Menabung (Saham) Pangkal Kaya

Senin, 26 September 2016 - 08:44 WIB
Menabung (Saham) Pangkal...
Menabung (Saham) Pangkal Kaya
A A A
Lukas Setia Atmaja
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School [email protected]

DISIPLIN adalah kunci untuk menjadi orang sukses. Untuk menggapai kesuksesan finansial, disiplin saja tidak cukup, tetapi juga harus cerdas.

Minggu lalu sebuah surat masuk ke kotak surat elektronik (e-mail) saya, sebut saja dari Mukidi, karyawan perusahaan swasta yang usianya kini 40 tahun. Bunyinya demikian: ”Pak Lukas, kalau selama 20 tahun secara rutin saya menyisihkan uang Rp5 juta per bulan untuk investasi, berapa kekayaan saya 20 tahun mendatang (saat pensiun)?” Hmm, memberi jawabannya jauh lebih mudah daripada menjalaninya. Maklum, menabung bukan perkara gampang.

Kebanyakan orang lebih suka menikmati uangnya sekarang daripada menunda kenikmatan. Jumlah uang Mukidi di masa yang akan datang tergantung tiga hal: jumlah uang yang diinvestasikan secara rutin, lamanya berinvestasi, serta yang paling penting, berapa imbal hasil investasinya. Kita coba simulasikan beberapa skenario untuk Mukidi. Ada lima alternatif investasi bagi Mukidi: deposito, obligasi, emas, properti, dan saham.

Analisis saya dengan data 10 tahun terakhir di Indonesia mengindikasikan bahwa deposito memberikan rata-rata imbal hasil sekitar 8% per tahun, sedangkan obligasi menyodorkan rata-rata imbal hasil sekitar 11% per tahun. Imbal hasil emas dan properti hampir sama, sekitar 15% per tahun. Namun perlu dicatat bahwa untuk properti tergantung lokasi (kota). Perbedaan imbal hasil properti di kota besar dan kecil, misalnya, relatif besar.

Saham memberikan imbal hasil tertinggi, sekitar 20% per tahun. Kita asumsikan imbal hasil 20 tahun mendatang mencerminkan kondisi 10 tahun terakhir. Jika Mukidi mendepositokan uangnya setiap bulan, dengan asumsi memperoleh bunga 8% per tahun, kekayaannya 20 tahun mendatang adalah Rp2,945 miliar (lihat tabel). Angka ini Rp1,7 miliar lebih tinggi daripada alternatif menabung uang di celengan ayam alias tidak berbunga (yang hanya Rp1,2 miliar, dari 20x12xRp5 juta).

Rp2,945 miliar terasa besar sekali, tapi Mukidi tahu bahwa 20 tahun lagi harga barang dan jasa pasti sudah melonjak tinggi. Misalnya harga sebuah mobil hari ini Rp100 juta. Jika kenaikan harga mobil adalah sekitar 15% per tahun, harga mobil tersebut 20 tahun mendatang (future value) adalah Rp2 miliar! Uang Mukidi yang terasa besar tadi hanya cukup membeli satu setengah mobil yang harganya hari ini Rp100 juta.

Dari perspektif lain, jika uang Rp2,945 miliar kita nilai sekarang (present value) dengan tingkat inflasi 8% per tahun, hasilnya adalah (hanya) Rp400 juta! Apabila tingkat inflasi ternyata lebih besar dari 8% per tahun, misalnya 10%, nilai sekarang dari uang tersebut makin kecil (Rp2,1 miliar). Perlu disadari bahwa untuk produk tertentu, tingkat inflasi bisa lebih besar daripada yang diumumkan oleh pemerintah.

Untuk produk premium, misalnya, kenaikan harganya bisa mencapai 15% per tahun. Maka, Mukidi harus mencari investasi yang bisa mengalahkan tingkat inflasi. Deposito, walaupun aman, jelas bukan lawan tangguh untuk inflasi. Jika Mukidi berinvestasi di obligasi (melalui reksa dana penghasilan tetap), uangnya akan menjadi Rp4,328 miliar (lihat Tabel). Lebih baik lagi jika ia berinvestasi di emas atau properti. Uangnya akan menjadi Rp7,486 miliar. Skenario terbaik adalah berinvestasi di saham. Uang Mukidi akan menjadi Rp15,548 miliar.

Perhatikan, perbedaan uang Mukidi 20 tahun mendatang jika ia memilih deposito dibanding saham adalah Rp12,6 miliar! Kuncinya ada pada suku bunga (imbal hasil). Perbedaan nilai pertumbuhan 8% per tahun dengan 20% per tahun akan semakin besar seiring bertambah panjangnya jangka waktu investasi. Ironisnya, mayoritas masyarakat kita lebih suka memilih Rp2,9 miliar daripada Rp15,5 miliar. Mengapa? Mengapa banyak orang masih takut berinvestasi saham?

Mayoritas masyarakat kita masih buta tentang saham atau punya persepsi yang kurang tepat tentang saham. Mereka belum sadar bahwa memiliki saham adalah memiliki sebuah bisnis/ perusahaan. Jika mereka bisa memilih bisnis yang baik dan membeli sekian persen dari bisnis tersebut pada harga yang wajar, niscaya kondisi ekonomi mereka akan lebih baik. Persepsi mereka, harga saham terlalu fluktuatif sehingga investasi saham terasa sangat spekulatif.

Sempat ada persepsi di sebagian masyarakat bahwa investasi/trading saham mirip judi. Keraguan terhadap investasi saham mulai berkurang setelah Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada Maret 2011 mengeluarkan sertifikat halal untuk mekanisme perdagangan efek bersifat ekuitas (saham). Kembali ke Mukidi, saya menyarankan agar dia mulai menabung saham.

Karena dia belum memiliki pengetahuan dan keterampilan memadai tentang investasi saham, saya menyarankan dia untuk berinvestasi saham lewat reksa dana. Jika guru zaman dulu mengajarkan ”menabung (di bank) pangkal kaya”, guru modern bakal mengajarkan ”menabung saham pangkal kaya”.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.1041 seconds (0.1#10.140)