Cool
A
A
A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure
www.yuswohady.com
@yuswohady
BELUM lama berselang saya membaca sebuah buku yang membuat saya terus berpikir. Buku itu berjudul Cool: How the BrainCool: How the Brains Hidden Quest for Cool Drives Our Economy and Shapes our World (2015) karya Steven Quartz dan Anette Asp.
Sebelum membaca buku tersebut, beberapa tahun terakhir saya meyakini bahwa coolness (sesuatu yang keren) merupakan faktor yang sangat penting sebagai penentu keputusan membeli (decision to buy) konsumen. Rupanya buku ini mengonfirmasinya.
Ambil contoh gampang, orang membeli produk Apple, apakah iPhone, iPod, atau Mac bukanlah karena kecanggihan teknologi atau keawetannya semata, tapi karena coolness-nya. Karena Apple adalah sebuah merek yang cool . Orang membeli Toyota Prius bukanlah semata karena bensinnya yang irit atau rancangannya yang ramah lingkungan, tapi karena Prius itu cool . Apa itu cool ?
Sinyal
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya akan sedikit menguraikan sebuah teori yang disebut teori sinyal atau lengkapnya Costly Signaling Theory. Ide dasar teori ini mengatakan bahwa secara tak sadar (unconsciously) seseorang akan memperlihatkan sebuah sinyal kepada orang lain sebagai cara untuk mengomunikasikan siapa dia sesungguhnya (status, kekayaan, karakter, nilai-nilai, identitas, aspirasi, gaya hidup, dan sebagainya).
Dengan sinyal tersebut orang lain akan tahu bagaimana seharusnya bersikap dan menjalin hubungan dengan orang tersebut. Contoh gampangnya Toyota Prius tadi. Seseorang membeli mobil Toyota Prius bukan melulu untuk keperluan alat transportasi.
Orang tersebut menggunakan Toyota Prius sebagai sinyal untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa dia adalah sosok yang memiliki kepedulian lingkungan.
Ketika disurvei, 57% pembeli Prius di Amerika Serikat mengatakan alasan utama mereka membeli adalah "make a statement about me". Sementara hanya 37% pembeli yang mengatakan "“fuel economy" sebagai pertimbangan mereka memilih mobil hibrida massal pertama di dunia ini.
Singkatnya, dia menggunakan Toyota Prius sebagai alat untuk mengomunikasikan kepada orang lain siapa dia sesungguhnya. Dalam kasus Apple, kita membeli dan memakai produk Apple sebagai sebuah sinyal untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa kita sosok yang kreatif, berani beda, dan fun selaras dengan brand identity Apple.
Seorang konglomerat nasional banyak memberi sumbangan dan melakukan kegiatan filantropi. Itu dia lakukan sebagai sebuah sinyal untuk menunjukkan kepada publik bahwa dia sosok yang peduli kepada masyarakat dan lingkungannya.
Cool Signal
Nah, dalam buku tersebut Steven-Asp menyimpulkan bahwa sesuatu yang dianggap cool oleh suatu masyarakat tertentu bisa menjadi sinyal yang ampuh untuk mengomunikasikan kepada orang lain siapa kita.
Quartz-Asp melihat pada 1950-an misalnya muncul apa yang mereka sebut Rebel Cool di mana sesuatu yang bersifat memberontak (rebellious) merupakan sesuatu yang dianggap keren sehingga mereka yang mengadopsi rebellious lifestyle misalnya dianggap sebagai orang-orang yang keren.
Menariknya, konsep cool ini bersifat dinamis dan bisa berubah dari masa ke masa. Rebellious lifestyle yang pada 1950-an merupakan sesuatu yang keren, begitu memasuki 1990-an menjadi tidak lagi, digantikan oleh apa yang mereka sebut DotCool .
Kalau dalam Rebel Cool pemberontakan merupakan sesuatu yang keren, di era DotCool, kreativitas, inovasi, sesuatu yang tak biasa (unconventionality), dan pembelajaran (learning) dianggap sebagai bentuk kekerenan baru (new cool).
Kalau pada 1950-an, sosok seperti James Dean atau Elvis Presley dianggap sebagai sosok ideal yang mewakili era Rebel Cool, pada 1990-an sosok seperti Steve Jobs atau Bill Gates (dan belakangan Mark Zuckerberg) dianggap sebagai sosok yang menjadi role model bagi era DotCool .
