Belajar dari Kasus Dimas Kanjeng
A
A
A
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
BELUM kering pena saya menulis tentang investasi bodong, yang saya plesetkan menjadi investasi Mukidi (Baca: ”Membasmi Investasi Mukidi”- SINDOnews), sudah muncul kasus baru yang lebih heboh.
Kasus dugaan penipuan penggandaan uang oleh Taat Pribadi, pemilik Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, termasuk kasus investasi bodong yang istimewa. Bayangkan, adegan penggerebekan di padepokan Dimas Kanjeng yang luasnya 30 hektare sungguh kolosal.
Pihak berwajib mengerahkan tim gabungan 2.000 personel polisi dan TNI, dipimpin langsung oleh Wakapolda Jatim. Tim ini bahkan membawa kendaraan taktis jenis barracuda serta water cannon.
Mirip adegan di sebuah film perang, bukan? Ini menunjukkan betapa pihak yang berwajib sangat berhati-hati, mungkin karena Taat Pribadi kabarnya sakti mandraguna dan punya banyak pengikut. Selain dugaan penipuan keuangan, Taat Pribadi menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan dua pengikutnya yang punya tugas mengumpulkan dana.
Padahal kalau menonton video proses penggadaan uang oleh Taat Pribadi di Youtube, kita bakal terheran-heran, ”Beginian kok orang bisa percaya ..." Namun sebagian orang percaya, Taat Pribadi punya kekuatan supranatural, metafisika, whatever power.
Mereka bagai kerbau dicocok hidungnya, berbondong-bondong menyerahkan uangnya sebagai mahar untuk digandakan. Mereka bermimpi jadi kaya raya dengan cara mudah dan cepat.
Bayangkan, uang Rp1 juta jika digandakan terus menerus sebanyak 20 kali (1 jadi 2, 2 jadi 4, dst) akan menjadi Rp1 triliun! Biasanya dalam sebuah kasus investasi bodong para korban adalah orang berpendidikan rendah yang pengetahuan keuangan dan sikap kritisnya minimalis. Kasus Dimas Kanjeng agak berbeda.
Ketua Yayasan Pedepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, Marwah Daud Ibrahim dikenal sebagai sosok cerdas yang berpendidikan tinggi. Ia lulus program doktor di bidang komunikasi internasional dari American University dengan predikat terbaik. Hadirnya cendekiawan sekelas Marwah Daud dalam kasus Dimas Kanjeng membuat kita tercengang. Bagaimana orang sepintar marwah Daud bisa percaya bahwa Dimas Kanjeng punya kemampuan menggandakan uang?
Kalau orang sepintar dan berpendidikan setinggi Marwah saja bisa percaya praktik penggandaan uang, bagaimana dengan mereka yang berpendidikan rendah? Selama ini dalam penanggulangan kasus investasi bodong, institusi pemerintah terkait memiliki premis bahwa orang yang berpengetahuan (keuangan) lebih sulit terjebak oleh tawaran investasi bodong. Maka, program sosialisasi keuangan untuk meningkatkan financial literacy (Baca: Melek Finansial) harus semakin digalakkan.
Namun sebenarnya pada kasus investasi bodong, hampir selalu ada korban yang memiliki pendidikan tinggi dan pekerjaan/profesi canggih. Contoh paling ekstrem adalah kasus skandal investasi Bernard Madoff yang membuat USD65 miliar raib. Korbannya justru sebagian besar adalah orang-orang pintar dan berpendidikan tinggi/bersertifikasi, mulai dari perusahaan pengelola aset, asuransi, bank, broker, hedge fund kelas dunia, hingga selebritas cerdas, seperti Sutradara Steven Spielberg.
Ironisnya, saat analis keuangan Harry Markopolos berupaya memberi tahu Security Exchange Committee (otoritas jasa keuangan Amerika Serikat) bahwa investasi Madoff adalah bodong, ia dianggap angin lalu. Harry Markopolos butuh waktu 10 tahun untuk menyadarkan pemerintah, pelaku industri, dan media massa bahwa Madoff sedang menjalankan investasi berbasis Skema Ponzi. Moralnya, meskipun kita berpendidikan tinggi dan berpengetahuan luas, tidak menjamin kita tidak akan terjebak penipuan investasi.
Sebaiknya kita selalu berpikir rasional, bersikap kritis dan waspada terhadap sebuah tawaran investasi. Siapa yang menawarkan? Apakah imbal hasil investasi yang ditawarkan masuk akal? Bagaimana pengelola investasi tersebut memperoleh keuntungan untuk membayar imbal hasil investasi (model bisnis)? Berusahalah untuk tidak over confident (merasa sudah pandai dan pasti benar).
Tetaplah merasa bodoh sehingga kita akan lebih hati-hati dalam membuat keputusan investasi serta terus belajar. Ingat petuah terkenal Steve Jobs, ”stay hungry, stay foolish”. Carilah opini dari sahabat, kerabat atau tanya ”Google”. Meskipun kita percaya mukjizat atau supernatural itu ada, janganlah mudah percaya dengan seseorang, meskipun ia seorang tokoh ternama, ilmuwan jenius, analis saham top, sahabat karib atau kerabat dekat. Ingat, jika uang kita melayang, mereka tidak bakal bertanggung jawab.
Bicara uang, percayalah pada diri sendiri. Akhirnya, dalam berinvestasi hindarilah keserakahan (greedy) dan kemalasan. Dalam kasus Dimas Kanjeng, korban sengaja atau tidak mencoba mematikan nalar (rasionalitas) mereka, kadang untuk selamanya. Sebagian dari mereka bahkan yakin bahwa Dimas Kanjeng yang saat ini meringkuk di tahanan hanyalah sosok gaib atau bayangan saja. Gubrak!
