Solar Rentan Mafia, PLN Diminta Beralih ke Gas untuk Pembangkit Listrik
A
A
A
JAKARTA - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengimbau PT PLN (Persero) untuk segera beralih dari penggunaan minyak ke gas. Pasalnya, mekanisme penggunaan minyak, dalam hal ini solar yang digunakan untuk pembangkit sangat rawan dan dikendalikan mafia.
"Bagi pembangkit yang sudah ada pasokan gas, segera gunakan untuk efisiensi. Tinggalkan minyak atau solar karena mekanisme yang rumit dan rentan mafia," kata Anggota BPK Achsanul Kosasih di Jakarta, Rabu (5/4/2017).
Menurutnya, PLN harus selalu mengedepankan prinsip efisiensi. Ia berharap inefisiensi yang terjadi sebelumnya segera dibenahi. "Mereka (PLN) ada kesalahan manejemen lama. Ketika itu membangun dan memproduksi listrik berbasis solar. Iu tindakan yang tidak efisien," katanya.
Seperti diketahui, pada laporan hasil pemeriksaan BPK-RI Nomor 30/Auditama VII/PDTT/09/2011 tertanggal 16 September 2011, salah satunya menemukan inefisiensi dalam penggunaan bahan bakar untuk produksi listrik. Sebanyak delapan pembangkit yang harusnya dioperasikan menggunakan bahan bakar gas, justru menggunakan bahan bakar minyak yakni high speed diesel (HSD) atau solar.
Seperti pembangkit Tambak Lorok pada 2009 inefisiensi Rp2,71 triliun dan pada 2010 inefisiensi Rp2,61 triliun, pembangkit Tanjung Priok inefisiensi Rp5,08 triliun pada 2009 sedangkan pada 2010 inefisiensi Rp6,23 triliun.
Dari delapan pembangkit dalam laporan BPK tersebut, PLN kehilangan kesempatan untuk melakukan penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp17,9 triliun pada 2009 dan Rp19,6 triliun pada 2010. "Ini jangan sampai terulang, jangan ada lagi pembangkit PLN yang salah minum," tegas Achsanul.
Ia menambahkan, PLN juga harus mengurangi pembangkit listrik yang saat ini masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan segera dialihkan ke batu bara dan gas, terkecuali di beberapa daerah yang memang kesulitan pasokan baru bara dan gas.
Terlebih, tambah dia, PLN tengah menggarap megaproyek 35.000 MW. Jangan sampai proyek fast track program pertama (FTP-1) 10.000 MW terulang kembali pada proyek 35.000 MW.
"Pada FTP-1 10.000 MW saat ini hanya 48% yang berfungsi menyumbang kapasitas pasokan listrik. BPK juga menemukan, saat ini pembangkit-pembangkit solar rata-rata sudah rusak, karena pihak pemasok dari China hanya menjual mesin dan suku cadang, sedangkan untuk pemelihataan tidak tersedia," tandasnya.
"Bagi pembangkit yang sudah ada pasokan gas, segera gunakan untuk efisiensi. Tinggalkan minyak atau solar karena mekanisme yang rumit dan rentan mafia," kata Anggota BPK Achsanul Kosasih di Jakarta, Rabu (5/4/2017).
Menurutnya, PLN harus selalu mengedepankan prinsip efisiensi. Ia berharap inefisiensi yang terjadi sebelumnya segera dibenahi. "Mereka (PLN) ada kesalahan manejemen lama. Ketika itu membangun dan memproduksi listrik berbasis solar. Iu tindakan yang tidak efisien," katanya.
Seperti diketahui, pada laporan hasil pemeriksaan BPK-RI Nomor 30/Auditama VII/PDTT/09/2011 tertanggal 16 September 2011, salah satunya menemukan inefisiensi dalam penggunaan bahan bakar untuk produksi listrik. Sebanyak delapan pembangkit yang harusnya dioperasikan menggunakan bahan bakar gas, justru menggunakan bahan bakar minyak yakni high speed diesel (HSD) atau solar.
Seperti pembangkit Tambak Lorok pada 2009 inefisiensi Rp2,71 triliun dan pada 2010 inefisiensi Rp2,61 triliun, pembangkit Tanjung Priok inefisiensi Rp5,08 triliun pada 2009 sedangkan pada 2010 inefisiensi Rp6,23 triliun.
Dari delapan pembangkit dalam laporan BPK tersebut, PLN kehilangan kesempatan untuk melakukan penghematan biaya bahan bakar sebesar Rp17,9 triliun pada 2009 dan Rp19,6 triliun pada 2010. "Ini jangan sampai terulang, jangan ada lagi pembangkit PLN yang salah minum," tegas Achsanul.
Ia menambahkan, PLN juga harus mengurangi pembangkit listrik yang saat ini masih menggunakan bahan bakar minyak (BBM) dan segera dialihkan ke batu bara dan gas, terkecuali di beberapa daerah yang memang kesulitan pasokan baru bara dan gas.
Terlebih, tambah dia, PLN tengah menggarap megaproyek 35.000 MW. Jangan sampai proyek fast track program pertama (FTP-1) 10.000 MW terulang kembali pada proyek 35.000 MW.
"Pada FTP-1 10.000 MW saat ini hanya 48% yang berfungsi menyumbang kapasitas pasokan listrik. BPK juga menemukan, saat ini pembangkit-pembangkit solar rata-rata sudah rusak, karena pihak pemasok dari China hanya menjual mesin dan suku cadang, sedangkan untuk pemelihataan tidak tersedia," tandasnya.
(ven)