Cool Factor
Apa sedikit pelajaran yang bisa kita petik dari buku tersebut? Bahwa coolness atau saya lebih senang menyebutnya cool factor bisa menjadi faktor kunci untuk menaklukkan konsumen. Begitu Anda bisa menyuntikkan cool factor ke dalam produk dan layanan Anda, pastilah si konsumen akan klepek-klepek tak berdaya untuk menolaknya. Kalau begitu, Anda harus bisa dengan jeli menemukan cool factor tersebut.
Agar sedikit punya gambaran, berikut beberapa contoh cool factor yang patut Anda cermati. Kenapa memesan makan siang di kantor lewat Go-Food atau memesan taksi lewat GrabTaxi itu cool? Kenapa juga menjadi backpacker yang mencari tempat-tempat penginapan murah di AirBnB itu cool? Karena, sesuatu yang berbau digital itu cool, digital lifestyle itu cool. Pesannya, digital adalah cool factor yang ampuh.
Kenapa tokoh superhero komik DC atau Marvel seperti Superman, Batman, The Avengers, dan Captain America lebih cool dibanding tokoh superhero lokal seperti Gatotkaca, Godam, Gundala, dan Si Buta dari Gua Hantu. Karena, sesuatu yang berbau global itu lebih cool ketimbang lokal.
So, citra global bisa menjadi kandidat cool factor produk Anda. Kenapa TOMS, merek sepatu paling hot di Amerika saat ini, yang mendonasikan sepasang sepatu kepada masyarakat papa untuk setiap sepasang sepatu yang terjual begitu cool? Juga, kenapa Blake Mycoski sang pendiri yang menyebut posisinya Chief of Shoe Giver adalah sosok yang cool dan menginspirasi? Karena, giving itu cool.
So, suntikkan unsur giving sebagai cool factor produk Anda. Satu lagi, kenapa Prius menjadi merek mobil paling cool saat ini? Karena, Prius adalah mobil yang paling peduli dengan nasib bumi kita.
Green is always cool. So, gunakan kepedulian lingkungan sebagai elemen cool factor Anda. Anda boleh berimajinasi, berkreasi, dan mengeksplorasi apa pun yang hendak Anda jadikan cool factor. So, pertanyaan terakhir saya: apa cool factor produk Anda?
Managing Partner, Inventure
www.yuswohady.com
@yuswohady
BELUM lama berselang saya membaca sebuah buku yang membuat saya terus berpikir. Buku itu berjudul Cool: How the BrainCool: How the Brains Hidden Quest for Cool Drives Our Economy and Shapes our World (2015) karya Steven Quartz dan Anette Asp.
Sebelum membaca buku tersebut, beberapa tahun terakhir saya meyakini bahwa coolness (sesuatu yang keren) merupakan faktor yang sangat penting sebagai penentu keputusan membeli (decision to buy) konsumen. Rupanya buku ini mengonfirmasinya.
Ambil contoh gampang, orang membeli produk Apple, apakah iPhone, iPod, atau Mac bukanlah karena kecanggihan teknologi atau keawetannya semata, tapi karena coolness-nya. Karena Apple adalah sebuah merek yang cool . Orang membeli Toyota Prius bukanlah semata karena bensinnya yang irit atau rancangannya yang ramah lingkungan, tapi karena Prius itu cool . Apa itu cool ?
Sinyal
Sebelum menjawab pertanyaan tersebut, saya akan sedikit menguraikan sebuah teori yang disebut teori sinyal atau lengkapnya Costly Signaling Theory. Ide dasar teori ini mengatakan bahwa secara tak sadar (unconsciously) seseorang akan memperlihatkan sebuah sinyal kepada orang lain sebagai cara untuk mengomunikasikan siapa dia sesungguhnya (status, kekayaan, karakter, nilai-nilai, identitas, aspirasi, gaya hidup, dan sebagainya).
Dengan sinyal tersebut orang lain akan tahu bagaimana seharusnya bersikap dan menjalin hubungan dengan orang tersebut. Contoh gampangnya Toyota Prius tadi. Seseorang membeli mobil Toyota Prius bukan melulu untuk keperluan alat transportasi.
Orang tersebut menggunakan Toyota Prius sebagai sinyal untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa dia adalah sosok yang memiliki kepedulian lingkungan.
Ketika disurvei, 57% pembeli Prius di Amerika Serikat mengatakan alasan utama mereka membeli adalah "make a statement about me". Sementara hanya 37% pembeli yang mengatakan "“fuel economy" sebagai pertimbangan mereka memilih mobil hibrida massal pertama di dunia ini.
