Pelaku Industri Kreatif Usulkan Penarikan Royalti Berbasis Teknologi
A
A
A
JAKARTA - Langkah Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) yang akan menerapkan penarikan royalti dengan sistem borongan dinilai pelaku industri kreatif musik bukan langkah tepat. LMKN diminta untuk menerapkan sistem berbasis teknologi sehingga lebih transparan.
“Saya tidak setuju dengan sistem royalti borongan per tahun Rp50 ribu atau berapa pun. Karena dengan mekanisme itu perhitungan royalti yang nantinya dibagikan kepada pemegang royalti menjadi abu-abu. Kalau sudah abu-abu berpotensi korupsi,” ujar pelaku industri musik Katon Bagaskara, menanggapi tarif royalti musik yang telah diatur Undang-undang Nomor 28/2014 tentang Hak Cipta (UUHC), dalam keterangan tertulis, Selasa (21/3/2017).
Menurut Katon, jika semua pihak punya niat baik, sebenarnya bisa digunakan teknologi yang bisa menghitung berapa musik dan lagu apa saja yang diputar di ruang karaoke, setiap hari selama setahun. Malaysia dan Singapura sudah menerapkan teknologi tersebut sekitar 10 tahun.
“Dengan menerapkan teknologi ini semua perhitungan menjadi detil dan transparan, lagu apa saja dan berapa kali yang diputar lebih jelas," terangnya.
Menurut Katon, biaya sewa teknologi tersebut hanya sekitar Rp50 miliar per tahun, sementara potensi pendapatan negara Rp3,1 triliun. Pemerintah bisa menyediakan teknologi itu dan kemudian bisa mendapatkan lebih banyak pendapatan dari yang dikeluarkan.
“Pengusaha dan pemerintah tinggal duduk bersama, jadi tidak perlu berdebat. LMKN ini sudah dua tahun, seharusnya bisa menerapkan sistem yang tidak rapuh dan abu-abu. Jika berantem terus nanti tidak jalan-jalan,” tandas pelantun lagu Negeri di Awan itu.
“Saya tidak setuju dengan sistem royalti borongan per tahun Rp50 ribu atau berapa pun. Karena dengan mekanisme itu perhitungan royalti yang nantinya dibagikan kepada pemegang royalti menjadi abu-abu. Kalau sudah abu-abu berpotensi korupsi,” ujar pelaku industri musik Katon Bagaskara, menanggapi tarif royalti musik yang telah diatur Undang-undang Nomor 28/2014 tentang Hak Cipta (UUHC), dalam keterangan tertulis, Selasa (21/3/2017).
Menurut Katon, jika semua pihak punya niat baik, sebenarnya bisa digunakan teknologi yang bisa menghitung berapa musik dan lagu apa saja yang diputar di ruang karaoke, setiap hari selama setahun. Malaysia dan Singapura sudah menerapkan teknologi tersebut sekitar 10 tahun.
“Dengan menerapkan teknologi ini semua perhitungan menjadi detil dan transparan, lagu apa saja dan berapa kali yang diputar lebih jelas," terangnya.
Menurut Katon, biaya sewa teknologi tersebut hanya sekitar Rp50 miliar per tahun, sementara potensi pendapatan negara Rp3,1 triliun. Pemerintah bisa menyediakan teknologi itu dan kemudian bisa mendapatkan lebih banyak pendapatan dari yang dikeluarkan.
“Pengusaha dan pemerintah tinggal duduk bersama, jadi tidak perlu berdebat. LMKN ini sudah dua tahun, seharusnya bisa menerapkan sistem yang tidak rapuh dan abu-abu. Jika berantem terus nanti tidak jalan-jalan,” tandas pelantun lagu Negeri di Awan itu.
(dmd)