Selling Winners, Buying Losers

Senin, 19 September 2016 - 06:09 WIB
Selling Winners, Buying Losers
Selling Winners, Buying Losers
A A A
JAKARTA - Minggu lalu saya berdiskusi dengan seorang sahabat yang bekerja di perusahaan manajemen investasi terbesar di Indonesia. Kami tertarik untuk meneliti fenomena unik di dunia pasar modal, yaitu disposition effect.

Fenomena ini diungkap oleh Profesor Shefrin dan Statman (1985) dalam artikel ”The Disposition to Sell Winners Too Early, Ride Losses Too Long” di Journal of Finance. Mereka mengindikasikan bahwa investor cenderung terlalu cepat menjual saham yang sedang untung (untuk merealisasi keuntungan), dan terlalu lama menahan saham yang sedang merugi (untuk menunggu harga naik kembali).

Disposition effect timbul karena investor saham punya keyakinan yang keliru bahwa keuntungan atau kerugian yang belum direalisasi adalah tidak nyata. Berbagai penelitian empiris lanjutan di banyak negara mengamini fenomena ini. Apa yang menyebabkan fenomena ini?

Prospect Theory dari Profesor Daniel Kahneman-pakar psikologi pemenang Nobel Ekonomi 2002-dan Profesor Amos Tverski menjelaskan bahwa kenaikan harga saham USD1 pada saat investor sedang untung berbeda nilainya dengan penurunan harga saham USD1 pada saat investor sedang rugi.

Saat rugi, investor lebih sedih dibandingkan saat dia untung. Misalnya, A membeli saham X pada harga Rp100. Saat harga naik jadi Rp110, ia pasti gembira. Bagaimana kalau harga saham tersebut bukannya naik tapi turun menjadi Rp90? A tentu sedih. Nah, menurut Daniel Kahneman dan Amos Tverski, besaran ”kegembiraan” investor akibat profit dari kenaikan harga saham Rp10 lebih kecil dibanding besaran ”kesedihan” akibat kerugian dari penurunan harga saham Rp10.

Mereka menyebut gejala ini sebagai ”loss aversion”, investor cenderung lebih ”takut rugi” dari pada ”ingin untung”. Saat investor sedang berada di zona profit, ia cenderung lebih takut risiko, sehingga sigap menjual saham yang sudah untung. Namun, saat investor berada di zona loss, ia justru lebih berani ambil risiko dengan menahan lebih lama saham yang merugi.

Sebuah penelitian lanjutan (Leal, Louleiro dan Armada, ”Selling Winners, Buying Losers, 2016) mengindikasikan bahwa investor saham di Portugal juga terjangkit virus ”selling winners too early.” Investor Portugal bahkan bukan hanya memegang saham yang rugi terlalu lama, mereka menambah jumlah saham yang sedang merugi. Strategi ini (sering disebut averaging down) banyak dipakai oleh para trader dan investor saham.

Dengan averaging down, rata-rata harga beli saham menjadi turun sehingga investor yang merugi bisa lebih cepat kembali ke posisi impas (break event alias tidak untung tapi juga tidak rugi). Profesor Thaler dan Johnson (1990) menyebutnya sebagai ”Break event effect”, di mana saat posisi sedang rugi, kemungkinan untuk break event menjadi sangat menarik bagi investor.

Dengan averaging down, investor bahkan bisa segera untung saat harga saham naik. Misalnya, B membeli 1 lot saham Y pada harga Rp1.000. Karena 1 lot isinya 100 saham, dana yang diinvestasikan adalah Rp100.000. Besoknya harga Y turun jadi Rp900, dan B membeli lagi 2 lot saham Y dengan dana Rp180.000.

Sekarang rata-rata harga pembelian saham Y adalah Rp933,33 (dari Rp280.000 dibagi 300 saham). Dengan cara ini, B tidak perlu menunggu harga saham Y naik Rp100 dari Rp900 ke Rp1.000 untuk break event. Ia hanya membutuhkan kenaikan Rp33,33 untuk break event. Saat saham Y sudah naik kembali ke Rp1.000, B bahkan sudah cuan (untung) besar.

Perilaku investor membeli lebih banyak saham loser bisa menjadi strategi investasi yang buruk karena mengalokasikan terlalu banyak dana ke saham yang sejatinya kurang bagus. Saham yang harganya sedang turun punya dua kemungkinan prospek. Pertama, saham tersebut bagus tetapi harganya sedang terkoreksi terlalu tajam akibat reaksi negatif pelaku bursa yang berlebihan.

Koreksi harga yang kurang akurat membuat saham turun terlalu dalam sehingga harganya menjadi kemurahan (underpriced). Melakukan averaging down terhadap saham semacam ini bisa memberikan hasil bagus karena saham yang underpriced, cepat atau lambat, akan terkoreksi (naik).

Ambil contoh, Desember 2012 saham PT Unilever Indonesia, Tbk (UNVR) mengalami penurunan tajam 21,5% dalam dua hari (dari Rp25.950 ke Rp20.350) akibat rencana perusahaan induknya, Unilever BV di Belanda, menaikkan royalty fee Unilever Indonesia ke Unilever BV.

Rupanya investor dilanda kepanikan sehingga penurunan harga saham Unilever kebablasan. Beberapa hari kemudian harga saham UNVR naik ke level Rp21.000. Tujuh bulan kemudian, saham UNVR sudah menyentuh Rp32.000. Kedua, saham tersebut memang kurang bagus fundamentalnya sehingga wajar jika harganya turun terus.

Contoh yang paling popular adalah saham PT Bumi Resources, Tbk (BUMI). Saat krisis 2008, harga saham BUMI turun mengikuti jejak harga minyak dunia dan batubara. Saham BUMI turun 94% dari Rp 8.750 ke Rp500 dalam waktu 7 bulan. Teramat mengerikan membayangkan nasib investor yang mengaveraging down saham BUMI.

LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
(akr)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.6367 seconds (0.1#10.140)