Rektor USU: PP Gambut Tidak Pro Masyarakat
A
A
A
MEDAN - Pemerintah perlu merevisi PP 57 Tahun 2016 berikut empat Peraturan Menteri LHK tentang perlindungan dan pengelolaan ekosistem gambut agar tidak berdampak negatif bagi masyarakat petani di sektor perkebunan.
“Jika kawasan gambut yang sejak puluhan tahun lalu diupayakan masyarakat untuk budidaya, tiba-tiba fungsinya berubah menjadi kawasan lindung, kemana masyarakat akan pergi?” tanya Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Untung Sitepu dalam Lokakarya Implikasi PP 57 Tahun 2016 Jo PP 71/2014 bertema “Mau kemana industri perkebunan industri di lahan gambut” di Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan, Rabu (15/3/2017).
Karena itu, harap Sitepu, lokakarya ini harus mampu menghasilkan rekomendasi untuk merevisi PP 57/2016 agar lebih menunjukkan keperpihakan kepada para petani dan kemajuan produktivitas budidaya kelapa sawit.
“Di sini, berkumpul para pakar yang dapat merekomendasikan cara pelestarian gambut tanpa merugikan masyarakat luas. Pendapat para akademisi yang memiliki netralistas dan keilmuan yang tinggi yang dapat memberikan gagasan untuk pelestarian gambut tanpa harus merugikan masyarakat secara luas,” kata mantan Dekan Fakultas hukum tersebut.
Pengamat perkebunan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sapta Raharja, menilai, PP 572016 memiliki implikasi negatif terhadap budidaya kelapa sawit dalam jangka panjang.
Pasalnya, sejumlah pasal dari PP tersebut cenderung mematikan budidaya kelapa sawit secara perlahan. Bahkan dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan persoalan ekonomi di tingkat lokal dan nasional karena penurunan produktivitas kelapa sawit dan multiplier effect-nya, akibat matinya pengembangan ekonomi lokal.
Konflik sosial juga akan bermunculan karena banyaknya masyarakat yang akan kelihangan mata pencaharian dan sumber penghasilan keluarga petani sawit.
“Saat ini, setidaknya ada 340.000 kepala keluarga petani yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit. Mereka akan kehilangan mata pencaharian jika dari 1,5-1,7 juta hektare lahan gambut yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit berubah menjadi kawasan lindung.”
Pendapat senada dikemukakan pengajar Universitas Sumatera Utara Dr Sabrina. Menurut dia, penerbitan PP tersebut tidak menghargai perjuangan rakyat Indonesia yang telah menginvestasikan waktu panjang dan uang untuk mengelola gambut.
“Dulu gambut tidak dilirik. Lahan ini lebih cocok sebagai tempat jin buang anak. Kini setelah masyarakat, terutama para transmigran yang sebelumnya gagal mengelola sawah dan kini berhasil memanfaatkan gambut untuk penanaman sawit, dengan mudah ingin disingkirkan begitu saja.”
Herry Susanto, Ketua KUD Panji Rukun Labuan Batu Selatan, Sumatra Utara, mengatakan, sudah sejak lama petani binaannya melakukan penananam sawit mengikuti kaidah yang sejalan dengan tujuan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dilahan gambut.
“Masyarakat melakukan penanaman secara bertanggung jawab agar tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Kami memahami pentingnya melakukan penanaman secara berkelanjutan,” kata dia.
Menurut Herry, komitmen untuk melakukan penanaman secara bertanggung jawab di lahan gambut telah membuahkan hasil. Di KUD Panji Rukun dengan jumlah petani plasma sebanya 390 KK, terjadi peningkatan produksi TBS kelapa sawit dari 24.833 ton per ha/tahun pada 2014 meningkat jadi 26.513 ton per ha/tahun pada 2016.
Kenaikan juga terjadi KUD Karya Maju. Dengan jumlah petani plasma 400 KK, produksi TBS kelapa sawit meningkat dari 23.839 ton per ha/tahun pada 2014 naik menjadi jadi 26.27 ton per ha/tahun pada 2016.
Lahan gambut yang sebelumnya bernilai ekonomis rendah, setelah ditanam kelapa sawit menjadi lahan produktif yang bernilai jual tinggi. Ini prestasi yang luar biasa. Penanaman yang kami lakukan mampu menyejahterakan masyarakat, khususnya petani PIR Trans.
“Komoditas kelapa sawit di lahan gambut terutama di Sumatra Utara terbukti dapat menyumbang peningkatan perekonomian rakyat, perekonomian daerah dan perekonomian nasional,“ kata dia.
