Pemanasan Global Akan Membuat Perekonomian Asia Menderita
A
A
A
NEW YORK - Cuaca panas ekstrem yang dipicu oleh El Nino pada Mei lalu, menyebabkan beberapa kawasan di Asia Tenggara kekeringan parah. Di India, gelombang panas menewaskan lebih dari 1.000 jiwa. Masalah perubahan iklim melonjaknya suhu bumi telah menjadi banyak kajian dan diskusi. Namun, kesadaran untuk menjaga lingkungan bukan hanya di atas kertas.
Pemanasan iklim akan berpengaruh terhadap ekonomi global, terutama di Asia. Melansir Bloomberg, Selasa (19/7/2016), hasil penelitian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan biaya ekonomi global untuk perubahan iklim mencapai lebih dari USD2 triliun pada tahun 2030.
Selain bengkaknya biaya perubahan iklim, sebanyak 43 negara terutama di Asia, termasuk China, Indonesia, dan Malaysia akan mengalami penurunan perekonomian karena pemanasan iklim. Direktur Kesehatan dan Lingkungan International Trust yang berbasis di Nelson, Selandia Baru, Tord Kjellstrom mengatakan akibat pemanasan iklim, produk domestik bruto China akan berkurang 1% dan Indonesia sebesar 6% pada tahun 2030.
Cuaca panas ekstrem di Asia Tenggara akan memangkas jam kerja tahunan sebesar 15%-20%, dan angka itu bisa dua kali lipat pada 2050, bila perubahan iklim terus berlangsung, menurut makalah yang diterbitkan Asia-Pacific Journal of Public Health, Selasa ini.
Penelitian ini merupakan satu dari enam makalah yang diterbitkan oleh International Institute for Global Health di Kuala Lumpur, Malaysia, yang merinci dampak perubahan iklim terhadap kesehatan manusia. Menurut penelitian mereka, dari tahun 1980-2012 sekitar 2,1 juta orang di seluruh dunia meninggal akibat langsung dari bencana seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan, panas yang ekstrem, yang kesemuanya disebabkan perubahan iklim. Biaya bencana tersebut lebih dari USD4 triliun, jumlah yang sebanding dengan PDB Jerman saat ini.
“Dengan cuaca panas ekstrem, Anda tidak bisa menjaga intensitas kerja yang sama. Dan kami melihat produktivitas kerja berkurang dan lebih banyak istirahat di industri padat karya,” kata Kjellstrom.
Lanjut dia, pada 2030, India dan China akan menderita kerugian USD450 miliar akibat pemanasan iklim. Untuk mengatasinya mungkin dengan membuat perubahan besar dalam jam kerja dan mengubah cara pembangunan pabrik baru dengan menggunakan daya yang lebih kecil dalam mengurangi efek gas rumah kaca.
Laporan ini menyatakan negara berpenghasilan rendah dan menengah mungkin akan kehilangan produktivitas dari pemanasan iklim, kendati mereka berkontribusi sedikit atas penyebab perubahan iklim dalam bentuk polusi gas rumah kaca. Sedangkan, negara-negara kaya mempunyai sumber daya keuangan dalam menghadapi perubahan iklim.
Cuaca panas ekstrem mungkin akan membatasi pekerjaan seperti tenaga kerja berat, pertanian, dan manufaktur. Namun memiliki potensi untuk meningkatkan kesenjangan antara kaya dan miskin. Selain itu, permintaan untuk AC di kantor-kantor, pusat perbelanjaan, dan rumah cenderung melambung akibat kenaikan suhu. Namun membuat ketergantungan listrik semakin besar.
Seperti dilansir Bloomberg, hal ini akan membuat kota seukuran Bangkok memerlukan sebanyak 2 gigawatts untuk setiap kenaikan suhu 1 derajat Celcius.
“Karena itu, kita harus berpikir lebih hati-hati tentang pola pembangunan perkotaan,” kata Anthony Capon, seorang professor di International Institute for Global Health. Sambung Capon, negara-negara berpenghasilan tinggi memiliki kapasitas lebih untuk melindungi rakyat mereka dari dampak kesehatan atas perubahan iklim. Orang-orang di negara-negara miskin yang paling berpengaruh.
