#GenM = Global Generation
A
A
A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
KOLOM minggu ini saya masih membahas mengenai Generation Muslim atau #GenM. #GenM adalah judul buku baru saya yang terbit dua minggu lalu (6/12) yang membahas muslim generasi baru di Indonesia, yaitu muslim modern yang lahir di penghujung tahun1980-an.
Karena lahir di kurun waktu yang sama, mereka memiliki kejadian dan pengalaman-pengalaman sosio-historis yang sama. Karena pengaruh pengalaman sosio-historis bersama tersebut, #GenM memiliki empat karakteristik yang unik dan hanya ada di Indonesia. Pertama, mereka religius dan taat pada kaidah-kaidah Islam. Kedua, mereka melihat Islam sebagai rahmatan lil alamin yang memberikan kebaikan universal (universal goodness) kepada seluruh umat manusia. Ketiga, mereka modern, berpengetahuan, melek teknologi, dan berwawasan global.
Keempat, mereka makmur dengan daya beli memadai, kemampuan berinvestasi lumayan, dan jiwa memberi (zakat dan sedekah) yang cukup tinggi. Kolom minggu ini secara khusus saya akan membahas #GenM sebagai sosok generasi global (global generation).
Global Mindset
By-default mereka lahir sebagai warga dari “global village“. #GenM juga lahir di era di mana informasi, nilai-nilai, gaya hidup, teknologi, dan produk global bisa mereka akses demikian mudah. Musik yang mereka dengarkan, film yang mereka tonton, produk yang mereka beli, dan informasi yang mereka akses semuanya serba global melintas batas-batas negara. Ketika Captain of America main di New York, di hari yang sama juga premiere di Jakarta atau Yogya.
Dengan Netflix mereka bisa menikmati film-film box office dunia. Melalui TV kabel yang ongkos berlangganannya kian murah, mereka menonton CNN, HBO, atau E! sama banyaknya dengan menonton Dangdut Indosiar atau Tetangga Masak Gitu-nya NET TV. Role models mereka adalah Mark Zuckerberg, Elon Mask, Malala Yousafzai, Justin Bieber, atau Ariana Grande, di samping tokoh-tokoh lokal. Karena itu, kami menyebut #GenM adalah juga “Global Generation“.
Dengan ada global exposure yang begitu masif, terutama karena ada internet, faktor-faktor yang membentuk budaya mereka tak lagi berlangsung di tingkat lokal seperti kota atau negara. Nilai-nilai, perilaku, dan harapan mereka dibentuk oleh faktor-faktor yang terjadi di tingkat global. Di era di mana segala sesuatu terkoneksi oleh internet, #GenM kian memiliki global mindset dan global point of view dibanding generasi muslim sebelumnya. Mereka mulai melihat masyarakat global sebagai bagian dari komunitasnya. Karena itu, bahasa Inggris (bahkan bahasa Mandarin) sudah merupakan keharusan untuk dikuasai, dan mereka mulai mencari peluang untuk bisa bersekolah, bekerja, dan hidup di luar negeri.
Pengetahuan dan wawasan yang meningkat pesat memengaruhi nilai-nilai pencapaian (achievement values) #GenM. Dengan terbukanya pengetahuan dan wawasan tak hanya di level lokal/nasional, tapi juga global, mereka akan semakin bisa melihat dan membandingkan standar pencapaian di negara-negara lain. Dan, hal tersebut bisa mendorong mereka untuk memenuhi standar pencapaian global tersebut. Dengan terbukanya informasi global melalui berbagai media seperti internet, media sosial, TV kabel (CNN, BBC, dan sebagainya), #GenM semakin menjadi “warga dunia” dan menggunakan standar-standar pencapaian global.
Mereka tak lagi menjadi “katak dalam tempurung” yang terkungkung dalam standar-standar pencapaian lokal/ nasional. Di samping itu, mereka juga memiliki global solidarity dengan sesama kaum muslim di belahan lain dunia. Ketika kaum muslim di Eropa dan Amerika dimusuhi dan diintimidasi sebagai dampak maraknya terorisme di negara Barat, mereka berempati baik dengan memberikan dukungan langsung atau sekadar membangun opini di media sosial. Begitu pula ketika majalah Charlie Hebdo di Prancis menghina Nabi Muhammad SAW, spontan mereka melakukan pembelaan.
