Pariwisata Inc

Minggu, 09 April 2017 - 21:27 WIB
Pariwisata Inc
Pariwisata Inc
A A A
YUSWOHADY
Managing Partner, Inventure www.yuswohady.com @yuswohady

SAYA beruntung minggu lalu bisa hadir di Rakornas Kementerian Pariwisata (Kemenpar) di Hotel Borobudur Jakarta.

Rakornas yang membahas konektivitas pariwisata itu mengundang para kepala dinas pariwisata dari berbagai provinsi dan seluruh stakeholders pariwisata dari kalangan industri pariwisata, maskapai penerbangan, bandara, Kementerian Perhubungan, bahkan Kementerian Kesehatan.

Sebuah kenyataan yang terus terang mencengangkan saya dari rakornas tersebut adalah data yang dikemukakan Menteri Pariwisata (Menpar) Arief Yahya mengenai kondisi konektivitas pariwisata kita.

Kata Menpar, sekitar 75% wisman (wisatawan mancanegara) yang datang ke Indonesia melalui udara (air connectivity). Sisanya 24% lewat laut, terutama menggunakan feri dan sebagian kecil menggunakan cruise dan yacht . Sementara itu hanya 1% wisman masuk lewat darat.

Celakanya, wisman yang masuk dari pasar utama wisman sebagian besar masih melalui transit, bukan direct flight. Padahal, kita tahu, mereka pasti menginginkan datang ke berbagai destinasi yang kita tawarkan secara langsung, jadi enggak ribet. Ambil contoh untuk originasi China, hanya 38% penumpang dari negara ini yang direct flight ke Indonesia, sisanya lewat transit.

Kita masih tertinggal jauh dari negara-negara tetangga pesaing kita. Dari China ke Malaysia misalnya, 78% sudah direct flight dan ke Thailand 81%. Angka mencengangkan lagi saya dapat dari sisi kapasitas kursi pesawat (seat capacity) dari penerbangan internasional kita saat ini.

Berdasarkan perhitungan Kemenpar, hingga tahun 2019 mendatang kita mengalami defisit kursi pesawat sebesar 10,5 juta seat untuk bisa mendatangkan 20 juta. Perinciannya: di tahun 2017 kita defisit 4 juta seat, 2018 defisit 3,5 juta, 2019 defisit 3 juta.

Kolaborasi

Pertanyaan sederhana saya, siapa yang menyediakan penerbangan untuk menutup defisit 20,5 juta kursi pesawat tersebut? Siapa yang bertanggung jawab membangun bandara untuk menampung pesawat maskapai asing yang membuka jalur ke Tanah Air?

Sebab untuk menutup defisit kursi pesawat tentu dibutuhkan perluasan bandara atau bahkan pembangunan bandara baru. Juga siapa yang bisa mendorong maskapai-maskapai asing untuk mau membuka jalur penerbangan ke Indonesia? Jawabannya tentu bukan Kemenpar.

Yang punya kewenangan untuk membereskan konektivitas pariwisata tersebut adalah Kementerian Perhubungan. Itu konetivitas pariwisata dari sisi udara. Contoh lain adalah dalam hal akomodasi pariwisata seperti hotel dan penginapan. Tahun ini Kemenpar mencanangkan pembangunan 100.000 homestay, khususnya di 10 destinasi wisata ”Bali Baru”. Kenapa homestay? Karena kalau membangun hotel, angka 100.000 itu tak mungkin tercapai untuk bisa mendatangkan 20 juta wisman di tahun 2019.

Pertanyaannya lagi, siapa yang harus membangun homestay tersebut untuk menutup defisit 100.000 unit? Sekali lagi jawabannya bukan Kemenpar, tapi Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).

Contoh di atas saya kemukakan hanya untuk menunjukkan bahwa pengembangan pariwisata bukanlah pekerjaan Kemenpar semata. Pariwisata memiliki cakupan bidang yang amat luas sehingga mustahil dikelola satu kementerian saja. Harus ada kolaborasi antarkementerian yang terkait erat dengan pariwisata seperti Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Kementerian Perhubungan, Kementerian PUPR, Kementerian Agraria.

Dan untuk mengorkestrasi seluruh kementerian tersebut agar bergerak harmonis dan selaras ke satu arah tujuan, Presiden harus memainkan peran kunci. Itu kalau memang Presiden komit dengan sikapnya untuk menjadikan pariwisata sebagai core economy selepas turunnya peran migas dalam perekonomian Indonesia. Campur tangan Presiden diperlukan karena pasti tiap menteri terkait tersebut memiliki kepentingan dan prioritas kementerian masing-masing.

Saya kira tanpa peran powerful dari Presiden sebagai orchestrator dan resource allocator, sektor pariwisata yang solid dan kokoh mustahil bisa diwujudkan. Akan menjadi indah jika ko-laborasi nasional di bawah nakhoda Presiden ini dibungkus dalam semangat incorporated. Saya menyebutnya ”pariwisata incorporated ” atau ”pariwisata inc”.

Belajar dari Jepang


Dalam rakornas minggu lalu Menpar memberikan suatu contoh kasus menarik mengenai kolaborasi nasional untuk menggarap sektor pariwisata, yaitu di Jepang. Dalam tiga tahun terakhir, kenaikan wisman ke Jepang sangat menakjubkan. Pertumbuhannya eksponensial, nyaris double, dari 10 juta turis pada 2013 melonjak hampir 20 juta di 2015 dan kemudian melonjak lagi menjadi 24 juta pada 2016.

Apa rahasianya? Memang Jepang melakukan kebijakan-kebijakan yang taktis untuk menggaet wisman masuk ke Jepang, seperti relaxation of visa rule, depresiasi mata uang yen tahun 2013, atau mendorong berkembangnya maskapai low cost carrier (LCC) yang menjadi ”jembatan udara” wisman masuk ke Jepang.

Namun di luar itu ada faktor kunci yang menjadi leverage pertumbuhan eksponensial sektor pariwisata Jepang, yaitu pariwisata inc. Di Jepang sektor pariwisata dikelola minister of land, infrastructure, transport and tourism.

Artinya seluruh ekosistem sektor pariwisata dinaungi dalam satu atap oleh satu kementerian. Karena semua urusan berada dalam satu atap kementerian, semua kebijakan bisa diputuskan dengan cepat tanpa banyak birokrasi. Tak hanya itu, eksekusi setiap kebijakan itu juga berjalan sangat efektif.

Yang menarik adalah bahwa di dalam kementerian itu terdapat bidang agraria. Barangkali kita bertanya, kenapa bidang agraria masuk ke dalamnya? Ya, karena untuk membangun hotel, homestay, jalan tol, bandara, atau pelabuhan, tentu saja kita membutuhkan perizinan yang menyangkut pertanahan.

Kita tahu dalam pembangunan jalan tol misalnya, masalah pembebasan tanah merupakan persoalan krusial yang menyebabkan pembangunan jalan tol itu terbengkalai bertahun-tahun. Pertanyaannya, bisakah kementerian pariwisata diperluas cakupannya seperti yang terjadi di Jepang? Kalau tidak, kuncinya terletak pada Presiden yang bisa memainkan peran strategis sebagai orchestrator. Viva pariwisata Indonesia.
(dmd)
Copyright ©2024 SINDOnews.com
All Rights Reserved
berita/ rendering in 0.7437 seconds (0.1#10.140)