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
BELUM kering pena saya menulis tentang investasi bodong, yang saya plesetkan menjadi investasi Mukidi (Baca: ”Membasmi Investasi Mukidi”- SINDOnews), sudah muncul kasus baru yang lebih heboh.
Kasus dugaan penipuan penggandaan uang oleh Taat Pribadi, pemilik Padepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, termasuk kasus investasi bodong yang istimewa. Bayangkan, adegan penggerebekan di padepokan Dimas Kanjeng yang luasnya 30 hektare sungguh kolosal.
Pihak berwajib mengerahkan tim gabungan 2.000 personel polisi dan TNI, dipimpin langsung oleh Wakapolda Jatim. Tim ini bahkan membawa kendaraan taktis jenis barracuda serta water cannon.
Mirip adegan di sebuah film perang, bukan? Ini menunjukkan betapa pihak yang berwajib sangat berhati-hati, mungkin karena Taat Pribadi kabarnya sakti mandraguna dan punya banyak pengikut. Selain dugaan penipuan keuangan, Taat Pribadi menjadi tersangka dalam kasus pembunuhan dua pengikutnya yang punya tugas mengumpulkan dana.
Padahal kalau menonton video proses penggadaan uang oleh Taat Pribadi di Youtube, kita bakal terheran-heran, ”Beginian kok orang bisa percaya ..." Namun sebagian orang percaya, Taat Pribadi punya kekuatan supranatural, metafisika, whatever power.
Mereka bagai kerbau dicocok hidungnya, berbondong-bondong menyerahkan uangnya sebagai mahar untuk digandakan. Mereka bermimpi jadi kaya raya dengan cara mudah dan cepat.
Bayangkan, uang Rp1 juta jika digandakan terus menerus sebanyak 20 kali (1 jadi 2, 2 jadi 4, dst) akan menjadi Rp1 triliun! Biasanya dalam sebuah kasus investasi bodong para korban adalah orang berpendidikan rendah yang pengetahuan keuangan dan sikap kritisnya minimalis. Kasus Dimas Kanjeng agak berbeda.
Ketua Yayasan Pedepokan Dimas Kanjeng Taat Pribadi, Marwah Daud Ibrahim dikenal sebagai sosok cerdas yang berpendidikan tinggi. Ia lulus program doktor di bidang komunikasi internasional dari American University dengan predikat terbaik. Hadirnya cendekiawan sekelas Marwah Daud dalam kasus Dimas Kanjeng membuat kita tercengang. Bagaimana orang sepintar marwah Daud bisa percaya bahwa Dimas Kanjeng punya kemampuan menggandakan uang?
Kalau orang sepintar dan berpendidikan setinggi Marwah saja bisa percaya praktik penggandaan uang, bagaimana dengan mereka yang berpendidikan rendah? Selama ini dalam penanggulangan kasus investasi bodong, institusi pemerintah terkait memiliki premis bahwa orang yang berpengetahuan (keuangan) lebih sulit terjebak oleh tawaran investasi bodong. Maka, program sosialisasi keuangan untuk meningkatkan financial literacy (Baca: Melek Finansial) harus semakin digalakkan.
Namun sebenarnya pada kasus investasi bodong, hampir selalu ada korban yang memiliki pendidikan tinggi dan pekerjaan/profesi canggih. Contoh paling ekstrem adalah kasus skandal investasi Bernard Madoff yang membuat USD65 miliar raib. Korbannya justru sebagian besar adalah orang-orang pintar dan berpendidikan tinggi/bersertifikasi, mulai dari perusahaan pengelola aset, asuransi, bank, broker, hedge fund kelas dunia, hingga selebritas cerdas, seperti Sutradara Steven Spielberg.
Ironisnya, saat analis keuangan Harry Markopolos berupaya memberi tahu Security Exchange Committee (otoritas jasa keuangan Amerika Serikat) bahwa investasi Madoff adalah bodong, ia dianggap angin lalu. Harry Markopolos butuh waktu 10 tahun untuk menyadarkan pemerintah, pelaku industri, dan media massa bahwa Madoff sedang menjalankan investasi berbasis Skema Ponzi. Moralnya, meskipun kita berpendidikan tinggi dan berpengetahuan luas, tidak menjamin kita tidak akan terjebak penipuan investasi.
Sebaiknya kita selalu berpikir rasional, bersikap kritis dan waspada terhadap sebuah tawaran investasi. Siapa yang menawarkan? Apakah imbal hasil investasi yang ditawarkan masuk akal? Bagaimana pengelola investasi tersebut memperoleh keuntungan untuk membayar imbal hasil investasi (model bisnis)? Berusahalah untuk tidak over confident (merasa sudah pandai dan pasti benar).
Tetaplah merasa bodoh sehingga kita akan lebih hati-hati dalam membuat keputusan investasi serta terus belajar. Ingat petuah terkenal Steve Jobs, ”stay hungry, stay foolish”. Carilah opini dari sahabat, kerabat atau tanya ”Google”. Meskipun kita percaya mukjizat atau supernatural itu ada, janganlah mudah percaya dengan seseorang, meskipun ia seorang tokoh ternama, ilmuwan jenius, analis saham top, sahabat karib atau kerabat dekat. Ingat, jika uang kita melayang, mereka tidak bakal bertanggung jawab.
Bicara uang, percayalah pada diri sendiri. Akhirnya, dalam berinvestasi hindarilah keserakahan (greedy) dan kemalasan. Dalam kasus Dimas Kanjeng, korban sengaja atau tidak mencoba mematikan nalar (rasionalitas) mereka, kadang untuk selamanya. Sebagian dari mereka bahkan yakin bahwa Dimas Kanjeng yang saat ini meringkuk di tahanan hanyalah sosok gaib atau bayangan saja. Gubrak!
(dmd)