Ini Respons Asosiasi Petani soal Perubahan HPP ke Floor and Ceiling Price
A
A
A
JAKARTA - Harga empat komoditas pangan yaitu beras, gula, bawang merah, dan daging sapi, mulai ditata oleh pemerintah. Kementerian Perdagangan, Bulog, dan Kementerian Pertanian sedang merumuskan formulasi harga di tingkat petani. Rencananya, pemerintah akan mengubah harga komoditas pangan dari skema Harga Pembelian Pemerintah (HPP) menjadi harga dasar dan harga batas atas (floor and ceiling price).
Skema floor and ceiling price ini bertujuan mengoptimalkan penyerapan komoditas pangan, terutama beras dan mengendalikan harga di tingkat pasar.
Namun, Aliansi Petani Indonesia (API) dan Asosiasi Masyarakat Tani Padi Indonesia (Amartapadi) menilai langkah di atas bukan solusi tepat guna. Sekretaris Jenderal API, Muhammad Nuruddin mengatakan kendati floor and ceiling price bisa lebih fleksibel, namun secara substansi kebijakan ini belum mendukung perbaikan mutu produksi beras nasional.
“Kami ingin kebijakan yang bisa memperbaiki harga di tingkat petani dengan cara mengakomodir ragam kualitas produksi gabah di level petani maupun beras di level industri beras alias sekunder,” ujarnya dalam siaran pers kepada Sindonews, Jumat (19/8/2016).
Seharusnya, kata dia, kebijakan harga gabah dan beras nasional dapat diarahkan untuk lebih kompetitif melalui penerapan kebijakan multi-kualitas. Hal ini tidak saja penting untuk memberi insentif dan meningkatkan pendapatan petani, namun dapat merangsang gairah produksi. Dan ujungnya berdampak pada membaiknya mutu beras nasional. Apalagi, tambah dia, dalam konteks pasar terbuka ASEAN, mutu pangan menjadi faktor yang menentukan.
Menyikapi rencana pemerintah soal floor and ceiling price, API mengusulkan empat hal. Yaitu, pertama, mengevaluasi rencana penerapan skema floor and ceiling price. Kedua, pemerintah harus merubah paradigm mutu tunggal, hanya membeli satu kualitas medium saja, diganti dengan menerapkan mekanisme multikualitas. Karena di lapangan, petani memproduksi gabah dengan berbagai macam kualitas.
“Sebagai perbandingan, di seluruh negara sentra beras, seperti Thailand, Vietnam, India dan Bangladesh, mereka sudah menerapkan kebijakan HPP multikualitas yang mampu melindungi petani dan memacu produktifitas,” ujar Nuruddin.
Ketiga, kata dia, menciptakan regulasi pengelolaan perberasan berbasis kewilayahan. Dimana peran pemerintah daerah lebih diperluas dalam ikut terlibat melakukan tata kelola perberasan dan pangan. Hal ini dapat menopang ketersediaan dan stok nasional, mengingat serapan gabah/beras Bulog masih dibawah 10% dari total produksi beras nasional. Dan terakhir, mendorong sebesar-besarnya keterlibatan organisasi petani dalam proses penentuan harga gabah/beras.
Skema floor and ceiling price ini bertujuan mengoptimalkan penyerapan komoditas pangan, terutama beras dan mengendalikan harga di tingkat pasar.
Namun, Aliansi Petani Indonesia (API) dan Asosiasi Masyarakat Tani Padi Indonesia (Amartapadi) menilai langkah di atas bukan solusi tepat guna. Sekretaris Jenderal API, Muhammad Nuruddin mengatakan kendati floor and ceiling price bisa lebih fleksibel, namun secara substansi kebijakan ini belum mendukung perbaikan mutu produksi beras nasional.
“Kami ingin kebijakan yang bisa memperbaiki harga di tingkat petani dengan cara mengakomodir ragam kualitas produksi gabah di level petani maupun beras di level industri beras alias sekunder,” ujarnya dalam siaran pers kepada Sindonews, Jumat (19/8/2016).
Seharusnya, kata dia, kebijakan harga gabah dan beras nasional dapat diarahkan untuk lebih kompetitif melalui penerapan kebijakan multi-kualitas. Hal ini tidak saja penting untuk memberi insentif dan meningkatkan pendapatan petani, namun dapat merangsang gairah produksi. Dan ujungnya berdampak pada membaiknya mutu beras nasional. Apalagi, tambah dia, dalam konteks pasar terbuka ASEAN, mutu pangan menjadi faktor yang menentukan.
Menyikapi rencana pemerintah soal floor and ceiling price, API mengusulkan empat hal. Yaitu, pertama, mengevaluasi rencana penerapan skema floor and ceiling price. Kedua, pemerintah harus merubah paradigm mutu tunggal, hanya membeli satu kualitas medium saja, diganti dengan menerapkan mekanisme multikualitas. Karena di lapangan, petani memproduksi gabah dengan berbagai macam kualitas.
“Sebagai perbandingan, di seluruh negara sentra beras, seperti Thailand, Vietnam, India dan Bangladesh, mereka sudah menerapkan kebijakan HPP multikualitas yang mampu melindungi petani dan memacu produktifitas,” ujar Nuruddin.
Ketiga, kata dia, menciptakan regulasi pengelolaan perberasan berbasis kewilayahan. Dimana peran pemerintah daerah lebih diperluas dalam ikut terlibat melakukan tata kelola perberasan dan pangan. Hal ini dapat menopang ketersediaan dan stok nasional, mengingat serapan gabah/beras Bulog masih dibawah 10% dari total produksi beras nasional. Dan terakhir, mendorong sebesar-besarnya keterlibatan organisasi petani dalam proses penentuan harga gabah/beras.
(ven)