Global is Cool
#GenM memandang sesuatu yang berlabel “global” sebagai sesuatu yang cool. Globalization, global market, global corporation, global brand, global culture, global lifestyle, global citizen, global fashion, Hollywood, hip-hop, boy band, apa pun yang berlabel global selalu dipandang lebih cool oleh #GenM. Dan, bukanlah sebuah kebetulan jika apa-apa yang berlabel global itu datangnya dari negara-negara Barat yang dianggap memiliki peradaban yang lebih maju.
Kami tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan 350 tahun kita dijajah bangsa Barat. Tokoh superhero komik DC atau Marvel, seperti Superman, Batman, The Avengers, dan Captain America misalnya lebih cool dibandingkan dengan tokoh superhero lokal seperti Gatotkaca, Godam, Gundala, dan si Buta dari Gua Hantu. One Direction, Justin Bieber, Adele, atau Megan Trainor lebih cool ketimbang Raisa atau Afgan. Begitupun American Idol, The X Factor, atau America’s Got Talent lebih cool dari Dangdut Academy (D’Academy) atau Kontes Dangdut TPI (KDI). Musik jazz, hip-hop, atau k-pop lebih cool dibandingkan dangdut atau campursari.
Bekerja dan berkarier di perusahaan- perusahaan global, seperti GE, Google, atau Unilever itu cool. Karena bekerja di perusahaan global, penugasan dan kantornya berpindah- pindah dari Singapura, Hong Kong, Abu Dhabi, London, hingga New York: itu cool. Ahmad Fuadi adalah poster boy dari sosok #GenM yang mengglobal. Ia novelis lulusan pondok pesantren Gontor. Ia menulis novel Negeri 5 Menara yang mengangkat tema karakter Islam, perjuangan hidup, dan globalisasi. Ia adalah sosok muslim yang menjadi “anak segala bangsa” karena bertualang ke berbagai negara baik sebagai wartawan maupun mahasiswa penerima beasiswa.
Fuadi mendapatkan 10 beasiswa, fellowship, exchange program, dan residency dari universitas-universitas top dunia seperti: The George Washington University, University of London, atau UC Berkeley. Singkatnya, ia adalah sosok muslim dengan identitas keglobalan yang cool. Ia adalah role model dari generasi baru muslim yang saya beri nama #GenM.
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady
KOLOM minggu ini saya masih membahas mengenai Generation Muslim atau #GenM. #GenM adalah judul buku baru saya yang terbit dua minggu lalu (6/12) yang membahas muslim generasi baru di Indonesia, yaitu muslim modern yang lahir di penghujung tahun1980-an.
Karena lahir di kurun waktu yang sama, mereka memiliki kejadian dan pengalaman-pengalaman sosio-historis yang sama. Karena pengaruh pengalaman sosio-historis bersama tersebut, #GenM memiliki empat karakteristik yang unik dan hanya ada di Indonesia. Pertama, mereka religius dan taat pada kaidah-kaidah Islam. Kedua, mereka melihat Islam sebagai rahmatan lil alamin yang memberikan kebaikan universal (universal goodness) kepada seluruh umat manusia. Ketiga, mereka modern, berpengetahuan, melek teknologi, dan berwawasan global.
Keempat, mereka makmur dengan daya beli memadai, kemampuan berinvestasi lumayan, dan jiwa memberi (zakat dan sedekah) yang cukup tinggi. Kolom minggu ini secara khusus saya akan membahas #GenM sebagai sosok generasi global (global generation).
Global Mindset
By-default mereka lahir sebagai warga dari “global village“. #GenM juga lahir di era di mana informasi, nilai-nilai, gaya hidup, teknologi, dan produk global bisa mereka akses demikian mudah. Musik yang mereka dengarkan, film yang mereka tonton, produk yang mereka beli, dan informasi yang mereka akses semuanya serba global melintas batas-batas negara. Ketika Captain of America main di New York, di hari yang sama juga premiere di Jakarta atau Yogya.
Dengan Netflix mereka bisa menikmati film-film box office dunia. Melalui TV kabel yang ongkos berlangganannya kian murah, mereka menonton CNN, HBO, atau E! sama banyaknya dengan menonton Dangdut Indosiar atau Tetangga Masak Gitu-nya NET TV. Role models mereka adalah Mark Zuckerberg, Elon Mask, Malala Yousafzai, Justin Bieber, atau Ariana Grande, di samping tokoh-tokoh lokal. Karena itu, kami menyebut #GenM adalah juga “Global Generation“.
