Indonesia yang terkena gangguan kesehatan akibat peredaran tembakau.
"Terutama yang berkaitan dengan warga negara kita yang terkena gangguan kesehatan dan kepentingan generasi muda ke depan dari anak-anak kita," imbuhnya.
Selain itu, lanjut mantan orang nomor satu di DKI Jakarta ini, Indonesia juga harus mempertimbangkan kelangsungan hidup petani tembakau serta buruh tembakau yang hidupnya bergantung pada kehadiran industri tembakau. Apalagi, hal tersebut menyangkut banyak orang.
"Solusi yang diambil harus betul-betul komprehensif dan kita lihat dari seluruh aspek. Sehingga, apa yang kita putuskan betul-betul bermanfaat bagi semuanya," tandas dia.
(izz)