“Jika kawasan gambut yang sejak puluhan tahun lalu diupayakan masyarakat untuk budidaya, tiba-tiba fungsinya berubah menjadi kawasan lindung, kemana masyarakat akan pergi?” tanya Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Untung Sitepu dalam Lokakarya Implikasi PP 57 Tahun 2016 Jo PP 71/2014 bertema “Mau kemana industri perkebunan industri di lahan gambut” di Universitas Sumatera Utara (USU) di Medan, Rabu (15/3/2017).
Karena itu, harap Sitepu, lokakarya ini harus mampu menghasilkan rekomendasi untuk merevisi PP 57/2016 agar lebih menunjukkan keperpihakan kepada para petani dan kemajuan produktivitas budidaya kelapa sawit.
“Di sini, berkumpul para pakar yang dapat merekomendasikan cara pelestarian gambut tanpa merugikan masyarakat luas. Pendapat para akademisi yang memiliki netralistas dan keilmuan yang tinggi yang dapat memberikan gagasan untuk pelestarian gambut tanpa harus merugikan masyarakat secara luas,” kata mantan Dekan Fakultas hukum tersebut.
Pengamat perkebunan Institut Pertanian Bogor (IPB) Sapta Raharja, menilai, PP 572016 memiliki implikasi negatif terhadap budidaya kelapa sawit dalam jangka panjang.
Pasalnya, sejumlah pasal dari PP tersebut cenderung mematikan budidaya kelapa sawit secara perlahan. Bahkan dalam jangka panjang berpotensi menimbulkan persoalan ekonomi di tingkat lokal dan nasional karena penurunan produktivitas kelapa sawit dan multiplier effect-nya, akibat matinya pengembangan ekonomi lokal.
Konflik sosial juga akan bermunculan karena banyaknya masyarakat yang akan kelihangan mata pencaharian dan sumber penghasilan keluarga petani sawit.
“Saat ini, setidaknya ada 340.000 kepala keluarga petani yang menggantungkan hidupnya dari perkebunan sawit. Mereka akan kehilangan mata pencaharian jika dari 1,5-1,7 juta hektare lahan gambut yang digunakan untuk budidaya kelapa sawit berubah menjadi kawasan lindung.”
Pendapat senada dikemukakan pengajar Universitas Sumatera Utara Dr Sabrina. Menurut dia, penerbitan PP tersebut tidak menghargai perjuangan rakyat Indonesia yang telah menginvestasikan waktu panjang dan uang untuk mengelola gambut.
“Dulu gambut tidak dilirik. Lahan ini lebih cocok sebagai tempat jin buang anak. Kini setelah masyarakat, terutama para transmigran yang sebelumnya gagal mengelola sawah dan kini berhasil memanfaatkan gambut untuk penanaman sawit, dengan mudah ingin disingkirkan begitu saja.”
Herry Susanto, Ketua KUD Panji Rukun Labuan Batu Selatan, Sumatra Utara, mengatakan, sudah sejak lama petani binaannya melakukan penananam sawit mengikuti kaidah yang sejalan dengan tujuan pembangunan perkebunan kelapa sawit berkelanjutan dilahan gambut.
“Masyarakat melakukan penanaman secara bertanggung jawab agar tidak berdampak negatif terhadap lingkungan. Kami memahami pentingnya melakukan penanaman secara berkelanjutan,” kata dia.
Menurut Herry, komitmen untuk melakukan penanaman secara bertanggung jawab di lahan gambut telah membuahkan hasil. Di KUD Panji Rukun dengan jumlah petani plasma sebanya 390 KK, terjadi peningkatan produksi TBS kelapa sawit dari 24.833 ton per ha/tahun pada 2014 meningkat jadi 26.513 ton per ha/tahun pada 2016.
Kenaikan juga terjadi KUD Karya Maju. Dengan jumlah petani plasma 400 KK, produksi TBS kelapa sawit meningkat dari 23.839 ton per ha/tahun pada 2014 naik menjadi jadi 26.27 ton per ha/tahun pada 2016.
Lahan gambut yang sebelumnya bernilai ekonomis rendah, setelah ditanam kelapa sawit menjadi lahan produktif yang bernilai jual tinggi. Ini prestasi yang luar biasa. Penanaman yang kami lakukan mampu menyejahterakan masyarakat, khususnya petani PIR Trans.
“Komoditas kelapa sawit di lahan gambut terutama di Sumatra Utara terbukti dapat menyumbang peningkatan perekonomian rakyat, perekonomian daerah dan perekonomian nasional,“ kata dia.
(ven)