Dengan ada global exposure yang begitu masif, terutama karena ada internet, faktor-faktor yang membentuk budaya mereka tak lagi berlangsung di tingkat lokal seperti kota atau negara. Nilai-nilai, perilaku, dan harapan mereka dibentuk oleh faktor-faktor yang terjadi di tingkat global. Di era di mana segala sesuatu terkoneksi oleh internet, #GenM kian memiliki global mindset dan global point of view dibanding generasi muslim sebelumnya. Mereka mulai melihat masyarakat global sebagai bagian dari komunitasnya. Karena itu, bahasa Inggris (bahkan bahasa Mandarin) sudah merupakan keharusan untuk dikuasai, dan mereka mulai mencari peluang untuk bisa bersekolah, bekerja, dan hidup di luar negeri.
Pengetahuan dan wawasan yang meningkat pesat memengaruhi nilai-nilai pencapaian (achievement values) #GenM. Dengan terbukanya pengetahuan dan wawasan tak hanya di level lokal/nasional, tapi juga global, mereka akan semakin bisa melihat dan membandingkan standar pencapaian di negara-negara lain. Dan, hal tersebut bisa mendorong mereka untuk memenuhi standar pencapaian global tersebut. Dengan terbukanya informasi global melalui berbagai media seperti internet, media sosial, TV kabel (CNN, BBC, dan sebagainya), #GenM semakin menjadi “warga dunia” dan menggunakan standar-standar pencapaian global.
Mereka tak lagi menjadi “katak dalam tempurung” yang terkungkung dalam standar-standar pencapaian lokal/ nasional. Di samping itu, mereka juga memiliki global solidarity dengan sesama kaum muslim di belahan lain dunia. Ketika kaum muslim di Eropa dan Amerika dimusuhi dan diintimidasi sebagai dampak maraknya terorisme di negara Barat, mereka berempati baik dengan memberikan dukungan langsung atau sekadar membangun opini di media sosial. Begitu pula ketika majalah Charlie Hebdo di Prancis menghina Nabi Muhammad SAW, spontan mereka melakukan pembelaan.
Global is Cool
#GenM memandang sesuatu yang berlabel “global” sebagai sesuatu yang cool. Globalization, global market, global corporation, global brand, global culture, global lifestyle, global citizen, global fashion, Hollywood, hip-hop, boy band, apa pun yang berlabel global selalu dipandang lebih cool oleh #GenM. Dan, bukanlah sebuah kebetulan jika apa-apa yang berlabel global itu datangnya dari negara-negara Barat yang dianggap memiliki peradaban yang lebih maju.
Kami tidak tahu apakah ini ada hubungannya dengan 350 tahun kita dijajah bangsa Barat. Tokoh superhero komik DC atau Marvel, seperti Superman, Batman, The Avengers, dan Captain America misalnya lebih cool dibandingkan dengan tokoh superhero lokal seperti Gatotkaca, Godam, Gundala, dan si Buta dari Gua Hantu. One Direction, Justin Bieber, Adele, atau Megan Trainor lebih cool ketimbang Raisa atau Afgan. Begitupun American Idol, The X Factor, atau America’s Got Talent lebih cool dari Dangdut Academy (D’Academy) atau Kontes Dangdut TPI (KDI). Musik jazz, hip-hop, atau k-pop lebih cool dibandingkan dangdut atau campursari.
Bekerja dan berkarier di perusahaan- perusahaan global, seperti GE, Google, atau Unilever itu cool. Karena bekerja di perusahaan global, penugasan dan kantornya berpindah- pindah dari Singapura, Hong Kong, Abu Dhabi, London, hingga New York: itu cool. Ahmad Fuadi adalah poster boy dari sosok #GenM yang mengglobal. Ia novelis lulusan pondok pesantren Gontor. Ia menulis novel Negeri 5 Menara yang mengangkat tema karakter Islam, perjuangan hidup, dan globalisasi. Ia adalah sosok muslim yang menjadi “anak segala bangsa” karena bertualang ke berbagai negara baik sebagai wartawan maupun mahasiswa penerima beasiswa.
Fuadi mendapatkan 10 beasiswa, fellowship, exchange program, dan residency dari universitas-universitas top dunia seperti: The George Washington University, University of London, atau UC Berkeley. Singkatnya, ia adalah sosok muslim dengan identitas keglobalan yang cool. Ia adalah role model dari generasi baru muslim yang saya beri nama #GenM.
(dmd)