Lantas menghadapi perubahan iklim itu, lebih dari 190 negara sepakat mengadakan langkah-langkah membatasi pemanasan global pada Desember mendatang di Paris, Perancis. Sekitar 55 negara yang mewakili 55% dari emisi gas rumah kaca dunia harus meratifikasi perjanjian pada tahun 2020. Para pejabat PBB berharap kesepakatan tersebut mulai berlaku tahun ini.
Pemanasan iklim akan berpengaruh terhadap ekonomi global, terutama di Asia. Melansir Bloomberg, Selasa (19/7/2016), hasil penelitian Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) menyatakan biaya ekonomi global untuk perubahan iklim mencapai lebih dari USD2 triliun pada tahun 2030.
Selain bengkaknya biaya perubahan iklim, sebanyak 43 negara terutama di Asia, termasuk China, Indonesia, dan Malaysia akan mengalami penurunan perekonomian karena pemanasan iklim. Direktur Kesehatan dan Lingkungan International Trust yang berbasis di Nelson, Selandia Baru, Tord Kjellstrom mengatakan akibat pemanasan iklim, produk domestik bruto China akan berkurang 1% dan Indonesia sebesar 6% pada tahun 2030.
Cuaca panas ekstrem di Asia Tenggara akan memangkas jam kerja tahunan sebesar 15%-20%, dan angka itu bisa dua kali lipat pada 2050, bila perubahan iklim terus berlangsung, menurut makalah yang diterbitkan Asia-Pacific Journal of Public Health, Selasa ini.
Penelitian ini merupakan satu dari enam makalah yang diterbitkan oleh International Institute for Global Health di Kuala Lumpur, Malaysia, yang merinci dampak perubahan iklim terhadap kesehatan manusia. Menurut penelitian mereka, dari tahun 1980-2012 sekitar 2,1 juta orang di seluruh dunia meninggal akibat langsung dari bencana seperti banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, kekeringan, panas yang ekstrem, yang kesemuanya disebabkan perubahan iklim. Biaya bencana tersebut lebih dari USD4 triliun, jumlah yang sebanding dengan PDB Jerman saat ini.
“Dengan cuaca panas ekstrem, Anda tidak bisa menjaga intensitas kerja yang sama. Dan kami melihat produktivitas kerja berkurang dan lebih banyak istirahat di industri padat karya,” kata Kjellstrom.
Lanjut dia, pada 2030, India dan China akan menderita kerugian USD450 miliar akibat pemanasan iklim. Untuk mengatasinya mungkin dengan membuat perubahan besar dalam jam kerja dan mengubah cara pembangunan pabrik baru dengan menggunakan daya yang lebih kecil dalam mengurangi efek gas rumah kaca.
Laporan ini menyatakan negara berpenghasilan rendah dan menengah mungkin akan kehilangan produktivitas dari pemanasan iklim, kendati mereka berkontribusi sedikit atas penyebab perubahan iklim dalam bentuk polusi gas rumah kaca. Sedangkan, negara-negara kaya mempunyai sumber daya keuangan dalam menghadapi perubahan iklim.
Cuaca panas ekstrem mungkin akan membatasi pekerjaan seperti tenaga kerja berat, pertanian, dan manufaktur. Namun memiliki potensi untuk meningkatkan kesenjangan antara kaya dan miskin. Selain itu, permintaan untuk AC di kantor-kantor, pusat perbelanjaan, dan rumah cenderung melambung akibat kenaikan suhu. Namun membuat ketergantungan listrik semakin besar.
Seperti dilansir Bloomberg, hal ini akan membuat kota seukuran Bangkok memerlukan sebanyak 2 gigawatts untuk setiap kenaikan suhu 1 derajat Celcius.
“Karena itu, kita harus berpikir lebih hati-hati tentang pola pembangunan perkotaan,” kata Anthony Capon, seorang professor di International Institute for Global Health. Sambung Capon, negara-negara berpenghasilan tinggi memiliki kapasitas lebih untuk melindungi rakyat mereka dari dampak kesehatan atas perubahan iklim. Orang-orang di negara-negara miskin yang paling berpengaruh.
Lantas menghadapi perubahan iklim itu, lebih dari 190 negara sepakat mengadakan langkah-langkah membatasi pemanasan global pada Desember mendatang di Paris, Perancis. Sekitar 55 negara yang mewakili 55% dari emisi gas rumah kaca dunia harus meratifikasi perjanjian pada tahun 2020. Para pejabat PBB berharap kesepakatan tersebut mulai berlaku tahun ini.
(ven)