Dibayangi The Fed, BI Sempat Galau Turunkan BI Rate
A
A
A
JAKARTA - Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI) Mirza Adityaswara mengungkapkan, sejak 2013 BI mengalami kegalauan untuk melakukan pelonggaran kebijakan moneter melalui penurunan tingkat suku bunga acuan (BI rate). Hal ini lantaran dibayangi ketidakpastian kenaikan suku bunga acuan Amerika Serikat yang dilakukan oleh The Fed.
Dia mengatakan, saat itu sama sekali tidak ada ruang untuk pemerintah menurunkan tingkat suku bunga BI rate. Meskipun, banyak pihak yang saat itu berharap BI rate bisa sedikit diturunkan.
"Karena 2013 memang tidak ada ruangnya (melonggarkan BI rate). Kalau dilonggarkan saat itu, malah membuat situasi malah tambah jelek," katanya di Gedung BI, Jakarta, Kamis (6/10/2016).
Pada saat itu, kisah Mirza, kurs nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) goyah, terjadi kredit bermasalah di perbankan, dan harga komoditas cukup terpuruk. "Waktu kurs goyang, gara-gara kondisi AS sulit diprediksi, importir tak bisa lakukan aktivitas dan perencanaan kegiataan‎," imbuh dia.
Namun, sejak Desember 2015 pola kebijakan moneter Negeri Paman Sam mulai dapat diprediksi. Kurs nilai tukar mata uang Garuda pun perlahan lebih stabil, inflasi turun, dan defisit ekspor impor barang dan jasa juga terkendali.
"Situasi sekarang sudah tenang dan orang sudah bisa melakukan kembali impor dan ekspansi. Tapi memang belum sesuai harapan," tuturnya.
Saat ini, tambah Mirza, kredit pun terus tumbuh. Bahkan, jika situasi terus aman maka kredit akan tumbuh lagi dalam enam bulan ke depan.
"Memang setelah booming, ada perlambatan ekonomi dan sekarang kita mulai recovery. Kalau situasi aman terus, kredit akan tumbuh lagi dalam enam bulan mendatang. Begitu siklus perbankan yang normal. Jadi 2017 adalah periode recovery yang berlanjut," tandas dia.
Dia mengatakan, saat itu sama sekali tidak ada ruang untuk pemerintah menurunkan tingkat suku bunga BI rate. Meskipun, banyak pihak yang saat itu berharap BI rate bisa sedikit diturunkan.
"Karena 2013 memang tidak ada ruangnya (melonggarkan BI rate). Kalau dilonggarkan saat itu, malah membuat situasi malah tambah jelek," katanya di Gedung BI, Jakarta, Kamis (6/10/2016).
Pada saat itu, kisah Mirza, kurs nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (USD) goyah, terjadi kredit bermasalah di perbankan, dan harga komoditas cukup terpuruk. "Waktu kurs goyang, gara-gara kondisi AS sulit diprediksi, importir tak bisa lakukan aktivitas dan perencanaan kegiataan‎," imbuh dia.
Namun, sejak Desember 2015 pola kebijakan moneter Negeri Paman Sam mulai dapat diprediksi. Kurs nilai tukar mata uang Garuda pun perlahan lebih stabil, inflasi turun, dan defisit ekspor impor barang dan jasa juga terkendali.
"Situasi sekarang sudah tenang dan orang sudah bisa melakukan kembali impor dan ekspansi. Tapi memang belum sesuai harapan," tuturnya.
Saat ini, tambah Mirza, kredit pun terus tumbuh. Bahkan, jika situasi terus aman maka kredit akan tumbuh lagi dalam enam bulan ke depan.
"Memang setelah booming, ada perlambatan ekonomi dan sekarang kita mulai recovery. Kalau situasi aman terus, kredit akan tumbuh lagi dalam enam bulan mendatang. Begitu siklus perbankan yang normal. Jadi 2017 adalah periode recovery yang berlanjut," tandas dia.
(izz)