Digitalisasi Sektor Ekonomi Kreatif Didorong Tuntas di 2017
A
A
A
JAKARTA - Digitalisasi di sektor ekonomi kreatif seperti musik, film, penjualan buku serta hak kekayaan intelektual lainnya menurut Anggota Komisi X DPR RI Anang Hermanyah jadi hal mutlak pada 2017, mendatang. Menurutnya tahun depan semua urusan yang terkait dengan sektor ekonomi kreatif harus masuk dalam sistem digital, sebagai upaya transparansi.
“Dengan digitaliasi sistem ini akan berdampak pada transparansi. Ujungnya pada peningkatan pendapatan negara serta penguatan kepada pelaku kreatif,” ujar Anang di Jakarta, Jumat (30/12/2016).
Musisi asal Jember ini mencontohkan sistem digitalisasi yang dimaksud seperti di sektor musik yang harus diketahui secaara presisi oleh pelaku industri musik mulai dari pencipta lagu serta penyanyi kapan dan dimana lagunya diputar baik di rumah karaoke, restoran, pusat perbelanjaan dan lain-lain yang erat kaitannya dengan pembayaran royalti.
“Aturannya sudah ada di UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terdapat kewenangan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Sayang sampai hari ini belum ada aturan operasional yang detil,” sambungnya.
Hal yang sama, lanjut dia, juga diterapkan dalam industri perfilman di Indonesia. Menurutnya sudah saatnya Indonesia menerapkan sistem box office untuk mendapat pemetaan yang akurat tentang penyebaran film yang tengah diputar. Tidak sekadar itu, dengan sistem ini, distribusi film akan transparan dan akuntabel.
“Efek positifnya, penerimaan negara melalui pajak dari sektor film akan akuntabel dan transparan. Dengan sisten ini juga akan menguntungkan bagi pelaku industri film mulai dari pemain film, sutradara, produser dan seluruh pihak yang terlibat,” terang Anang.
Lebih lanjut dia berharap pemerintah secara serius untuk membereskan agenda digitalisasi sistem terkait dengan hak cipta dan karya intelektual. Langkah tersebut menurut dia mestinya bisa dilakukan asal ada kehendak politik yang kuat dari pemeirntah.
“Seperti persoalan pungli saja bisa dibereskan, masa perkara akuntabilitas dalam hak cipta tidak bisa dilakukan? Jika mungkin, Presiden bisa turun tangan juga untuk menyelesaikan persoalan ini. Karena sektor ini terkait dengan daya saing kita dengan negara-negara lainnya. Ini soal marwah dan martabat Indonesia,” paparnya.
Menurut dia, persoalan pembajakan produk karya intekektual seperti musik dan film hingga saat ini masih mudah dijumpai di lapangan. Padahal, dia mengaku sejak lama telah menyuarakan pemberantasan pembajakan ini.
"Tapi faktanya pembajakan secara demonstratif mudah ditemukan di pasaran. Pelaku pembajakan benar-benar melecehkan hukum dan aparat penegak hukum. Saya paham mengapa masih terjadi pembajakan, karena aktor intelektualnya belum ditindak sampai detik ini," ucap Anang.
Anang mengutip data Asosiasi Industri Rekamam Indonesia (ASIRI) pada tahun 2014 mengungkapkan kerugian industri sebesar Rp 12,6 triliun serta kerugian negara melalui pajak sebesar Rp1,2 triliun. Angka tersebut terdiri dari pembajakan fisik, pembajakan digital, penyalahgunaan konten di rumah karaoke serta hak hak pertunjukan di televisi dan radio. "Saya meyakini, jika sistem pengawasannya real time melalui online penyelewengan di sektor ini akan dapat ditekan," terang dia.
“Dengan digitaliasi sistem ini akan berdampak pada transparansi. Ujungnya pada peningkatan pendapatan negara serta penguatan kepada pelaku kreatif,” ujar Anang di Jakarta, Jumat (30/12/2016).
Musisi asal Jember ini mencontohkan sistem digitalisasi yang dimaksud seperti di sektor musik yang harus diketahui secaara presisi oleh pelaku industri musik mulai dari pencipta lagu serta penyanyi kapan dan dimana lagunya diputar baik di rumah karaoke, restoran, pusat perbelanjaan dan lain-lain yang erat kaitannya dengan pembayaran royalti.
“Aturannya sudah ada di UU No 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta terdapat kewenangan Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). Sayang sampai hari ini belum ada aturan operasional yang detil,” sambungnya.
Hal yang sama, lanjut dia, juga diterapkan dalam industri perfilman di Indonesia. Menurutnya sudah saatnya Indonesia menerapkan sistem box office untuk mendapat pemetaan yang akurat tentang penyebaran film yang tengah diputar. Tidak sekadar itu, dengan sistem ini, distribusi film akan transparan dan akuntabel.
“Efek positifnya, penerimaan negara melalui pajak dari sektor film akan akuntabel dan transparan. Dengan sisten ini juga akan menguntungkan bagi pelaku industri film mulai dari pemain film, sutradara, produser dan seluruh pihak yang terlibat,” terang Anang.
Lebih lanjut dia berharap pemerintah secara serius untuk membereskan agenda digitalisasi sistem terkait dengan hak cipta dan karya intelektual. Langkah tersebut menurut dia mestinya bisa dilakukan asal ada kehendak politik yang kuat dari pemeirntah.
“Seperti persoalan pungli saja bisa dibereskan, masa perkara akuntabilitas dalam hak cipta tidak bisa dilakukan? Jika mungkin, Presiden bisa turun tangan juga untuk menyelesaikan persoalan ini. Karena sektor ini terkait dengan daya saing kita dengan negara-negara lainnya. Ini soal marwah dan martabat Indonesia,” paparnya.
Menurut dia, persoalan pembajakan produk karya intekektual seperti musik dan film hingga saat ini masih mudah dijumpai di lapangan. Padahal, dia mengaku sejak lama telah menyuarakan pemberantasan pembajakan ini.
"Tapi faktanya pembajakan secara demonstratif mudah ditemukan di pasaran. Pelaku pembajakan benar-benar melecehkan hukum dan aparat penegak hukum. Saya paham mengapa masih terjadi pembajakan, karena aktor intelektualnya belum ditindak sampai detik ini," ucap Anang.
Anang mengutip data Asosiasi Industri Rekamam Indonesia (ASIRI) pada tahun 2014 mengungkapkan kerugian industri sebesar Rp 12,6 triliun serta kerugian negara melalui pajak sebesar Rp1,2 triliun. Angka tersebut terdiri dari pembajakan fisik, pembajakan digital, penyalahgunaan konten di rumah karaoke serta hak hak pertunjukan di televisi dan radio. "Saya meyakini, jika sistem pengawasannya real time melalui online penyelewengan di sektor ini akan dapat ditekan," terang dia.
(akr)