Membasmi Investasi Mukidi

Senin, 12 September 2016 - 06:07 WIB
Membasmi Investasi Mukidi
Membasmi Investasi Mukidi
A A A
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School

HARGA emas naik atau turun, tidak perlu khawatir... Investor tetap untung! Investasi seperti deposito, tanpa perlu mengawasi chart/grafik, tidak perlu online terus atau tahu sikon pasar ekonomi dunia... setiap bulan pasti dapat bunga 2% nett+emas fisik di tangan investor. Buy Back guarantee 100%."

Itulah bunyi sebuah iklan dari Golden Traders Indonesia Syariah (GTIS) awal 2012 silam. Siapa yang tidak tergiur dengan tawaran ini. Saat bunga deposito hanya 6% setahun, tinggal tidur saja kita bisa menikmati 2% per bulan. Dijamin aman lagi. Untuk memperoleh kenikmatan tersebut, investor harus membeli emas minimal 100 gram dari GTIS dengan harga 20-30% lebih tinggi dari harga pasar emas. Masa investasi 3,6 dan 12 bulan dengan janji bonus 2% per bulan, atau 30% per tahun untuk masa kontrak 12 bulan.

Emas yang kita beli tersebut dijamin akan dibeli kembali oleh GTIS pada harga beli (yang 20- 30% di atas harga pasar). GTIS menuai sukses besar. Dalam dua tahun mereka berhasil mengumpulkan 10.000 investor yang memercayakan dana Rp2,15 triliun (untuk pembelian 3 ton emas).

Keberhasilan GTIS tidak semata karena tawaran bunga yang menarik, tetapi berkat adanya sertifikat syariah dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) untuk skema investasi GTIS. Ditambah lagi adanya ”obat kuat” berupa testimonial dari tokoh politik dan petinggi MUI.

Bagi yang paham keuangan, mudah menebak bahwa GTIS mendapat kelebihan 20-30% dari setiap gram emas yang dibeli investornya. Uang ini yang digunakan untuk membayar bonus 2-2,5% per bulan bagi investornya. Masalah timbul saat dana dari investor baru yang masuk tidak cukup untuk membayar bonus. Hanya tunggu waktu saja skema investasi GTIS yang berbentuk piramida akan roboh. Sebelum itu terjadi, Direktur Utama GTIS Michael Ong sudah keburu membawa kabur uang investor senilai Rp1 triliun. Hingga kini korban GTIS gigit jari.

Dalam dunia keuangan, skema investasi seperti ini disebut Skema Ponzi. Di Indonesia, investasi Ponzi sering disebut investasi bodong. Buat saya, skema investasi ini lucu, aneh bin ajaib seperti Mukidi. Maka, investasi bodong sebaiknya diganti nama menjadi investasi Mukidi.

Saya beropini bahwa masalah investasi ilegal atau penipuan keuangan sama seriusnya dengan masalah narkotika. Diperkirakan, sejak 1975 hingga 2015 jumlah kerugian akibat investasi skema Ponzi sekitar Rp126 triliun, atau rata-rata Rp260 miliar sebulan.

Ironisnya, mayoritas korban adalah mereka yang berekonomi lemah. Kerugian tersebut memperburuk masalah ekonomi, sekaligus menciptakan masalah sosial. Saat menjadi pembicara di acara diskusi panel ”Menangkal Investasi Ilegal” akhir Agustus silam, saya sempat ”baper” mendengar keluhan seorang ibu korban GTIS yang sengaja hadir untuk menyampaikan pesan kepada Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Bareskrim Polri. Ibu tersebut sembari menangis menceritakan, akibat investasi Mukidi, ia tidak hanya kehilangan uang, tetapi juga suami yang menyalahkannya.

Dua anaknya terpaksa gagal kuliah. Dalam diskusi panel yang dihadiri berbagai pihak terkait masalah penanggulangan investasi Mukidi, seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bareskrim, saya menyarankan beberapa strategi untuk menangkal investasi Mukidi. Untuk solusi jangka menengah dan panjang, OJK perlu meningkatkan upaya edukasi keuangan untuk meningkatkan financial literacy masyarakat, terutama bagi kaum perempuan.

Survei yang dilakukan oleh OJK pada 2015 mengindikasikan hal yang sama. Financial literacy masyarakat kita hanya 21,9%. Artinya, dari 100 orang, hanya sekitar 22 orang yang melek keuangan.

OJK bisa bekerja sama dengan berbagai pihak, terutama sekolah dan perguruan tinggi. Pengenalan pengetahuan investasi dan keuangan bisa dilakukan melalui mata ajaran dan mata kuliah dengan cara yang menarik. Namun, solusi jangka pendek sangat diperlukan mengingat jumlah tawaran investasi Mukidi bertambah secara eksponensial berkat adanya internet.

Jika dulu pengelola investasi Mukidi jelas orangnya dan kantornya, sekarang mereka bersembunyi di dunia maya. Saya setuju bahwa kewenangan Satgas Waspada Investasi diperkuat agar bisa mengambil tindakan, misalnya minimal dengan peraturan presiden. Maka, jika penanggulangan masalah narkotika telah memiliki payung hukum yang kuat berupa undang-undang, perlu didorong inisiatif payung hukum untuk undang-undang penipuan keuangan.

Kita, misalnya, bisa belajar dari India yang mengamandemen undang-undang lembaga pengawas keuangan untuk memerangi investasi Ponzi yang telah memakan banyak korban. Yang dibutuhkan masyarakat saat ini adalah lembaga yang punya kewenangan menyelidiki, mengungkap, dan menindak kejahatan penipuan keuangan.

Dalam hal ini, jika OJK yang bisa diberi tugas dan kewenangan, amendemen UU OJK seperti di India bisa jadi pertimbangan. Adanya lembaga dengan kewenangan kuat seperti ini bisa menyelamatkan banyak keluarga Indonesia dari penipuan keuangan yang sama sekali tidak lucu.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.5688 seconds (0.1#10.140)