Perdagangan Bebas Gagal Atasi Kesenjangan Kaya dan Miskin
A
A
A
DAVOS - Sejumlah pemimpin bisnis global mempertanyakan peranan globalisasi alias perdagangan bebas dalam mengatasi ketimpangan dan mengurangi isu perubahan iklim. Masalah ini juga menjadi survei terbaru dari perusahaan audit terkemuka PricewaterhouseCoopers (PwC).
Melansir dari CNBC, Selasa (17/1/2017), selama 20 tahun terakhir, para top CEO dunia berpikir bahwa globalisasi telah memberi kontribusi positif terhadap perdagangan dan manusia. Namun, dalam survei yang dilansir menjelang Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, para responden justru mengatakan skeptis terhadap perdagangan bebas.
Dalam survei yang dilakukan PwC sepanjang September hingga Desember 2016, sebanyak 40% responden mengatakan bahwa perdagangan bebas tidak berdampak sama sekali dalam menutup kesenjangan antara kaya dan miskin. Hanya 13% responden yang setuju bahwa globalisasi telah membantu ketidaksetaraan ini.
Survei di atas dilakukan terhadap 1.379 chief executive officer di 79 negara, dengan cara online, via pos, tatap muka, dan wawancara telepon. Hasil survei terbaru PwC ini kontras dengan survei tahun 1998, ketika itu para CEO berpikir bahwa globalisasi akan berdampak positif bagi kesenjangan ekonomi dan sosial.
Namun pendapat tadi mulai menyusut setelah hampir dua dekade, alias di tahun 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 35% CEO percaya bahwa perdagangan bebas tidak membantu keadilan. Dan 28% tidak percaya bahwa globalisasi telah menghindari perubahan iklim atau mengatasi kelangkaan sumber daya.
Perdagangan bebas kini mulai dipertanyakan oleh beberapa negara. Hampir 12 bulan terakhir, perdagangan bebas mulai menyurut oleh pola kebijakan populis. Beberapa menyebutnya sebagai tindakan proteksionis. Seperti hengkangnya Inggris dari Uni Eropa alias Brexit dan kemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat, yang dinilai menerapkan kebijakan inward looking. Para analis percaya bahwa para pemilih mulai mempertanyakan globalisasi dan model sosial ekonomi saat ini.
Mengutip survei konsumen PwC, bahwa hanya 38% dari masyarakat yang percaya bahwa perdagangan bebas memiliki dampak positif pada peningkatan pergerakan modal, orang, barang dan informasi. Sisanya mengatakan tidak puas.
“Ketidakpuasan publik memiliki potensi mengikis kepercayaan yang diperlukan untuk mencapai kinerja berkelanjutan. Ini tantangan nyata, bagaimana perlunya CEO memiliki hubungan dua arah dengan stakeholder, pelanggan, karyawan, dan masyarakat,” kata Chairman PwC Robert Moritz.
Dan menurut Moritz, para pemimpin harus memahami akar penyebab ketidakpuasan sebagai langkah kritis pertama agar manfaat ekonomi berkesinambungan bagi masyarakat. “Ada banyak yang diperhatikan jika kita ingin mencapai pertumbuhan global yang inklusif”.
Ketika ditanya soal Donald Trump, Moritz mengatakan kepada CNBC, bahwa ada tingkat kepercayaan dari CEO dan masyarakat bahwa mereka akan mendapatkan lebih banyak kepastian sekitar perpajakan dan regulasi.
Moritz mengatakan menciptakan pertumbuhan ekonomi harus menciptakan pekerjaan. Jadi, tambah dia, sebuah negara harus benar-benar berinvestasi dalam pendidikan dan benar-benar berinvestasi dalam menciptakan pekerjaan baru, bila ingin menjadi pusat ekonomi.
Melansir dari CNBC, Selasa (17/1/2017), selama 20 tahun terakhir, para top CEO dunia berpikir bahwa globalisasi telah memberi kontribusi positif terhadap perdagangan dan manusia. Namun, dalam survei yang dilansir menjelang Forum Ekonomi Dunia (WEF) di Davos, Swiss, para responden justru mengatakan skeptis terhadap perdagangan bebas.
Dalam survei yang dilakukan PwC sepanjang September hingga Desember 2016, sebanyak 40% responden mengatakan bahwa perdagangan bebas tidak berdampak sama sekali dalam menutup kesenjangan antara kaya dan miskin. Hanya 13% responden yang setuju bahwa globalisasi telah membantu ketidaksetaraan ini.
Survei di atas dilakukan terhadap 1.379 chief executive officer di 79 negara, dengan cara online, via pos, tatap muka, dan wawancara telepon. Hasil survei terbaru PwC ini kontras dengan survei tahun 1998, ketika itu para CEO berpikir bahwa globalisasi akan berdampak positif bagi kesenjangan ekonomi dan sosial.
Namun pendapat tadi mulai menyusut setelah hampir dua dekade, alias di tahun 2017. Hasil penelitian menunjukkan bahwa 35% CEO percaya bahwa perdagangan bebas tidak membantu keadilan. Dan 28% tidak percaya bahwa globalisasi telah menghindari perubahan iklim atau mengatasi kelangkaan sumber daya.
Perdagangan bebas kini mulai dipertanyakan oleh beberapa negara. Hampir 12 bulan terakhir, perdagangan bebas mulai menyurut oleh pola kebijakan populis. Beberapa menyebutnya sebagai tindakan proteksionis. Seperti hengkangnya Inggris dari Uni Eropa alias Brexit dan kemenangan Donald Trump dalam Pilpres Amerika Serikat, yang dinilai menerapkan kebijakan inward looking. Para analis percaya bahwa para pemilih mulai mempertanyakan globalisasi dan model sosial ekonomi saat ini.
Mengutip survei konsumen PwC, bahwa hanya 38% dari masyarakat yang percaya bahwa perdagangan bebas memiliki dampak positif pada peningkatan pergerakan modal, orang, barang dan informasi. Sisanya mengatakan tidak puas.
“Ketidakpuasan publik memiliki potensi mengikis kepercayaan yang diperlukan untuk mencapai kinerja berkelanjutan. Ini tantangan nyata, bagaimana perlunya CEO memiliki hubungan dua arah dengan stakeholder, pelanggan, karyawan, dan masyarakat,” kata Chairman PwC Robert Moritz.
Dan menurut Moritz, para pemimpin harus memahami akar penyebab ketidakpuasan sebagai langkah kritis pertama agar manfaat ekonomi berkesinambungan bagi masyarakat. “Ada banyak yang diperhatikan jika kita ingin mencapai pertumbuhan global yang inklusif”.
Ketika ditanya soal Donald Trump, Moritz mengatakan kepada CNBC, bahwa ada tingkat kepercayaan dari CEO dan masyarakat bahwa mereka akan mendapatkan lebih banyak kepastian sekitar perpajakan dan regulasi.
Moritz mengatakan menciptakan pertumbuhan ekonomi harus menciptakan pekerjaan. Jadi, tambah dia, sebuah negara harus benar-benar berinvestasi dalam pendidikan dan benar-benar berinvestasi dalam menciptakan pekerjaan baru, bila ingin menjadi pusat ekonomi.
(ven)