Singkatnya, dia menggunakan Toyota Prius sebagai alat untuk mengomunikasikan kepada orang lain siapa dia sesungguhnya. Dalam kasus Apple, kita membeli dan memakai produk Apple sebagai sebuah sinyal untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa kita sosok yang kreatif, berani beda, dan fun selaras dengan brand identity Apple.
Seorang konglomerat nasional banyak memberi sumbangan dan melakukan kegiatan filantropi. Itu dia lakukan sebagai sebuah sinyal untuk menunjukkan kepada publik bahwa dia sosok yang peduli kepada masyarakat dan lingkungannya.
Cool Signal
Nah, dalam buku tersebut Steven-Asp menyimpulkan bahwa sesuatu yang dianggap cool oleh suatu masyarakat tertentu bisa menjadi sinyal yang ampuh untuk mengomunikasikan kepada orang lain siapa kita.
Quartz-Asp melihat pada 1950-an misalnya muncul apa yang mereka sebut Rebel Cool di mana sesuatu yang bersifat memberontak (rebellious) merupakan sesuatu yang dianggap keren sehingga mereka yang mengadopsi rebellious lifestyle misalnya dianggap sebagai orang-orang yang keren.
Menariknya, konsep cool ini bersifat dinamis dan bisa berubah dari masa ke masa. Rebellious lifestyle yang pada 1950-an merupakan sesuatu yang keren, begitu memasuki 1990-an menjadi tidak lagi, digantikan oleh apa yang mereka sebut DotCool .
Kalau dalam Rebel Cool pemberontakan merupakan sesuatu yang keren, di era DotCool, kreativitas, inovasi, sesuatu yang tak biasa (unconventionality), dan pembelajaran (learning) dianggap sebagai bentuk kekerenan baru (new cool).
Kalau pada 1950-an, sosok seperti James Dean atau Elvis Presley dianggap sebagai sosok ideal yang mewakili era Rebel Cool, pada 1990-an sosok seperti Steve Jobs atau Bill Gates (dan belakangan Mark Zuckerberg) dianggap sebagai sosok yang menjadi role model bagi era DotCool .
Cool Factor
Apa sedikit pelajaran yang bisa kita petik dari buku tersebut? Bahwa coolness atau saya lebih senang menyebutnya cool factor bisa menjadi faktor kunci untuk menaklukkan konsumen. Begitu Anda bisa menyuntikkan cool factor ke dalam produk dan layanan Anda, pastilah si konsumen akan klepek-klepek tak berdaya untuk menolaknya. Kalau begitu, Anda harus bisa dengan jeli menemukan cool factor tersebut.
Agar sedikit punya gambaran, berikut beberapa contoh cool factor yang patut Anda cermati. Kenapa memesan makan siang di kantor lewat Go-Food atau memesan taksi lewat GrabTaxi itu cool? Kenapa juga menjadi backpacker yang mencari tempat-tempat penginapan murah di AirBnB itu cool? Karena, sesuatu yang berbau digital itu cool, digital lifestyle itu cool. Pesannya, digital adalah cool factor yang ampuh.
Kenapa tokoh superhero komik DC atau Marvel seperti Superman, Batman, The Avengers, dan Captain America lebih cool dibanding tokoh superhero lokal seperti Gatotkaca, Godam, Gundala, dan Si Buta dari Gua Hantu. Karena, sesuatu yang berbau global itu lebih cool ketimbang lokal.
So, citra global bisa menjadi kandidat cool factor produk Anda. Kenapa TOMS, merek sepatu paling hot di Amerika saat ini, yang mendonasikan sepasang sepatu kepada masyarakat papa untuk setiap sepasang sepatu yang terjual begitu cool? Juga, kenapa Blake Mycoski sang pendiri yang menyebut posisinya Chief of Shoe Giver adalah sosok yang cool dan menginspirasi? Karena, giving itu cool.
So, suntikkan unsur giving sebagai cool factor produk Anda. Satu lagi, kenapa Prius menjadi merek mobil paling cool saat ini? Karena, Prius adalah mobil yang paling peduli dengan nasib bumi kita.
Green is always cool. So, gunakan kepedulian lingkungan sebagai elemen cool factor Anda. Anda boleh berimajinasi, berkreasi, dan mengeksplorasi apa pun yang hendak Anda jadikan cool factor. So, pertanyaan terakhir saya: apa cool factor produk Anda?
(izz)