Memilih Kepala Daerah ala Investor

Senin, 30 Januari 2017 - 06:54 WIB
Memilih Kepala Daerah...
Memilih Kepala Daerah ala Investor
A A A
LUKAS SETIA ATMAJA
Financial Expert - Prasetiya Mulya Business School
Vice Chairman-Indonesian Institute for Corporate Directorship (IICD)


TIBALAH kita pada H-17 pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak gelombang kedua pada 15 Februari 2017 di 101 daerah dari tingkat provinsi, kabupaten, dan kota.

Moment of truth bagi sebagian daerah di Indonesia. Lagu yang ditembangkan grup band Cokelat, Lima Menit untuk Lima Tahun, menyambut Pemilu 2009 mengingatkan kita pentingnya untuk memilih. Bukan hanya asal memilih, tetapi memilih yang terbaik.

Bagi si Polan, seorang investor saham, memilih calon kepala daerah yang terbaik mirip memilih sebuah saham pemenang. Si Polan berusaha mencari sebanyak mungkin informasi mengenai pasangan calon kepala daerah (paslonkada).

Bak analis saham kawakan, dia bedah semua aspek fundamental para pasangan calon. Dari latar belakang, visi, gaya kepemimpinan, kecerdasan, hingga janji atau kontrak politik pada berbagai aspek. Misalnya, ekonomi, pendidikan, kesejahteraan rakyat, pembangunan infrastruktur, HAM, tenaga kerja, pertanian, penegakan hukum, birokrasi pemerintahan dan hankam.

Apakah sasaran dan program yang dijanjikan solid, terukur dan realistis? Sebagai fundamentalist sejati, Si Polan membedah masalah tata kelola atau governance, yakni masalah moral hazard antara pemegang saham (rakyat) dan manajemen (pemerintah daerah dan partai politik pendukung). Dia yakin bahwa pertumbuhan ekonomi tidak akan banyak berarti jika rakyat tidak menikmatinya secara maksimal karena dikorup oleh manajemen. Maka, aspek kepala daerah yang memiliki tata kelola yang amanah (good governance) patut menjadi pertimbangan utama.

Harap maklum, tingkat korupsi di Indonesia masih tetap tinggi. Buktinya Komisi Pemberantasan (KPK), Agustus 2016 silam mengungkap adanya 18 gubernur dan 343 bupati/ wali kota yang terjerat kasus korupsi. Badan antikorupsi dunia, Transparency International, beberapa waktu lalu mengeluarkan laporan tahunan atas hasil upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan 176 negara setahun terakhir ini (diukur dengan Corruption Perception Index-CPI).

Indonesia memperoleh nilai CPI 37 dari nilai maksimal 100 dan berada di peringkat ke-90. Dari sisi skor ada kenaikan satu poin, tetapi dari sisi peringkat terjadi penurunan dua tingkat dari tahun lalu. Meski berusaha untuk rasional, dalam memilih si Polan sedikit banyak dipengaruhi oleh aspek psikologis. Untungnya dia teringat ilmu behavioral finance sehingga berusaha mengoptimalkan pilihan dengan meminimalkan bias psikologis. Misalnya, confirmation bias.

Ini adalah kecenderungan investor mencari konfirmasi atas apa yang sudah diyakininya, lalu mengolah informasi yang mendukung keyakinannya. Sama halnya dengan pilkada, pemilih yang telah “jatuh cinta” pada calon tertentu hanya mau mendengar hal-hal positif tentang jagonya. Padahal, seperti dinyatakan oleh Earth, Wind & Fire, “After the love has gone, what used to be right is wrong...“ Dalam membuat keputusan, investor juga mudah dijangkiti anchoring bias, yaitu tendensi untuk terlalu mengandalkan sebuah patokan atau anchor (bisa berupa angka atau informasi).

Di pasar modal, pernyataan para analis saham tentang support dan resistance level akan membuat anchor di benak investor. Akibatnya, mereka akan mengambil keputusan jual atau beli berdasarkan angka patokan tersebut. Pada pilkada, positioning yang kuat dari calon akan membentuk anchor di benak pemilih. Tanpa perlu mengetahui lebih jauh tentang fundamental pasangan calon, pemilih akan mengambil keputusan berdasarkan anchor tersebut.

Pemilih sulit untuk lepas dari pemikiran bahwa calon A lebih membela rakyat atau calon B lebih baik karena lebih cepat memutuskan. Makanya, ada isu pemanfaatan lembaga survei untuk membentuk anchor tingkat elektabilitas calon tertentu. Ujung-ujungnya masyarakat menjadi bingung karena hasil survei yang berbeda- beda. Hati-hati pula dengan representativeness bias atau tendensi untuk mengambil keputusan berdasarkan pengalaman terkini.

Misalnya, ketika IHSG (indeks harga saham gabungan) naik tajam beberapa minggu terakhir, investor segera berpikir bahwa pasar saham telah pulih. Data sesaat dianggap mewakili siklus yang panjang. Pada kampanye pilkada, para calon membombardir pemilih dengan informasi terkini untuk menutupi kelemahannya di masa lalu. Di ujung masa bakti, pemerintah incumbent (petahana) berusaha mengambil hati rakyat agar mereka melupakan ketidaknyamanan yang pernah dibuat.

Si Polan sadar bahwa dia harus memilih berdasarkan informasi yang komprehensif. Meski demikian, dia masih bisa ketularan status quo bias, yakni kecenderungan untuk tidak ingin mengubah sebuah perilaku yang sudah established bila tidak ada insentif yang cukup menarik.

Akhirnya, gunakan hak pilih Anda dengan hati dan pikiran terbuka. Selamat “menembak” pasangan calon (secara rasional)! Semoga calon terpilih tidak memperlakukan janjinya seperti lirik lagu band Kuburan, Lupa Lupa Ingat: C A Minor D Minor ke G ke C Lagi ...
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.0972 seconds (0.1#10.140)